INDIGO 3

34 5 3
                                    


Cast : Lee Haechan dan Mark Lee
 
 
 
Haechan sudah selesai melaksankan Ujian Semesternya, hasil nilainyapun sudah keluar. Saatnya menikmati liburan panjang. Dia sudah mengemas barang keperluan yang akan di bawanya ke Canada, besok. Dia juga sudah mengambil seluruh uang yang ada di ATM Mark untuk di berikan kepada kedua orang tuanya dan sebagian di pakai untuk tiket pesawat dan kehidupan Haechan di sana. Beruntung, Haechan sudah memiliki paspor karena dulu sering melakukan perjalanan ke luar negeri bersama ibu dan ayahnya.
 
Mark, dia hanya diam sambil melihat-lihat apa saja yang di bawa sahabatnya itu.
 
“Dari pada diam, lebih baik kau bantu aku berkemas.” Tutur Haechan.
 
“Aku akan pergi main dengan Jaemin dan Renjun saja. Bye!” kata Mark lalu menghilang.
 
Haechan mendengkus kesal. Dia kembali memeriksa barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal. Selesai itu, dia duduk sambil melihat ponselnya. Di bukanya aplikasi pesan, lalu mengirimkan pesan walau tidak mendapat respon sama sekali.
 
Pesannya yang di kirim kepada Ibu dan Ayahnya sudah menumpuk dan tidak satupun di baca. Saat di hubungipun tidak di jawab. Jujur, dia benar-benar merasa sedih dan kecewa bahkan merasa marah pada kedua orang tuanya. Seolah telah di buang begitu saja.
 
 
-@@@-
 
“Jadi, besok kau akan pulang ke Negara asalmu?” kata Renjun dengan suara lantangnya yang khas.
 
Mark mengangguk penuh semangat dengan senyuman terukir di wajahnya. “Kalian tenang saja, aku tidak akan melupakan kalian berdua dan semoga kita bisa bertemu lagi di sana.” Ucapnya sambil menunjuk ke langit.
 
Jaemin bergeming, wajahnya yang pucat pasi terlihat semakin muram. “Jaemin-ah, kenapa kau diam saja?” tanya Mark.
 
“Aku ikut bahagia, karena sebentar lagi, kau bisa melihat orang tuamu besok. Lalu, bagaimana dengan kami?” kata Jaemin.
 
“Aku yakin, kalian juga akan bertemu dengan Ibu dan Ayah,.kalian.”
 
 
-@@@-
 
Haechan sudah ada di Bandara. Sesekali dia menanggapi ucapan Mark walau harus menahan malu karena menjadi bahan tatapan sinis dan bisikan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
 
“Mark, bisakah kau diam? Kau tidak lihat, orang-orang menatapku aneh. Berhenti mengangguku.!” Bisik Haechan dengan kesal.
 
Mark terkekeh “Bukankah itu sudah biasa bagimu, mendapat tatapan aneh?”
 
Haechan tidak menanggapi. Dia melihat bayangan 2 tahun lalu saat mengantar kedua orang tuanya ke Jepang. Bahkan posisi tempat dan tatanannya masih lama. Pesawat memuju Canada pun datang dan segera di masuk ke dalam. Dia duduk di tempat yang sesuai dengan nomor di tiketnya. Kursi di dekatnya masih kosong dan Mark duduk di sana.
 
Sambil menunggu penumpang lain datang, pria bermarga Lee itu memilih untuk memejamkan mata karena semalam dia terjaga untuk mempacking semuanya, sendiri.
 
“Tu-tunggu dulu, WOAAAAH!” Mark histeris saat seorang mendudukinya.
 
“YAK! Marķ Lee, jangan ber … te ….” Haechan terkejut dan teriakannya melunak saat melihat seorang gadis duduk di dekatnya sambil melempar tatapan heran. “Ekhem!” segera membenarkan posisi duduknya.
 
Mark terkekeh melihat Haechan yang menahan malu sambil menatapnya tajam seolah memberi isyarat kesal.
 
Perjalanan sudah hampir sampai. Haechan ingin sekali berteriak pada Mark yang sedari tadi terus saja mengusilinya. Tidak bisa, karena ada seorang gadis di sampingnya. Bahkan Mark sesekali menggoda Haechan untuk menyapa gadis itu.
 
“Ayo Chan, ajak dia kenalan. Dia gadis cantik, gunakan kesempatanmu untuk punya teman wanita. Masa kau berteman dengan hantu wanita terus.” Ucap Mark.
 
Pemuda berkulit kecoklatan itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan mengatur amarahnya yang berusaha untuk di tahannya. Dia tidak bisa berkutik saat ini.
‘Awas kau Mark!’batinnya.
 
“Permisi,”
 
“Ye?!” Haechan kaget saat gadis di sampingnya menyapa.
 
“Apa … kau punya pulpen?”
 
“A iya,” setelah mendapatkan pulpennya lalu di pinjamkan ke gadis itu. “Ini.”
 
Saat tidak sengaja gadis itu memegang tangan Haechan karena menerima pulpen sambil melihat ke arah lain. Tiba-tiba merasakan sesuatu, reflek dia menarik tangannya.
 
“Ma-maaf,” ucap gadis itu.
 
Haechan sedang mengatur napasnya, dia merasa aneh dengan apa yang di alaminya.
“Kau kenapa Chan?” tanya Mark.
 
Si empunya menggeleng lalu membuka tirai jendela. Terlihat gumalan awan yang indah bergerak dan lenyap seperti asap.
 
“Ekhem!” terdengar gadis itu berdehem lalu menepuk pelan lengan Haechan, membuat perhatiannya keluar terusik. “Terima kasih pulpennya.” Ucapnya.
 
 
~Canada, Vancouver~
 
 
Setelah menempuh perjalanan cukup lama. Akhirnya sampailah di Bandara Canada. Dia segera naik ke taxi menuju tempat yang di katakan oleh Mark. Pandangan Haechan tidak lepas dari jendela. Sesekali terkagum-kagum dengan pemandangannya.
 
“Where do you come from, Mister?” tanya driver taxi demgan ramah.
 
“I am from Korea.” Jawab Haechan.
 
“O, What is your purpose for coming to Canada? You want to Work?” (Apa tujuan anda datang ke Kanada? Anda ingin bekerja?)
 
“No, I want to visit my brother.” (Tidak, aku ingin mengunjungi saudaraku.)
 
“Woaah, ternyata kau jago dalam bahasa Inggris ya?” puji Mark.
 
“Tentu saja, aku kan belajar dan dulu, sering pergi ke luar negeri bersama ibu dan ayahku.” Tutur Haechan sambil berbisik.
 
Sampai di depan sebuah Hotel, Haechan turun. Dia mengamati sekelilingnya yang terlihat asing.
 
“Sial!” umpatnya saat ada beberapa sosok mengerikan berdiri di depan lobi hotel dan menatapnya tajam sambil menyeringai.
 
“Kenapa kau ke sini? Bukankah harusnya kita kerumahku?” kata Mark.
 
“Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat berada di sini. Aku ingin menikmati perjalananku selama di Kanada.” Kata Haechan sambil berjalan masuk ke Hotel dan memesan kamar untuk beberapa hari.
 
Saat ingin ke kamar dia dikejutkan oleh sosok hantu perempuan yang berjalan berlawanan arah di lobi hotel. Dia memilih untuk tidak memperdulikannya dan terus berjalan sampai berpapasan. Hantu itu langsung menoleh cepat.
 
Mark ikut beringsut ketakutan saat melihatnya. “Chan, kau lihat itu?”
 
“Diam!” bisiknya.
 
Tidak ada ucapan apapun dari hantu tersebut, Dia hanya menatap tajam dari mata hitamnya dengan wajah yang sangat mengerikan menyeringai, bahkan hampir terputus lehernya, tubuh yang tinggal kulit dan tulang terbalut darah serta bau busuk yang menyengat. Tidak lama dia kembali berjalan.
 
“Sial!” umpat Haechan sambil segera masuk ke kamarnya dan pergi ke toilet.
 
“Chan, hidungmu berdarah lagi?! Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
 
“Hantu tadi mencoba untuk masuk ke dalam tubuhku dan berinteraksi. Tapi, aku menolaknya, energinya terlalu kuat dan membuat kepalaku sakit. Itu sebabnya hidungku berdarah.”
 
“Baru kali ini, aku melihat hantu yang sangat mengerikan.” Kata Mark.
 
“Kau juga sama mengerikannya! Kalau sosok aslimu terlihat oleh manusia. Aku heran, denganmu. Sama-sama hantu tapi takut.”
 
“Sebenarnya aku tidak takut dengan sosoknya tapi, tatapan matanya yang mengerikan. Seperti ada kemarahan di sana.”
 
“Iya, dia diselimuti dendam dan kebencian. Oia, apa itu hantu Kanada?”
 
“Mana ku tahu.” Jawab Mark sambil mengangkat kedua bahunya.
 
“Ah sudahlah, aku ingin istirahat! Tolong, kau jaga kamarku jangan sampai ada hantu masuk.” Titah Haechan.
 
 
-@@@-
 
Pagi menjelma, Haechan sudah selesai sarapam dan bersiap untuk menikmati keindahan Kota Vancouver. Dia sudah mencari di internet.
 
“Hari ini … ingin ke mana dulu ya?” gumamnya.
 
“Kota Kitsoult!” ceplok Mark.
 
“Tidak mau! Aku tidak tertarik untuk pergi ke sana. Kau pikir, karena aku bisa melihat mereka. Tempat wisataku harus selalu berkaitan dengan hal semacam itu?”
 
“Tidak juga. Ada Museum Vancouver, VanDusen Botanical Garden, lalu Gastown Steam Clock ….”
 
“Ayo kita ke sana saja!”
 
 
Haechan sampai di Botanical Garden , pemandangan indah dengan berbagai tanaman dari penjuru dunia. Sesekali dia memotret pemandangan tersebut. Berkali-kali dia membuang napasnya. Karena tidak jarang dia melihat sosok-sosok mengerikan.
 
Meresa sudah puas, dia pergi ke Museum. Pengunjung nampak ramai karena memang Haechan berkunjung di jam-jam favorite para pengunjung. Setelah merasa puas, Di kembali ke hotel.
 
 
-@@@-
 
Tiga hari sudah Haechan ada di Kanada. Hari ini, dia berencana untuk ke rumah Mark.
“Apa yang harus aku lakukan di sana, nantinya?” tanya Haechan.
 
“Lakukan saja apa yang sudah aku katakan. Kau ceritakan semuanya pada keluargaku. Tenang saja, keluargaku orang baik. Tapi … kau harus siap kalau bertemu dengan kakakku.”
 
“Memangnya, kakakmu kenapa?”
 
“Emosinya besar, dia sangat menyayangiku dan selalu melindungiku. Aku yakin, dia akan sangat marah nantinya.”
 
“Tsk! Aku tidak takut. Aku hanya takut pada Eommaku.” Kata Haechan sambil mengemas barang bawaannya kemudian pergi dari hotel.
 
Setelah menempuh perjalanan hampir 1 jam, sampailah Haechan di tempat tujuan. Dia melihat rumah yang cukup besar dan mewah, tanaman bunga serta rumput jepang menghiasi halama rumah tersebut.
 
“Rumahku tidak berubah,” kata Mark dengan begitu bahagia lalu menarik Haechan masuk.
 
“Ya-ya-Yak! Tu-tunggu dulu Mark!” teriak Haechan.
 
BRUK!
 
“Argh!” rintih Haechan saat menabrak pintu. Mark menarik Haechan tapi dia tidak sadar kalau sahabatnya itu manusia jadi tidak bisa menembus pintu.
 
Mendengar suara gaduh, seseorang membuka pintu. Haechan langsung mundur beberapa langkah. Dilihatnya seorang wanita muda dengan paras cantik dan bule.
 
“Mommy,” kata Mark yang segera berhambur memeluknya tapi tidak bisa menyentuhnya.
 
“Siapa kau?”
 
Haechan susah payah menelan ludahnya, dia terkejut kalau ternyata wanita itu adalah ibunya Mark. “A-aku Hae-hae-haechan. Aku ….” Dia melirik Mark yang sedang menangis melihat ibunya.
 
“Hae-chan?! Ada perlu apa kau datang ke rumahku, Nak?”
 
“Aku sahabatnya Mark, putra anda Nyonya.”
 
Raut wajah Nyonya Emily berubah. “Mark?! Di mana dia, apa kau datang bersamanya? Mana?” ucapnya sambil melihat sekelilingnya.
 
“Aku di sini Mommy.” Jawab Mark masih menangis.
 
Haechan masuk dan menceritakan semuanya, berawal dari bertemu dengan Mark sampai satu kejadian tragis menimpanya hingga kehilangan nyawa. Di sana ada Ayahnya, Tuan Peter Lee, kakak lelakinya dan Ibunya. Mereka terkejut sekaligus terpukul dengan kabar itu.
 
“Kenapa, kau tidak memberitahu kami? Kenapa baru sekarang?” kata Sang Kakak yang terlihat begitu marah bahkan sambil menarik kerah baju Haechan.
 
Nyonya Emily hanya bisa menangis di pelukan suaminya.
 
“Ma-maafkan aku. Tapi, Mark yang meminta agar aku tidak memberitahu kalian.”
 
“Mark?! Kau bilang Mark yang melarangmu memberitahu kami? Bagaimana bisa huh!” kata Sang Ayah.
 
“A-aku bisa melihat arwah orang yang sudah mati dan sampai saat ini, dia selalu bersamaku.”
 
David, Kakaknya Mark tertawa saat mendengar pengakuan Haechan.
“Are you Crazy, man? Kau bilang, dia bersamamu selama ini?”
 
“Nak, Kau bilang, dia ada bersamamu? Apa kau … anak indigo?” tanya Tuan Peter.
 
Haechan mengangguk. “Iya, aku bisa melihat mereka. Aku ke sini juga, karena permintaan Mark. Dia yang menunjukam semua jalannya dan sekarang dia ada di sini sedang menatap kalian dengan penuh kerinduan.”
 
Nyonya Emily menghentikan isakan tangisnya. “Di-di mana dia sekarang? Bisakah aku memeluknya?”
 
Mark masih menangis “Mommy, aku sangat merindukanmu.”
 
Haechan melirik ke Mark.
 
“Hei! Katakan cepat, di mana Mark? Suruh dia menampakan diri, kami ingin sekali melihatnya.” Ucap David.
 
“Maafkan aku, aku tidak bisa membuat kalian bisa melihatnya. Kecuali … mata batin kalian di buka.”
 
Sebuah keajaiban terjadi. Tiba-tiba Sang ibu melihat Mark, bahkan Tuan Peter dan Sang Kakak juga bisa melihatnya.
 
“Ma-Mark?! Putraku!” Nyonya Emily kembali menangis sambil menghampiri putranya.
 
“Mark,” ucap Sang Ayah.
 
“Mommy, Daddy … I’m miss you.” Ucapnya.
 
“Mark, I’m So Sorry my Son. I’m So sorry … ayah menyesal membiarkanmu pergi sendiri. Maafkan ayah.” Ucap Sang Ayah dengan sangat menyesal.
 
“Why, Mark? Kenapa kau kejam sekali meninggalkan ku!” kata Sang Kakak.
 
“Maafkan aku,” hanya itu yang terlontar dari mulut Mark.
 
Mereka bertiga ingin sekali memeluk Mark tapi tidak bisa. Mereka hanya mampu melihat tanpa bisa menyentuhnya
 
“Aku ingin, kalian hidup dengan bahagia. Karena aku, akan bahagia di sana.” Ucap Mark.
 
“Mommy, Daddy, My Brother. Aku sangat menyayangi kalian. Aku minta maaf, karena tidak sempat membahagiakan kalian. Bahkan, aku belum memberi kabar saat aku akan debut menjadi seorang idol. Sekarang, aku pamit dan relakan aku pergi.” Ucap Mark.
 
“Iya, Kami akan merelakanmu untuk pergi. Semoga kau bahagia di sana, Nak.” Ucap Nyonya Emily yang di sambut anggukan Tuan Peter dan Sang Kakak.
 
Suasana haru menyelimuti keluarga Mark. Haechan ingin sekali menangis. Karena, dia akan kehilangan sahabatnya yang selama ini sudah menghiburnya dan menemaninya saat sendiri.
 
“Haechan-ah, gomawo. Kau adalah sahabatku satu-satunya. Dan orang yang pertama kali menjadi temanku saat sampai di Korea. Terima kasih banyak, maaf, aku tidak sempat membalas budi baikmu. Tapi, aku akan terus mengingatmu.” Ucap Mark.
 
“Dasar bodoh! Berani sekali kau pergi setelah membuatku berada di Canada? Lalu, bagaimana caraku bertahan di sini huh!?”
 
“Tinggalah di sini selama kau ada di Canada. Keluargaku pasti akan menerimamu.” Ucap Mark.
 
Nyonya Emily dan Tuan Peter mengangguk.
 
PLETAK!
 
“YAK! Kenapa kau memukulku?!” bentak Mark saat Haechan mejitak kepalanya.
 
“Kapan lagi aku bisa memukulmu MARK LEE! Anggap saja itu sebagai salam perpisahan.” Ucap Haechan.
 
Suasana haru berubah bagi mereka berdua.
“Pergilah dengan tenang,” tutur Haechan dengan nada sambil menahan tangis.
 
