Happy reading
☆☆☆
.
.
.
"Kau tidak ke kantor hari ini, Jung?" Hayoon bertanya seraya masuk ke dalam apartemen Jungkook.
"Sejak kejadian itu aku sudah tak pernah lagi ke kantor, Noona. Semuanya kukerjakan dari rumah."
"Waeyo? Apa keadaan Jira memburuk?" Hayoon dan Jimin membawa diri mereka duduk bersebelahan di sofa ruang tengah, berbarengan dengan Jungkook yang duduk di seberang mereka.
Jungkook menghela napas kecil. Kentara rasa lelah di wajahnya. Seakan napas yang terembus sedikit mengangkut beban di bahu. "Beberapa hari lalu Na Hee Noona sempat kemari. Dia menceritakan tentang dirinya yang mengidap kanker serviks pada Jira. Untuk saat itu, Jira bercerita banyak padanya. Tapi setelah itu dia kembali murung. Sering melamun dan, ah... dia berbeda dengan Jira-ku yang dulu. Bahkan dia sempat hampir bunuh diri." Mata Hayoon membesar mendengar itu, begitu pula dengan Jimin yang sama terkejutnya. Sebegitu tertekannyakah Jira?
"Apa perlu aku membawanya ke psikiater?" Lanjut Jungkook pasrah.
"Ani. Kau hanya perlu bersabar menghadapinya. Dia hanya butuh waktu. Dia baik-baik saja." Jawab Hayoon.
"Geundae... na meuseowo." Lirih Jungkook. Sinar di manik lelaki itu tampak redup, kentara sekali dia benar-benar merasa takut Jira-nya tak akan kembali seperti sedia kala.
"Tidak apa-apa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau hanya perlu meluangkan waktumu untuknya. Dia hanya butuh dirimu. Dia di kamar, 'kan?" Jungkook mengangguk kecil sebagai jawaban. Kemana lagi selain di kamar? Bahkan Jira tak pernah lagi menonton televisi bersamanya.
Hayoon beranjak menuju kamar Jungkook. Ia buka pintunya sedikit, dan mengintip keadaan di dalam dari luar. Hayoon menghela pelan. Perlahan ia buka pintu semakin lebar, lalu masuk ke dalamnya, lantas menutup kembali dengan pelan.
"Ji..." benar kata Jungkook. Perempuan itu terlalu sering melamun. Bahkan dia tak sadar Hayoon sudah duduk di sisinya. "Jangan seperti ini terus..." Hayoon meraih tangan Jira, menggenggamnya erat. Jira mengangkat pandangan, menatap Hayoon skeptis.
"Bicara itu memang mudah, Eonni. Tapi apa kau pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi aku?! Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanku?! Aku menjaganya lebih dari aku menjaga diriku sendiri. Tapi nyatanya akulah yang membuat dia pergi." Air mata Jira jatuh begitu saja. Pelan-pelan mulai membentuk sungai kecil di pipinya.
"Ji, jangan lihat bagaimana aku sekarang." Tatapan sinis Jira berubah menjadi tatap heran. Ia tak menangkap makna dari kalimat Hayoon, namun enggan bertanya.
"Jangan mencoba menghiburku." Tandasnya tajam.
"Aku tidak mencoba untuk menghiburmu. Aku hanya ingin memberitahu, bahwa tak selamanya hidup itu indah. Semua butuh usaha, semua butuh proses. Mungkin apa yang kau rasakan sekarang tak akan setimpal dengan apa yang aku rasakan dulu. Kau sendiri tahu bagaimana hidupku." Tangis Hayoon pecah. Ia teringat apa yang telah ia lalui, masa kelam yang selalu terkenang, namun masa kelam itu pulalah yang membawa kebahagiaan untuknya kini.
"Di saat aku mengandung Jiho, Jimin menceraikanku, dia tak pernah tahu dan tak mau tahu jika aku mengandung anaknya. Menganggapku sebagai seorang istri saja dia tidak pernah selama kami menikah dulu. Apalagi mengakui anaknya. Lalu, saat aku mengandung Cheonsa, lagi-lagi Jimin berulah. Meski aku tahu dia hanya dijebak, tapi seharusnya dia bisa menjaga diri. Aku hampir mati dan Cheonsa yang sempat dikhawatirkan kondisinya. Selama lima tahun aku hidup tanpa Jiho dan Jimin, aku tak pernah tahu bagaimana perkembangan Jiho. Coba kau pikir, ibu macam apa aku yang enggan mengurus anaknya sendiri hanya karena keegoisanku. Aku malah menitipkan Jiho di panti asuhan. Beruntung Tuhan masih berbaik hati padaku. Lima tahun setelah itu, Jimin dan Jiho dipertemukan secara tak sengaja, termasuk denganku juga. Dan juga butuh waktu bagi kami untuk bisa bersatu, Ji. Lalu Cheonsa, dia hampir sama dengan Jiho. Saat baru lahir, kondisinya sempat dikhawatirkan, dia tak merasakan bagaimana hangatnya kasih sayang seorang Ayah meski tak selama Jiho. Apa kau masih menganggap hidupku sempurna? Tidak. Tapi ketidaksempurnaan itu telah membawaku pada kebahagiaanku yang sekarang, pada kebahagiaan sejatiku. Jika kita bisa melewati setiap masalah dengan akal sehat dan pikiran yang jernih, semuanya akan selesai, jangan pernah memakai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah." Walaupun air matanya terus berjatuhan, tak sadar Jira berhasil memetakan senyum kecil di bibir lantas berhambur memeluk Hayoon erat. Tangis keduanya tumpah, beradu menjadi satu menangisi masa-masa pahit yang mereka lalui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent [Book II] | Jeon Jungkook | Finish
RomanceMenikah di usia muda memang menjadi keputusan paling nekat yang pernah Jungkook ambil dalam hidupnya. Banyak yang ia korbankan demi bisa melindungi gadis yang dicintai. Masa depan, masa remaja, kebebasan, semua Jungkook korbankan demi bisa melindung...