Chapter 12

72 5 4
                                    

◇◇◇


2 month later

"Minggu ini Jira diprediksi akan melahirkan." Hayoon dan Jimin duduk di atas rerumputan di pekarangan belakang. Mereka baru selesai berkebun, membantu Hayoon merapikan bunga-bunganya di sana. Anak-anak mereka juga tak mau ketinggalan. Bahkan Cheonsa masih sibuk menanam bunga yang tak akan pernah bisa tumbuh. Karena bunga yang ditanam Cheonsa adalah bunga hias, tak akan pernah bisa tumbuh kecuali jika terjadi keajaiban. Sementara Jiho sibuk menanam bibit bonsai yang diberi Hayoon, yang mungkin dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan akan mulai berkembang. Kadang mereka tertawa melihat tingkah lucu Cheonsa. Bocah itu agak kesusahan berjalan lantaran ia baru pertama kali mengenakan sepatu boots, juga terlihat kesusahan menggenggam sekop tanahnya karena sarung tangan karet yang ia pakai berukuran besar. Dan semakin terlihat lucu lagi kala ia jengkel rambutnya yang sudah digelung Hayoon jatuh ke wajah, keluar dari ikatan.

"Geureonde wae? Kau ingin melahirkan juga?" Hayoon menepuk kesal lengan Jimin. (Lalu kenapa)

"Bukan begitu, Sialan!" Pekiknya sebal.

"Lalu?" Jimin terkekeh kecil. Ekpresi sebal sang istri memang tak pernah gagal mencuri atensinya.

"Kita belum membeli hadiah untuk mereka. Kookie juga ulang tahun minggu besok."

"Nanti saja. Saat dia sudah melahirkan, baru kita beri hadiah. Untuk Kookie juga."

"Bagaimana jika sekarang saja, mumpung kau sedang di rumah?"

"Memangnya selama ini aku tinggal di mana?" Jimin menatap Hayoon datar, membuat yang ditatap menutup mulutnya menahan kikikan.

"Sekalian membawa Jiho dan Cheonsa bermain. Ini 'kan hari libur." Usul Hayoon.

Jimin menarik satu sudut bibirnya ke samping - menimang. "Bukan ide yang buruk." Ucapnya menyetujui. "Kalau begitu ayo bersiap-siap." Jimin menoleh menatap Hayoon yang masih mengamati kedua anak mereka. Sadar diperhatikan, Hayoon menoleh dan mendapati Jimin tersenyum miring padanya. "Mau mandi bersama?" Tawar Jimin dengan mata yang mengerling nakal. Hayoon menjentik dahi lelaki itu, lalu berjalan menghampiri Jiho dan Cheonsa tanpa menanggapi ajakan nakalnya. Jimin tertawa sejenak, kemudian masuk ke dalam rumah.

"Sudah, ya... kita lanjutkan lagi besok." Ucap Hayoon seraya mengambil sekop tanah Cheonsa, berikutnya membuka sarung tangannya. Cheonsa merengek, dia tidak mau. "Kita akan pergi, dengan Appa. Kau tidak mau ikut?" Cheonsa berhenti merengek, balita itu mengangguk antusias. "Kajja." Hayoon menggendong Cheonsa. "Jiho-ya, kau harus mandi. Kita akan pergi." Hayoon beralih pada Jiho.

"Ne, Eomma." Jiho lekas menuntaskan kegiatannya, lantas berlari masuk ke dalam rumah.

●●

Tubuh Jungkook tremor. Perut dan kepalanya serasa diaduk-aduk secara bersamaan. Juga, rasanya tubuhnya melayang, serasa bukan bumi lagi tempatnya berpijak sekarang. Dia menangis, air matanya jatuh bercucuran di depan para medis. Namun dia tak peduli, dia tak mau tahu apa penilaian mereka terhadapnya. Melihat Jira merintih dan meringis kesakitan di depan matanya membuat Jungkook tak sanggup membendung air mata. Ia khawatir, sekaligus teringat ibunya. Ibunya pernah ada di tahap ini demi bisa membuatnya melihat indahnya dunia, melawan rasa sakit tak terperi. Membuat Jungkook berjanji, setelah semua ini terlewati, dia akan meminta maaf pada Yoojung jika dia pernah mengecewakan ibunya itu, akan ia peluk erat-erat. Dan berjanji juga tak akan pernah mengkhianati Jira.

Jerit penuh kesakitan Jira semakin kuat, membuat telinga Jungkook serasa tak mampu mendengar apa-apa lagi selain suara penuh kesakitan itu. Juga, tangannya semakin memerah seiring semakin kuatnya genggaman tangan Jira di sana.

Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang