48 - Maaf

43K 4.2K 746
                                    

"Acha dimana?" Tanya Acha saat pertama kali membuka kedua matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Acha dimana?" Tanya Acha saat pertama kali membuka kedua matanya. Dia melihat kesekitar. Tampak maminya yang sedang duduk sambil membaca majalah.

Vania yang mendengar pertanyaannya Acha, langsung bangkit dan menghampiri putri kesayangannya itu. "Kamu istirahat ya. Jangan terlalu banyak pikiran," Vania mengusap rambut Acha lembut.

"Kak Gara dimana? Kak Gara nggak kenapa-kenapa 'kan? Kak Gara bakal sembuh 'kan mi? Kak Gara nggak akan tinggalin Acha 'kan mi?" Tanya Acha berturut-turut.

Vania melengkungkan senyumnya. "Enggak sayang. Gara nggak akan ninggalin kamu," ucap Vania lembut. Mengambil sepiring nasi yang berada diatas meja. Duduk di tepi ranjang.

"Makan dulu ya?"

Acha menggeleng. Dia menurunkan sebelah kakinya. Berniat untuk menemui Gara. Namun dengan cepat Vania mencegahnya. "Mau kemana?"

"Acha mau ketemu kak Gara."

"Makan dulu, sini. Kamu mau Gara sedih lihat muka kamu pucat gitu? Hm?"

Acha meraba wajahnya. Menggeleng pelan.

"Ya udah kalau gitu, makan dulu dong." Vania menarik tangan Acha dengan lembut.

Acha mengangguk lirih. Sembari menunggu Vania meniup makanannya, Acha menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Vania menyadari itu, lantas tersenyum kecil. Ia tau, anaknya saat ini sedang banyak pikiran. Vania pun tak akan membiarkan Acha terus-terusan larut dalam kesedihan.

"Mi?"

"Kenapa?"

Acha menatap Vania lekat. "Acha..Acha jahat ya mi?"

Vania menghentikan pergerakan tangannya. "Maksud kamu?"

Acha menunduk. Menghembuskan nafas pelan. "Kalau aja Acha nggak putusin kak Gara, pasti kak Gara nggak bakalan kecelakaan. Acha egois ya mi? Acha nggak pernah mikirin perasaan orang. Acha cuma mikirin perasaan Acha sendiri." Acha memilin-milin tangannya sendiri. "Kenapa nggak Acha aja yang kecelakaan? Kenapa harus kak Gara?"

Vania meletakkan piring keatas meja kembali. Menangkup wajah anaknya. Sembari tersenyum kecil. "Kamu nggak boleh ngomong gitu. Ini semua bukan salah kamu. Ini udah takdir, Ca. Cuma Allah yang tau,"

Kedua bola mata Acha berkaca-kaca. "Tapi kenapa nggak Acha aja? Kenapa nggak Acha aja yang-"

"Sssttt," desis Vania. "Semua hal didunia ini berada di tangan Allah. But it has been handed over to us except fate," Vania menghapus jejak air mata di pipi Acha.

"Nggak boleh nangis lagi ya. Percaya dan serahkan semuanya sama Allah. Nggak boleh ngerasa bersalah, dan terus-terusan ngeluh. Harus kuat, nggak boleh sedih. Kamu harus jadi perempuan tangguh, right?"

Acha Milik Gara [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang