8 : Brunch

696 129 50
                                    

"Kau ingin mencoba brunch besok?" tanyaku pada Noah di telepon.

Aku dapat melihat Noah tertawa dari kamarnya. Kami memang aneh, kami saling bertatapan dari jendela kamar kami masing-masing, tapi kami bicara lewat telepon. Kami sudah resmi berpacaran selama sebulan, sejak ciuman kami di Carolina Beach waktu itu.

"Kenapa gadis New York menyukai brunch?" tanya Noah.

"Bukankah itu romantis?"

Noah tertawa lagi.

"Bagaimana itu bisa romantis?" tanya Noah.

"Tentu saja romantis. Kita ingin makan pertama kita bersama orang yang kita sukai, tapi karena kita tidak ingin mengganggu orang yang kita sukai terlalu pagi. Jadi kita sarapan siang. Bahkan di New York, paket brunch pasangan sudah banyak di restoran-restoran terkenal," kataku di telepon.

"Kalian, gadis New York, sangat aneh. Aku tidak terbiasa dengan itu. Aku terbiasa sarapan di pagi hari dan makan siang di siang hari. Jangan gabungkan breakfast dengan lunch. Makanlah tiga kali sehari," kata Noah.

Aku mencibir. "Oh, ayolah. Sekali saja, please." Aku memasang wajah memelas.

Noah menatapku dari kejauhan.

"Okay, sekali saja," kata Noah.

Tanpa bisa aku tahan, senyuman menghiasi wajahku. Noah pun tersenyum padaku.

"Besok kita akan pergi pukul 10 pagi. Okay?" kataku bersemangat.

"Ya, kita akan pergi pukul 10 besok. Bersiaplah di depan rumahmu. Sekarang tidulah, ini sudah pukul 11 malam," kata Noah.

"Okay. See you tomorrow," kataku, lalu aku menutup teleponku.

Aku melambaikan tanganku pada Noah, dan Noah membalasku. Kemudian aku menutup tirai jendela kamarku dan tidur.

***

Keesokan harinya, aku sudah siap di depan rumahku tepat pukul 10 pagi. Noah juga sudah keluar rumah dan telah siap dengan mobilnya.

"Ayo, aku sudah lapar," kata Noah dengan wajahnya yang ditekuk.

Aku kasihan padanya, pasti dia sudah menahan lapar pagi ini. Aku pun masuk ke mobil Noah, dan Noah masuk dari sisi satunya.

Kami tak banyak bicara selama perjalanan, sepertinya Noah memang kesal karena sudah kelaparan. Noah melajukan mobilnya ke arah downtown, lalu dia menghentikan mobilnya di sebuah restoran hot pot. Kami pun masuk ke dalam restoran itu. Di luar dugaan ternyata restoran itu sangat ramai. Dalam kondisi kami yang sudah lapar, kami masih harus antri. Masih ada sekitar 3 orang lagi sebelum kami bisa mendapatkan tempat duduk.

"Ramai sekali," ucapku kepada Noah.

"Ini restoran terkenal di Wilmington," kata Noah menjelaskan.

Setelah menunggu 15 menit, akhirnya kami mendapatkan kursi. Kami segera memesan makanan untuk kami berdua.

"Aku sudah sangat lapar karena menurutimu," kata Noah, setelah kami memesan makanan.

"Sorry. Tapi aku ingin sekali saja melakukan ini," ucapku membela diri.

"Lihat restorannya sangat ramai. Bahkan kita tetap harus menunggu sampai makanan tiba."

"Siapa yang menyangka turis di sini juga menyukai brunch? Lagipula aku tidak menyuruhmu makan di restoran yang ramai. Kita kan bisa makan di Bobby's," kataku membela diri.

"Kau ingin brunch spesialmu untuk makanan Bobby's? Aku mengajakmu ke sini, karena restoran ini terkenal, makanya ramai," ujar Noah tak mau kalah.

STAR IN WILMINGTON ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang