◇◇◇
"Jimin-ah..." Geun Hee berdiri di ambang pintu kamar putranya. Panggilan sang ibu membuyarkan lamunan Jimin yang sedang berada di balkon kamar. Membuat dia secara pelan-pelan menjatuhkan pisau lipat - yang ia genggam sejak tadi - ke pekarangan samping rumah.
Geun Hee melangkah lebih dalam, lantas mengambil posisi berdiri di samping sang putra. Menikmati sejuknya angin senja Busan berdua, di balkon kamar Jimin.
"Satu tahun sudah berlalu. Semuanya berjalan begitu cepat." Desis Geun Hee membuka obrolan.
Angin yang berembus sejuk menerbangkan helai demi helai rambut Jimin dan Geun Hee. Cukup kuat angin itu berembus. Namun tak berhasil membuat air di mata Jimin mengering. Mata Jimin masih berair. Entah kenapa ucapan Geun Hee terdengar begitu menyakitkan. Padahal ia tahu, ibunya sama sekali tak bermaksud menyinggung luka hatinya.
"Dan kau masih saja seperti ini..." Jimin pelan-pelan menoleh pada Geun Hee, menatap ibunya itu lekat-lekat. Terdengar nada putus asa di sana. Jimin tahu, sikapnya belakangan ini sudah sangat mengecewakan sang ibu. Mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan siapa pun, tidak memperhatikan kesehatan, dan berakhir dengan upaya bunuh diri. Jimin tahu, semuanya salah. Tapi tak seorang pun yang tahu bagaimana sakit yang ia rasakan sekarang. Betapa sakitnya kehilangan seseorang yang sangat disayang.
Tak berapa lama, bahu Geun Hee mulai bergetar. Perempuan itu mulai mengeluarkan isakannya. "Di mana Park Jimin putraku..." lirihan itu membuat Jimin turut menangis. Ia tak kuasa menahan tangis. Lebih-lebih kala Geun Hee menghadap padanya, meraih tangan kirinya, dan mengusap lembut beberapa bekas luka sayatan di bagian pergelangan tangan.
"Kembalilah seperti dulu... jebal..." lirih Geun Hee.
"Jangan seperti ini lagi..."
Geun Hee mengangkat kepalanya menatap Jimin lekat. "Bukalah hatimu, Nak... Kau tahu sendiri, selama apa pun kau menunggu, dia tak akan kembali. Eomma tahu, berat memang. Tapi bukan berarti hidupmu sampai di sini. Dia juga tak akan tenang meninggalkanmu dengan kondisi berantakan seperti ini. Relakanlah dia... Biarkan dia pergi dengan tenang..." Jimin balas menatap Geun Hee lekat. Manik yang meneduhkan itu, memohon dengan sangat padanya. Menaruh harapan yang begitu besar. Jimin juga tahu, sudah terlalu lama dia terbelenggu dalam kesendirian, dalam rasa kehilangan yang begitu mendalam. Tapi jika diingat-ingat lagi, alasan selama ini ia bernapas sudah pergi meninggalkannya, Jimin lebih memilih tenggelam dalam kesendirian, dan tak perlu kehadiran seseorang untuk menariknya keluar. Tapi melihat kondisi sang ibu yang turut terluka melihat dia yang seperti ini, Jimin 'sedikit' ingin mencoba untuk keluar, untuk menatap dunia dan memulai kehidupannya yang baru, tanpa dia, yang selama ini selalu ada di sisinya. Jimin akan mulai melangkah sendiri, tanpa dia, yang selama ini mengisi hari-harinya. Ya, Jimin harus bisa tanpa dia, tanpa seseorang yang selama ini sudah terlalu dalam mengisi hatinya.
"Eomma mohon... Buka hatimu, Jimin-ah..." Jimin menarik kedua sudut bibirnya melengkung tipis - setipis benang. Namun itu saja sudah membuat Geun Hee senang. Karena jarang sekali ia temukan Jimin tersenyum belakangan ini.
"Ya... aku tak akan seperti ini lagi." Geun Hee menatap putranya semakin dalam, memancarkan beribu harapan pasti dalam manik matanya.
"K-kau berjanji?" Jimin mengangguk, belum memudarkan senyumnya. "Untuk Eomma?"
"Untuk semuanya..." Geun Hee lantas segera memeluk Jimin erat. Merasakan kehangatan sang putra kala kepalanya ia sandarkan di dada Jimin. Merasai kelembutan tangan Jimin ketika mengusap-usap punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | Finish
RomanceMenikah di usia muda memang menjadi keputusan paling nekat yang pernah Jungkook ambil dalam hidupnya. Banyak yang ia korbankan demi bisa melindungi gadis yang dicintai. Masa depan, masa remaja, kebebasan, semua Jungkook korbankan demi bisa melindung...