Chapter 11

122 10 0
                                    


Happy reading

☆☆☆

.

.

.

Hayoon nyaris tumbang jika Jimin tak sigap menyambutnya. Dengan cepat Jimin baringkan tubuh Hayoon ke atas ranjang. Punggung tangan Jimin menyapu dahi wanita itu. Terasa panas. Dengan cekatan ia siapkan pengompres, lalu sebelum benar-benar mengompres dahi istrinya, Jimin membantu Hayoon menukar dress hitam perempuan itu dengan piyama hangat. Bahkan dia melupakan dirinya yang masih mengenakan kemeja hitam.

"Ah... mengapa semuanya datang di saat yang tidak tepat." Gerutu Jimin sambil memeras handuk kompres, lalu meletakkannya di dahi Hayoon. Jimin sempat berpikir keras; ia rasa ini bukan salahnya yang menghajar Hayoon semalaman penuh, melampiaskan apa yang ia tahan selama di Jeju meskipun hanya selama dua hari Jimin menahannya. Baginya, tak menyentuh Hayoon sehari saja bagai tak diberi makan selama seminggu, membuat dia menjadi buas dan kelaparan. Itu tak ada kaitannya dengan kondisi Hayoon saat ini Jimin rasa. Atau jangan-jangan Hayoon salah mengkonsumsi sesuatu? Rasanya juga tidak mungkin. Mereka tidak pernah memakan makanan luar semenjak tiba di Busan. Atau, kesedihan Jira berefek juga padanya? Jimin rasa itu juga bukan jawaban yang tepat. Sebelum Jimin memberitahu kabar duka ini pada Hayoon, wajah istrinya itu memang sudah terlihat pucat, bahkan saat mereka sarapan bersama pagi tadi. Jadi apa lagi?

Selagi dia memikirkan beribu sebab dan akibat mengapa istrinya bisa terserang demam, ia baringkan tubuhnya dengan kepala yang bersandar di bahu Hayoon dan tangan yang melingkari tubuh wanita itu. Perlahan mata Hayoon terbuka. Jimin antusias melihatnya. Lekas ia genggam tangan Hayoon yang terasa begitu dingin, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya.

"Sayang, tunggu sebentar. Aku akan meminta Jin Hyung kemari." Hayoon menahan Jimin. Kedua alis Jimin menyatu saat mata Hayoon berkaca-kaca, memerah bersiap meledakkan air mata. "Waeyo? Aku tak bisa melihatmu seperti ini."

"Aku..." suara Hayoon mulai bergetar. Jimin paling tidak bisa melihat Hayoon menangis kendati nyatanya dulu dia lah orang yang selalu membuat Hayoon menangis. Buru-buru ia hapus air mata Hayoon yang mengalir dari sudut matanya.

"Ne? Kau ingin apa, Sayang? Katakan saja."

"Aku... merindukan Jiho dan Cheonsa." Jimin mendesah lega. Terjawab sudah kebingungannya. Jadi, yang membuat Hayoon seperti ini hanyalah karena rasa rindu yang begitu besar dan rasa terkejut karena berpisah dengan kedua anak mereka. Sepertinya Hayoon memang tak bisa berpisah dengan anak mereka. Dibuktikan dengan baru sehari mereka berpisah, Hayoon sudah jatuh sakit.

Jimin tersenyum lega sembari mengusap kepala Hayoon. "Untuk sementara ini, biarkan mereka bersama Eommonim dan Abeonim dulu. Jira pasti sangat membutuhkanmu. Eommonim dan Abeonim juga sama seperti kita, orangtua mereka juga. Hanya beda usia saja. Jadi aku yakin, mereka pasti bisa menjaga Jiho dan Cheonsa dengan baik. Bahkan mereka lebih berpengalaman daripada kita." Terang Jimin agar Hayoon tak mengkhawatirkan kedua anak mereka.

"Bukan masalah itu..."

"Lalu?" Tanya Jimin dengan dahi berkerut heran.

"Aku ingin mereka di sini sekarang, memelukku." Jimin bingung, ia garuk dahinya yang tak gatal. Mana mungkin mereka kembali ke Jeju untuk menjemput anak-anak mereka? Sementara mereka di sini masih berduka.

"Jim!" Panggil Hayoon dengan nada sedikit tinggi, nyaris membentak. Membuat Jimin berjengit kaget.

Sedang sakit saja masih bisa membentakku. Dengus Jimin dalam hati. "Mwo?"

Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang