Happy reading☆☆☆
.
.
.
Di dalam ruangan yang bersuhu lebih hangat di antara seluruh ruangan di rumah sakit swasta ini, dari belakang terlihat bahu Jungkook bergetar hebat. Isakan juga terdengar dari kedua celah bibirnya. Mata Jungkook merah, wajahnya sembab. Sekuat tenaga ia tahan agar isak tangisnya tak lepas. Tapi ia tak mampu. Malah getaran di bahunya semakin hebat. Jungkook seorang diri di sini. Jadi tak akan ada seorang pun yang akan mendengar isak penuh kepedihannya. Bahkan Jungkook sudah menggigit bibirnya berkali-kali hingga menimbulkan luka kecil guna meredam isak. Tapi tetap saja ia tak mampu. Tentu. Karena lelaki itu tak pernah merasa sesakit ini dalam hidupnya.
Jungkook menahan air matanya sekuat mungkin. Isakannya ia redam sekuat tenaga. Namun saat pandangannya jatuh pada inkubator di depannya, bahu Jungkook kembali berguncang hebat. Air mata yang baru saja menyurut kembali tumpah ruah. Jungkook tak bisa lagi menahan tangisnya. Ini titik tersulit dalam hidupnya. Ini rasa yang paling sakit yang pernah ia rasakan selama ia hidup.
Ia mengulurkan tangannya mencoba mengusap kotak bening itu. Namun ketika tangannya terulur ke udara, tangisnya semakin pecah tak tertahan. Membuat tubuh Jungkook luruh lalu jatuh bersimpuh. Ia mengalah dan memilih mengeluarkan semua air matanya kembali.
Cukup lama Jungkook meluapkan semua kepedihan di hati, akhirnya ia berdiri. Dan dengan segenap rasa sesak yang ia tahan, yang membuat dadanya serasa diremukkan, ia sentuh inkubator itu dengan tangan bergetarnya.
"Appa mianhae... Appa..." setetes air mata kembali jatuh meluncur di ujung hidung Jungkook yang memerah. Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Kau mau 'kan memaafkan Appa?" Bahu Jungkook berguncang kembali.
"Bahkan..." ia tak kuasa menahan isakan. Lantas ia biarkan saja air matanya terus berjatuhan di lantai. "Kau belum melihat kami, Eomma dan Appa... Appa mianhae..." suara Jungkook hilang ditenggelamkan air mata. Namun ia tetap memaksakan diri untuk bicara. Setidaknya untuk meminta maaf pada calon putrinya yang tak lagi bisa melihat dunia karena keteledorannya menjaga istrinya.
"Maafkan Appa... Appa gagal menjagamu dan Eomma...
"Appa mianhae, Aegi-ya..."
Ia biarkan tetes demi tetes air mata berjatuhan, setidaknya hingga upacara kremasi calon putrinya dilaksanakan.
.
.
Jimin tak memakirkan mobilnya dengan benar. Ia keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Ia membuka pintu secara kasar, kembali berlari masuk ke dalam rumah dengan cemas.
"Hayoon-ah!" Panggilnya sedikit berteriak.
"Sayang!" Jimin langsung menuju dapur dan mendapati istrinya tengah asik meracik bumbu di sana.
"Hayoon-ah..." Jimin telah berdiri di sebelah Hayoon. Ia sentuh bahunya saat perempuan itu menghadap ke arahnya dengan heran. Wanita itu merasa heran, ini masih pukul sepuluh pagi. Mengapa suaminya itu tiba-tiba sudah pulang?
Lalu tangan Jimin naik menangkup wajah Hayoon. Napas lelaki itu masih sedikit tersengal. Beberapa detik ia gunakan untuk mengontrol deru napasnya yang menggebu-gebu. "Bersiap-siaplah."
"Untuk?" Tanya Hayoon dengan kedua alis menyatu.
Jimin menghela napas berat. "Satu jam lagi upacara pemakaman anak Jungkook akan dilaksanakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | Finish
RomanceMenikah di usia muda memang menjadi keputusan paling nekat yang pernah Jungkook ambil dalam hidupnya. Banyak yang ia korbankan demi bisa melindungi gadis yang dicintai. Masa depan, masa remaja, kebebasan, semua Jungkook korbankan demi bisa melindung...