Chapter 3

143 13 7
                                    


Happy reading

☆☆☆

.

.

.

"Eomma..." Hayoon mengernyitkan dahi, lantas menoleh ke belakang. Ia tersenyum pada Jiho yang duduk di kursi makan.

"Hei, kau sudah bangun? Tumben sekali kau sudah bangun secepat ini. Biasanya Eomma yang selalu membangunkanmu." Ucap Hayoon seraya menghidangkan toast di hadapan Jiho. Jiho menyengir lebar. "Wae geurae? Pasti ada sesuatu, 'kan?" Selidik Hayoon dengan mata menyipit menatap putranya penuh selidik. Dan cengiran bocah itu semakin lebar. Hayoon tahu putranya ini menginginkan sesuatu.

"Aniyo..." Jiho menggeleng, membuat rambut hitamnya ikut bergoyang. Tangannya meraih satu toast yang baru saja dihidangkan sang ibu. Namun belum sempat roti itu masuk ke dalam mulut, Hayoon sudah lebih dulu menahan tangannya.

"Kau belum mandi, 'kan?" Jiho mengangguk polos. "Mandi dulu, setelah itu baru sarapan." Titah Hayoon seraya menurunkan putranya dari kursi.

"Aku bisa sendiri, Eomma. Aku sudah besar." Sungut Jiho. Hayoon berkacak pinggang menatap Jiho dengan satu alis terangkat.

"Jinjja? Apa buktinya jika kau sudah besar?" Jiho menggaruk tengkuknya, mata kecilnya bergerak liar ke sana kemari. Hayoon yakin tak ada nyamuk yang menggigit tengkuk Jiho. Tapi bocah itu bertingkah seolah ada ribuan nyamuk menggigit tengkuknya. Hayoon rasa, tingkah malu-malu putranya yang satu itu diturunkan dari Jungkook. Bukan tidak mungkin jika salah satu sifat pamannya itu menurun pada Jiho. Pasalnya, selama Hayoon menyembunyikan Jiho dalam kandungannya, Jungkook lah laki-laki yang lebih dekat dengan dirinya ketimbang Jimin. Kendati pada masa itu barangkali Jungkook juga tidak tahu bahwa dia sedang mengandung.

"Um... kalau begitu aku mandi dulu, Eomma." Hayoon terkekeh saat putranya yang salah tingkah beranjak pergi. Sepertinya memang ada yang ingin disampaikan Jiho. Hanya saja tertunda karena masalah kecil tadi. Tak apa. Mungkin ini saatnya Hayoon berbicara pada Jiho secara empat mata. Saatnya Jiho menceritakan apa pun padanya dengan serius.

Jiho berlalu, Jimin datang bersama Cheonsa. Mereka berdiri tepat di belakang Hayoon - yang tak menyadari presensi mereka. Saat Hayoon berbalik, barulah ia tahu jika Cheonsa dan Jimin ada di belakangnya. Sempat membuatnya berjengit kaget, ingin berteriak kencang mendapati kemunculan tiba-tiba sepasang anak dan ayah itu. Namun saat melihat Cheonsa tertawa melihat ekspresi terkejutnya, Hayoon malah ikut tertawa. Lalu mencium gemas hidung mungil putrinya.

Jimin duduk di ruang makan bersama Cheonsa, tapi Hayoon malah mengambil Cheonsa dari pangkuan Jimin. Jimin menatap Hayoon penuh tanya. "Mandilah." Perintah Hayoon.

"Aku masih ingin bermain dengan Cheonsa." Tolak Jimin.

"Nanti saja." Hayoon agak dingin pagi ini. Padahal, biasanya setiap pagi sebelum mereka beraktivitas, mereka akan selalu menciptakan sentuhan-sentuhan manis pada satu sama lain sebagai penyemangat beraktivitas. Tapi kali ini tidak. Dan Jimin tahu apa alasan Hayoon bersikap seperti ini. Pagi-pagi sekali tadi, sebelum anak-anak mereka bangun - Cheonsa terutama karena bayi itulah alarm mereka setiap pagi - mereka membahas Sehyun lagi. Dan jawaban Jimin masih tetap sama. Dia menolak secara terang-terangan ajakan Hayoon untuk menjenguk Sehyun. Hayoon tentu merasa jengkel. Penolakannya membuat Jimin terlihat seperti manusia tak berhati. Bahkan dengan cara lembut pun telah Hayoon coba. Membujuk Jimin seolah membujuk Jiho, malah lebih parah. Tapi Jimin bersikukuh tetap menolak. Tentu Hayoon kesal. Dan perang dingin itu terjadi pagi ini.

Hayoon menghilang, masuk ke dalam kamar anak mereka di lantai dua untuk mengambil baby walker Cheonsa. Jimin merotasikan bola mata lantas mendengus kasar. Dengan langkah gontai berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang