36. Membentang jarak

423 42 3
                                        

City of London ...

Laki-laki dengan syal abu-abu gelap itu kembali menginjakan kaki di kota bersejarah ini. Gedung kantor pencakar langit modern berdiri di atas lorong-lorong abad pertengahan di bawahnya. 4 hari sudah ia menjalani kehidupan baru di kota metropolitan ini, Oxy rasa ia seperti nara pidana yang kabur dari tahanan, bagaimana tidak? Ia bahkan tidak berpamitan dengan Mama nya jika ia akan terbang ke London. Entahlah, semenjak hari itu, hubungan orang tua dengan anak seolah semakin merenggang. Jika ditanya, merindukan atau tidak? Tentu saja Oxy merindukan Mama nya, bahkan setiap malam rindu itu selalu membumbui mimpi-mimpinya.

Disiksa rindu itu sangat menyakitkan. Seperti di cambuk oleh pecut sebanyak 1000 kali, atau bahkan lebih. Oxy memandang langit-langit kamarnya, ia tau pelariannya kemari tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Malah yang ada semakin memperkeruh keadaan.

"Oxy!" panggil pria tua di ambang pintu.

"What happend?"

"Bicaralah denganku di taman belakang, sekarang." titah pria itu yang kemudian beranjak meninggalkan kamar Oxy.

Oxy pun menuruti perintah pria tua itu, pria yang selama ini rela membesarkannya dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang Ayah untuk anaknya. Terakhir ia melihat Kakeknya, tubuhnya masih terlihat fit dan sehat. Entah apa yang membebani pikiran Kakeknya akhir-akhir ini sampai Kakeknya jatuh sakit.

Oxy membuntuti Kakeknya, ia ikut duduk di samping Kakeknya sembari memandang taman yang dari dulu masih dirawat dengan baik.

"Bunga kesukaan Nenek masih ada," gumam Oxy.

"Nenekmu mungkin sudah pergi, tapi aku tidak mungkin membiarkan salah satu jiwanya juga ikut pergi. Suatu saat jika aku menyusulnya, dia pasti akan memarahiku habis-habisan karena aku tidak merawat Tulip itu dengan baik."

Oxy menoleh, menatap Kakeknya sedih. Sorot mata pria tua itu jelas menggambarkan kerinduan yang amat mendalam kepada sosok yang dicintainya.

"Tulip itu aku bawa saat kita masih tinggal di Belanda. Tulip itu sempurna, ia melambangkan cinta yang abadi." ujar Kakeknya lagi.

"Istirahat lah, Kek, usia Kakek sudah tidak muda lagi, jangan membebani pikiran sendiri."

Kakek Oxy menoleh, menepuk bahu Oxy, "Apa cucu Kakek yang tampan ini sudah merasakan jatuh cinta?"

Oxy mengangguk, "Aku mencintai seseorang yang mencintai saudara kembarku," jawab Oxy.

"Nak, jangan mencintai seseorang yang belum selesai dengan masalalunya."

Oxy memejamkan matanya sejenak, bayangan hari-hari nya dengan Cemara berputar kembali di otaknya. Baru 4 hari saja ia sudah merindukan gadis itu, ia tak tahu sedang apa Cemara sekarang, dengan siapa dia? Sudah makan kah dia? Dan apakah gadis itu sama tersiksanya dengan dirinya?

Oxy sengaja mengganti nomornya, sesampainya ia di London, Oxy tak memberi kabar apapun. Bukan tanpa alasan Oxy melakukannya, ia hanya tak mau dibunuh oleh rindu. Sebab, jika ia terus berhubungan dengan gadis itu, maka sudah dipastikan Oxy tidak akan bisa tinggal lebih lama disini, sementara dirinya juga masih punya banyak kepentingan.

"Oxy tau, Kek. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku semakin jauh lagi, karena jika aku tetap bertahan dengan kemunafikanku, itu akan menghancurkan ku secara perlahan."

"Kalau begitu, berikan setangkai Tulip itu padanya. Kakek yakin, dia pasti akan menyukainya."

Oxy tersenyum, Kakeknya selalu mendukung apa yang menjadi keputusannya. Ia sangat berterima kasih dengan sosok yang sangat berjasa bagi hidupnya tersebut.

OxyLeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang