Happy reading☆☆☆
.
.
.
Yoongi tidak tahu harus bagaimana. Haruskah ia berbalik? Atau berlagak pura-pura tak mendengar? Tapi dia sudah terlanjur menghentikan langkah.
"Kau... Min Yoongi, 'kan?" Selidik Sehyun. Mendengar nada bertanya Sehyun, Yoongi berbalik. Sepertinya ingatan perempuan itu belum kembali. Belum kembali dan memang tak akan pernah kembali. Dia pengidap alzheimer, tidak mungkin ingatannya kembali. Itu sudah pasti. Kecuali Tuhan yang menginginkan.
Yoongi berbalik dan tersenyum hangat pada perempuan itu. "Jawab aku, apa benar kau Min Yoongi? Jika tidak, aku akan pergi dari sini." Dengan senyum manisnya yang tak urung menyusut, perlahan Yoongi mendekat dan duduk di pinggir ranjang, tepat di sebelah Sehyun duduk.
"Benar, aku suamimu, Min Yoongi." Sehyun tersenyum, beringsut mendekat lantas menyandarkan kepalanya ke dada Yoongi. Yoongi membalas, mendekap perempuan itu seraya membelai rambutnya dengan sayang. Sebisanya ia buat perempuan itu merasa nyaman saat bersamanya agar dia tak pernah memiliki niat untuk pergi lagi.
"Omong-omong, kau tahu namaku dari mana?" Tadi, saat ia bangun, Sehyun terkejut karena berada di sebuah kamar yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya - karena dia sendiri di sini. Saat ia kebingungan mencari siapa si pemilik kamar sekaligus rumah ini, tatapannya tertuju pada cincin bermata berlian yang ia kenakan. Ia buka cincin itu dan membolak-baliknya hingga ia dapati nama Min Yoongi di ukiran bagian dalam. Sehyun berpikir; Min Yoongi pasti seseorang yang berarti dalam hidupnya. Jika tidak, mengapa dia memakai cincin yang terukir nama lelaki itu? Dan saat ia melihat ada seorang laki-laki masuk ke dalam kamar ini, langsung saja ia duga jika dia adalah Min Yoongi. Dan dugaannya benar.
"Aku melihat cincin ini." Yoongi terpaku. Jika memang Tuhan menginginkan ingatan Sehyun kembali, Yoongi mohon jangan sekarang - meski hanya serpihan kecil sebesar biji jagung. Apa ini karena dia pernah mengatakan, Sehyun harus melihat cincin itu saat dia lupa siapa Yoongi? Tidak mungkin rasanya. Tidak mungkin Sehyun mengingat hal itu. Mengingat namanya sendiri saja dia kesulitan, apalagi mengingat hal semacam itu.
"Geurae. Sekarang kau pergilah mandi, setelah itu kita akan pergi ke kantorku."
"Kau punya kantor?"
"Hm." Yoongi melepas dekapannya lalu menangkup wajah Sehyun. "Aku buru-buru." Kemudian mengecup dahinya, bertingkah lebih meyakinkan lagi selayaknya dia adalah suami Sehyun.
.
.
"Ji? Ah... Akhirnya kau bangun juga. Apa yang terjadi? Neo wae irae?" Tanya Hayoon cemas kala Jira akhirnya membuka matanya. Bahkan perempuan itu belum bisa menebak di mana dirinya kini. Jira memutar bola matanya jengah. Ia paksakan tubuhnya untuk duduk kendati kepalanya terasa begitu berat. Dia meringis, rasa pusing yang bukan kepalang kembali menyerang, yang membuatnya hilang kesadaran saat membereskan hall tadi. Buru-buru Hayoon menyodorkan teh hangat untuknya. Jira tersenyum saat menerimanya.
"Aku hanya kelelahan saja, Eonni. Kami mendekor aula hingga malam. Pagi-pagi tadi juga ada sedikit masalah. Aku benar-benar sibuk. Apalagi Jungkook sedang tidak di sini..." lirih perempuan itu di akhir kalimat. Tak sadar ia seka air matanya. Entah mengapa dia menangis hanya karena merindukan Jungkook. Ini terlalu berlebihan.
"Gwaenchanayo?" Hayoon mengusap pelan kepala Jira, menatap adiknya itu khawatir. Hayoon tahu Jungkook sedang berada di Amerika, Jimin yang memberitahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | Finish
RomanceMenikah di usia muda memang menjadi keputusan paling nekat yang pernah Jungkook ambil dalam hidupnya. Banyak yang ia korbankan demi bisa melindungi gadis yang dicintai. Masa depan, masa remaja, kebebasan, semua Jungkook korbankan demi bisa melindung...