Chapter 3

277 18 2
                                    



Happy reading







.







Pukul satu dini hari. Mengantuk, tentu saja. Rasanya tubuh kecil ini sangat ingin Jira istirahatkan. Ia ingin sekali tidur, berkelana ke alam mimpi dan berada selamanya di sana ketimbang berada di dunia nyata yang telah memberinya rasa sakit. Ini memang untuk kali pertama Jungkook membuatnya merasa sakit hati. Tapi Jira tak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini.

Sudah tiga puluh menit berlalu. Sudah pukul satu tiga puluh pagi. Apa Jungkook masih sibuk di kantor? Apa lelaki itu masih bersama Na Hee? Jika memang benar, pekerjaan sejenis apa yang mereka kerjakan hingga selarut ini? Jira benar-benar tak habis pikir lagi. Rasanya emosinya sudah menggelegak dalam dada.

Kerongkongannya terasa perih lantaran ia mati-matian menahan air mata. Ia tak ingin menangis di depan Jungkook. Ia tak ingin memperlihatkan air matanya yang sangat berharga di hadapan Jungkook - sekarang ataupun nanti. Ia tak ingin terlihat lemah dan kalah di depan Jungkook saat lelaki itu pulang nanti. Jadi ia putuskan untuk membasahi kerongkongan yang mungkin dapat meredakan rasa perih di tenggorokan.

Baru saja ia keluar dari kamar, presensi Jungkook hadir seraya menjepit ponsel di antara telinga dan bahu. Sepertinya kembali berkomunikasi dengan sekretaris kesayangannya itu. Jira mengabaikan kehadiran lelaki itu. Ia tetap lanjut melangkah menuju dapur.

Jungkook memutuskan sambungan. Ia letak sepatunya di rak sepatu di sebelah pintu, lantas mengekori Jira menuju dapur.

"Mengapa belum tidur?" Tanyanya dengan nada yang terdengar agak sengit.

Jira meletak gelas yang isinya baru saja ia teguk. Sengaja menghentakkan ke atas meja. "Aku ada urusan yang harus kuselesaikan. Mungkin aku tidak akan tidur malam ini karena urusanku itu begitu penting." Ucapnya, menyindir Jungkook dengan tajam.

Jungkook menyandarkan tubuh pada lemari es. Kedua tangannya saling melipat di depan dada. "Urusan apa?" Tanyanya mengintimidasi. Agak kesal mendengar vokal Jira yang terdengar ketus.

"Pekerjaan." Jira mengambil buah apel yang dihidangkan bersama buah-buahan lainnya di atas meja makan. Mengalihkan perasaan dari rasa sesak yang akan membuatnya menangis kendati matanya sudah memerah.

Jungkook tersenyum sinis, "huh, sebegitu pentingkah pekerjaanmu?" Ia mencebik, seakan tak terima dengan jawaban asal istrinya.

Jira mengangguk mantap, "lebih penting dari apa pun yang kumiliki saat ini."

"Termasuk aku?" Jira mengangkat bahu tak acuh. Kembali menggit apelnya dengan tenang dan menanggapi Jungkook seperti angin lalu. Mencoba untuk terlihat tenang walau api emosi sedang membara di dalam dada. Setidaknya ini harus dimulai dengan kepala dingin dulu.

Jungkook tersenyum skeptis. "Pantas kau tidak pernah mau mengambil cuti." Jira menggenggam erat apel yang hendak ia gigit. Menyalurkan rasa geram pada buah dalam genggaman. Mengapa suaminya itu tak kunjung paham kalimat sindirannya? Harus seperti apa Jira menyadarkan Jungkook bahwa dia kecewa dengan lelaki itu.

"Ya, yang ada di kepalaku hanya kerja dan kerja. Aku tidak peduli lagi terhadap apa pun." Balas Jira tak kalah tajam.

"Bagus. Kalau begitu abaikan saja aku. Lupakan aku sebagai suamimu, dan anggap aku tak ada di rumah ini." Ucap Jungkook dengan santainya seraya melepas lilitan dasi di leher. "Terus saja habiskan waktumu bersama pekerjaan sialanmu itu, tinggalkan aku sendiri, bawa pekerjaan yang sangat kau sayangi itu. Kau tak perlu memikirkan aku. Cukup pikirkan pekerjaanmu saja. Kau tak bisa hidup tanpa pekerjaanmu, 'kan? Untuk apa aku? Apa arti kehadiranku bagimu jika kau tidak mempedulikanku lagi." Akhirnya wajah Jira basah dibanjiri air mata sejak Jungkook mengeluarkan kata-kata yang menikam hatinya. Seharusnya ia yang berkata demikian pada Jungkook. Menyadarkan laki-laki itu melalui sindiran, bukan malah sebaliknya. Tapi mengapa sekarang jadi dia yang seolah-olah bersalah, mengapa malah dia yang disudutkan?

Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang