Institut Teknologi Bandung, 25 September 2004
Aku sedang berteduh di bawah pohon yang rimbun sambil berkutat dengan buku-buku tebal tentang perubahan fosil menjadi minyak bumi yang rencananya akan ku jadikan topik skripsiku setelah nanti aku diskusikan dengan Prof. Ikhwan setelah ini. Jam sudah menunjukan pukul 2 siang. Sedangkan aku ada janji dengan Prof. Ikhwan jam 4 setelah selesai dengan kelasnya. Aku garis bawahi beberapa bagian penting pada buku itu.
"Har...."
Terasa tangan seseorang menyentuh pundakku. Aku langsung berbalik arah kepadanya. Ternyata Anin, Lanina Permata Hasuryo, anak kedua dari keluarga Hasuryo, salah satu pemilik saham di perusahan batubara dan orang tuanya merupakan rekan Bapakku.
"Eh, udah selesai kelas Nin?"
Anin mengangguk. Setelahnya dia duduk di sampingku.
"Tadi malam gue kejang lagi." kata Anin pelan sambil memasangkan pemutar musik yang sedang ngetren.
Aku terenyuh.
"Loh kok bisa? Obatnya diminum kan?" Anin tidak menjawab. Aku yakin bukan karena musiknya terlalu kencang, bahkan Anin tidak memutar tombol play. Dia hanya tidak mau menjawab.
"Pasti enggak. Obat lo mahal, Nin. Sini kalo lo gak mau minum gue jual aja." candaku berusaha membuat Anin tertawa. Dan Anin tersenyum. Setidaknya aku bisa merubah suasana hatinya.
Anin melirikku. "Udah ada kabar dari Reko, Har?"
Aku terdiam sejenak. "Dia cuma bilang kalau masih di Pati, sih Nin." dustaku. Sudah 2 minggu ini aku tidak mendengar berita dari sahabatku si bangsat Reko sekaligus teman dekat Anin. Mau dibilang mereka pacaran sih aku belum terlalu yakin. Reko bukan orang yang bisa menjaga komitmen, soalnya.
"Dasar anak itu. Sukanya ngilang, terus tiba-tiba muncul. Aneh." Anin tertawa sendiri. Aku ikut tertawa dipaksakan.
Sebenarnya aku sangat tidak setuju saat Anin bercerita bahwa dia sedang dekat dengan Reko. Tapi Anin sangat berbunga-bunga saat menceritakannya. Aku takut kalau Reko akan memainkannya. Anin bukan seperti orang pada umumnya. Dia memiliki PSTD, clinical depression, anxiety disorder dan sederet penyakit mental lainnya yang baru aku tahu ada setelah berteman dengan Anin. Anin memang seorang penyitas. Dia pernah dilecehkan kakak kandung dan supir pribadinya sendiri dari akhir SMA hingga awal kuliah. Hingga kedua orang tuanya tahu dan mereka diberi hukuman. Sedangkan Anin harus bolak balik RSJ untuk mengobati jiwanya.
"Gue nanti mau ketemu Prof. Ikhwan nih. Lo sampai mana skripsi?" tanyaku berusaha mengubah topik.
"Reko sayang sama gue gak sih, Har?"" tanya Anin pelan. Sekarang aku bisa mendengar lantunan lagu dari pemutar musiknya.
Aku menghela nafas. "Ya sayang lah, Nin."
"Kok dia ngilang sih? Apa karena..."
"Hush udah. Dia gak ngilang kok. Emang tu anak tu gitu, Nin. Di Pati susah sinyal kali, makanya bingung kontak lo gimana."
"Tapi dia kontak lo."
Bodoh.
"Kita udah ngelakuin hal ini, Har." kata Anin pelan sambil memandang lurus kedepan. "Sering."
Aku terperangah. Buru-buru aku melirik Anin dan berusaha menemukan mimik bercandanya. Namun kosong, hanya kehampaan yang tertampak di wajahnya.
Tidak. Meskipun Reko anak yang rusak, tapi aku yakin dia tidak mungkin memainkan wanita seperti ini.
"Eh, maksudnya?" tanyaku sok polos.
"Kita sama-sama tahu maksud gue apaan, Har."
Pandangan Anin tetap menerawang ke depan. Aku sangat bingung dalam kondisi ini, apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku putuskan untuk merangkul Anin dan berharap dia baik-baik saja. Rupanya begitu aku rangkul, air mata Anin langsung jatuh serta badannya sesengrukan. Aku semakin tidak tega dan ku elus pundaknya.
"Is he the one, Har?" tanya Anin dengan nadanya yang begitu sedih.
"Nin.... Lo sama Reko akan berhasil kok..." ujarku yang sebenarnya aku tak yakin. Hanya untuk menghibur Anin saja.
"Gak perlu ngomong gitu Har. Gue tahu Reko ngehindarin gue. Gue gak ngerti apa alasannya tapi gue yakin ini semua terjadi karena gue akhirnya cerita ke dia. Tentang kondisi gue dan penyebabnya."
Anin sudah tidak sesengrukan namun air matanya tetap turun melewati pipinya yang memerah. Aku semakin kasihan melihatnya.
Jujur, jika Reko meninggalkan Anin karena alasan ini, aku tidak mau lagi berteman dengannya. Namun, aku tidak yakin.
"Maksud lo?"
"Sekitar 2 minggu lalu setelah kita ngelakuin, gue akhirnya terbuka sama Reko karena gue yakin dia udah cinta sama gue dan bakal nerima gue apa adanya. Reko kaget. Dia buru-buru pulang dari kos gue. Tanpa bicara mau kemana. Gue telfon gak diangkat. Gue ke kos dia, orangnya gak ada. Benar-benar kaya menghilang." Anin tidak sanggup lagi melanjutkan perkataannya.
Bajingan. Reko benar-benar bajingan. Tidak kusangka dia akan meninggalkan Anin seperti ini. Setelah dia tahu bagaimana kondisi Anin yang sebenarnya. Hei, Anin itu korban. Tidak seharusnya Reko melihat Anin seperti seorang tersangka.
Aku tidak tahu kalau Reko menjadi orang yang heartless seperti ini. Senakal-nakalnya Reko, aku yakin dia paham bagaimana cara bersikap baik dengan seorang wanita. Reko mempunyai 2 adik perempuan, seharusnya dia bisa lebih mengerti bagaimana perasaan seorang wanita dan bagaimana cara menghargainya.
Aku gelengkan kepalaku.
"Sialan..." gumanku pelan.
Anin masih menutup wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Seandainya... seandainya..."
Aku mendekatkan diriku ke Anin dan langsung mengelus punggungnya sementara Anin menangis semakin kencang, Aku semakin iba dengan semua permasalahan hidup Anin. "Nin... Nangis sepuas lo Nin. Ada gue di sini."
Anin membuka tangannya. "Seandainya gue jatuh hati ke lo aja Har. Semua pasti lebih mudah." Anin berkata sambil tersenyum getir, lalu melihatku.
Aku tahu. Tidak mungkin aku dan Anin akan menjadi sesuatu. Rasa sayang kita sudah berbeda. Aku sudah tidak menganggap Anin sebagai seorang sahabat, jauh dari itu. Aku menganggapnya sebagai seorang saudara. Begitu pula Anin, aku yakin. Dia sudah jatuh hati kepada Reko. Bisa dilihat dari bagaimana dia selalu tersenyum saat menceritakan Reko, bagaimana saltingnya dia saat pertama kali mengobrol dengan Reko, hingga akhirnya mereka bisa jalan bersama, betapa excitednya dia saat menceritakan kencan pertama mereka. Aku rasa, Anin sudah menganggapku sebagai seorang saudara karena saudara kandungnya tidak bisa lagi disebut sebagai saudara.
Aku tersenyum ke arah Anin. "Sama Nin. Seandainya ya."
Lalu kami berdua tertawa ringan sambil menunggu jam 4. Anin kembali ke kelasnya sementara aku duduk termenung memikirkan perkataanku tadi. Aku tidak menyukai Anin seperti itu.
Aku iba.
***
Anna masih menunggu aku mengatakan sesuatu. Aku belum juga bereaksi seperti yang diharapkannya. Aku sangat kaget karena aku mendengar nama itu lagi. Sudah dua tahun aku tidak mendengar nama Lanina...Anin.... Aku sudah yakin kalau Anin sudah hidup bahagia dengan Reko dan anak mereka.
Bukan.
Aku tidak pernah menyukai Anin seperti itu. Aku hanya kecewa, karena diakhir, dia tetap memilih Reko. Sahabatku.
Aku menghela nafas lalu tersenyum. Anna nampak kebingungan dengan perubahan raut wajahku. Pasti dia bingung mengapa aku tiba-tiba tersenyum seperti ini sedangkan tadi, wajahku tegang. Anna sayang, aku tetap mencintaimu.
"I want to tell you a story that happened over a decade ago...." kataku tenang sambil mengelus rambutnya yang halus.
***
HALO
AKU MINTA MAAF KARENA JARANG UPDATE. AKU TERKENA WRITER'S BLOCK HEHEHE.
Tapi tenang. Aku udah tau mau ngebawa ini kemana.
x0x0,
Ari
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna & Harry
RomanceHubungan antara murid, 17 tahun, dan guru, 38 tahun, dimulai ketika mereka tinggal di apartemen yang sama dan lantai yang sama. Akankah hubungan itu berlanjut? Atau harus terhenti mengingat usia dan status kedudukan mereka yang jauh berbeda?