Sosok Mark mulai berubah transparan sambil tersenyum kemudian menjadi cahaya beterbangan dan hilang.
 
 
-@@@-
 
Malam ini, Haechan tinggal di rumah Mark. Dia tidur di kamar sahabatnya, terlihat beberapa foto Mark sejak kecil sampai dewasa tertata rapih. Buku-buku novel dan album para idola favoritnya di lemari kaca.
 
Tidak terasa matanya memanas dan berkaca-kaca. Ingin rasanya menangis dan seolah ada yang hilang di hatinya. Dia mengambil figura poto ukuran 3R. Terlihat seorang anak laki-laki dengan senyuman dan wajah yang masih polos. Tiba-tiba bayangan wajah Mark sedang tersenyum muncul membuat Haechan ikut tersenyum.
 
“Kamarmu sangat nyaman, aku izin menempatinya, semalam saja.” Ucapnya.
 
 
-@@@-
 
Suasana pagi ini begitu khidmat. Haechan dan keluarga Mark sarapan bersama. Nyinya Emily membuatkan roti untuknya dan juga susu pisang.
 
“Ayo makanlah, kau harus makan yang banyak sebelum kembali ke Korea.” Ucapnya.
 
“Kau yakin akan pulang hari ini, Chioke?” tanya Tuan Peter Lee.
 
“Chi-chioke?! Nam_”
 
“Aku memberi nama untukmu Chioke yang artinya Hadiah dari Tuhan. Bagi kami, kau adalah hadiah yang sangat indah dan pastinya, hadiah untuk kedua orang tuamu juga. Mereka pasti bahagia memiliki putra yang sangat baik, sepertimu. Nak.” Jelasnya.
 
Haechan bungkam ada sesuatu yang menyentuh di hatinya. Dia menunduk mengingat kedua orang tuanya. Dan makan bersama ini, mengingatkannya pada saat makan bersama Ayah dan ibunya.
 
“Chioke, kau menangis?” tanya David.
 
Haechan menghapus air matanya lalu mendongak sambil tersenyum. “Maaf, aku tidak bisa menahannya.”
 
“Kenapa kau menangis, Nak?” tanya Nyonya Emily.
 
“Aku merindukan Ibu dan Ayahku.”
 
Nyonya Emily mendekati Haechan lalu memeluknya. “Anggaplah, Aku sebagai ibumu. Ya.” Ucapnya sambil mengusap punggungnya. Isakan tangisnya kembali pecah.
 
 
-@@@-
 
Haechan sudah ada di Bandara dan di antar oleh Ibu, Ayah dan David.
 
“Terima kasih, Nak. Sudah memberitahu kami tentang Mark. Kami sudah merasa lega sekarang. Semoga selamat sampai tujuan dan jangan lupakan kami.” Pesan Nyonya Emily.
 
David memberikan sesuatu pada Haechan. “Sekarang, kau adalah saudaraku! Ini salah satu benda favorite Mark. Kau harus selalu memakainya.”
 
Senyuman terukir di wajah manis pemuda bernama Lee Haechan. “Terima kasih, Paman, Bibi dan David … Hyung. Aku pamit.”
 
 
~Seoul, Korea Selatan~
 
 
Haechan sudah sampai kembali di Negeri Ginseng. Dia sedang dalam perjalanan menuju rumahnya.  
 
David memberinya sebuah topi. Iya, Mark senang sekali mengoleksi topi. Itu adalah aksesoris favoritnya. Dia juga menyukai roti dan susu pisang yang di jadikan menu sarapan bersama keluarga Mark. Ah satu lagi, es krim, Mark suka sekali es krim. Sampai-sampai, dia pernah mengatakan. (“Kalau aku tidak menjadi seorang idol, aku akan menjadi seorang novelist atau penjual es krim”)
 
Dia ingin menjadi idol, setelah mendengarkan lagu Man In The Mirror dari Michael Jackson yang merupakan idol favoritku. Dia menyukai Beyonce, Coldplay dan Chris Brown. Saat ini, Aku sedang mendengarkan beberapa lagu mereka sebagai mengobat rinduku pada Mark.
 
‘Selamat Jalan Mark, terima kasih sudah menjadi sahabatku selama ini. Semoga, kita bisa bertemu lagi di kehidupan yang baru.’ Batinnya kemudian memejamkan matanya sejenak.
 
 
 
-END-
 
 
 
 

Kumpulan Fanfiction Oneshoot dan TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang