Secret Letter

72 3 9
                                    

Cast : Bae Seon Ri, Jung Sungchan dan Lee Haechan.

💚💚💚
 
Bae  Seon Ri mendapati surat bersampul orange di meja belajarnya. Sudah yang ketiga kalinya dalam bulan ini. Tanpa berniat membukanya, remaja itu langsung melayangkan surat itu ke dalam tong sampah di samping pintu, lalu duduk membuka buku. Seon Ri baru saja hendak membaca halaman pertama saat adiknya menerobos masuk ke kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu.
 
“Eonni, tadi aku lihat ada surat lagi di sini. Eh, mana? Tadi aku lihat di sini?” ucap Seon Ah, gadis kecil kelas 4 SD yang sok tahu itu—menurut Seon Ri yang sering di ganggu saat belajar dengan mengomentari ini dan itu—celingak celinguk mencari sesuatu di meja belajar Sang Kakak.
 
“Sudah Eonni buang,” sahut Seon Ri singkat.
 
“Loh, kok dibuang? Seon Ah mau baca.” Seon Ah merengut di sisi meja.
 
Seon Ri mengangkat kepalanya, mulai merasa terusik. “Memangnya apa yang bagus dari surat itu? Paling dari anak tetangga yang suka iseng ngelemparin kamu pakai kerikil itu, kan? Sudah ah Eonni mau baca lagi. Kamu keluar sana, terus bilang sama Bibi supaya tidak menaruh surat apapun lagi di kamar Kakak. Suruh langsung buang saja!”
 
“Siapa tahu dari penggemar rahasia Kakak. Lagi pula yang suka melempari aku itu, masih TK, tidak mungkin sudah bisa nulis surat.”
 
“Oh, terus kamu mau bilang, kalau yang ngasih Kakak surat itu adalah hantu yang suka gentayangan di hutan itu, iya?” Seon Ri mulai kesal.
 
“Sekarang keluar deh, Kakak mau belajar, besok Kakak ada ulangan Kimia.” Seon Ri berdiri lalu mendorong adiknya ke pintu. “Dan jangan lupa bilang yang tadi ke Bibi , ngerti?”
 
“Iya. Iya. Kakak nggak seru, deh. Wleee.” Seon Ah menjulurkan lidahnya sebelum berlari meninggalkan kamar sang Kakak. Remaja itu mendengkus kesal saat mendapati teriakan Seon Ah di ruang keluarga.
 
“Bibi, kata Eonni, kalau ada surat lagi, tolong di simpan, ya! Itu surat dari penggemar Eonni!” Lalu suara cekikikan di susul sahutan Ahjumma dari arah dapur.
 
(“Dasar adik durhaka. Awas saja, setelah ini akan aku beri dia pelajaran!” batin Seon Ri berapi-api.)
 
Seon Ri menutup pintu lalu menguncinya. Sejenak diliriknya surat bersampul pink di tong sampah. Dalam hati, Ia membenarkan kata Seon Ah. Mungkin saja surat itu berasal dari seseorang yang mengaguminya diam-diam. Bisa juga dari teman lamanya di Kota, sebelum mereka pindah ke sini. Ah, tapi jika dipikir-pikir lagi, rasanya itu tidak mungkin, mengingat dia dulu tidak pernah punya teman seorang pun.
 
Mengulang kembali ingatan masa SMP-nya yang tidak mengenakan, Seon Ri menghembuskan napas lelah. Remaja itu meraih kembali surat tersebut dan meletakannya di atas meja. Ia kemudian mengeluarkan dua buah surat yang sama dari dalam laci meja belajarnya.
 
“Terkutuklah aku kalau ketahuan Seon Ah.” Gumamnya.
 
Seon Ri duduk memperhatikan ketiga surat itu. Ia sudah menyingkirkan buku pelajarannya ke samping. Niatnya untuk belajar hilang, sudah di kalahkan rasa penasaran.
 
“Baiklah. Lebih baik aku baca saja. Mungkin dengan aku baca dan balas suratnya, dia akan berhenti mengirimiku lagi.” Seon Ri meraih surat pertama. Di sudut kiri sampul terdapat tulisan yang sangat kecil, yang membuat Seon Ri harus memicingkan mata untuk membacanya.
 
“Untuk Bae Seon Ri, My Sunshine.” My Sunshine? Seon Ri mengerutkan dahinya.
 
Oke, fix. Ini benar-benar dari orang tidak jelas yang mengaggumiku. Haruskah aku senang? Atau sedih?
 
Perlahan gadis itu merobek sampul pink yang ternyata beraroma wangi. Seon Ri baru saja menydari ada gambar yang lain saat melihat logo bunga lavenderi di sisi kanan sampul.
 
“Amplopnya bagus, seperti dibuat sendiri,” gumamnya sambil menarik keluar kertas berwarna pink muda yang dilipat rapih.
 
Sejenak Seon Ri ragu untuk membukanya. Dia meletakan surat itu dengan cepat. Seolah-olah surat itu berisi teror yang sangat menakutkan. Dia takut isi surat itu tidak sama seperti sampupnya. Siapa sih yang mau mengirimi remaja penyendiri seperti dia, surat cinta dengan sampul pink dan beraroma lavender?
 
Namun lagi-lagi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Dengan hati mantap, Seon Ri membuka surat itu dan membaca baris pertama.
 
“Halo Seon Ri. Apa kabar? Aku senang, kamu akhirnya membaca suratku.”
 
Hei. Apa-apaan ini? Aku baru pertama kali membaca suratmu. Apa maksudnya dengan ‘akhirnya’?
 
Seon Ri semakin mengerutkan keningnya saat matanya membaca baris selanjutnya.
 
“Kau tahu, Aku sangat merindukanmu. Kapan ya terakhir kali kamu menyebut namaku?”
 
Wah, benar-benar gila. Aku bahkan tidak kenal kamu, bagaimana mungkin aku pernah memanggil namamu?
 
Atau jangan-jangan, surat ini bukan ditujukan untukku. Bisa saja surat ini untuk seseorang dengan nama yang sama denganku. Siapa sih pengirimnya?
 
“Apa aku tanya Bibi saja, ya? Mumpung Seon Ah lagi main ke sebelah.” Seon Ri melirik jendela kamarnya. Tampak Seon Ah sedang bermain boneka bersama anak laki-laki yang sering melemparinya kerikil.
 
“Baiklah, aku tanya Bibi saja.” Seon Ri keluar dari kamar, berjalan menuju dapur.
 
“Bibi, aku mau tanya sesuatu.”
 
Seorang perempuan setengah baya menoleh ke arah Seon Ri sambil tersenyum.
 
“Oh, Seon Ri. Ada apa?”
 
“Itu, Bibi tahu, kan akhir-akhir ini ada yang mengirimiku surat dengan sampul pink. Apa Bibi tahu siapa orangnya?”
 
“Oh, penggemar rahasiamu, ya?” Bibi tersenyum simpul. “Bibi tidak tahu, tapi surat-surat itu selalu ada di depan kamarmu. Bibi pikir surat itu dari Seon Ah yang mengajakmu main surat-suratan. Karena, kamu jarang keluar kamar, rapi sepertinya bukan. Bibi benar-benar tidak tahu.”
 
Seon Ri merasakan bulu kuduknya merinding mendengar penjelasan Bibi. Bagaimana bisa surat itu ada di depan kamarnya? Bagaimana bisa ada orang lain masuk ke rumahnya dan meletakan surat di sana?
 
“Bibi tidak bohong, ‘kan? Masalahnya di surat itu tertulis namaku. Mana mungkin ada orang lain yang menaruhnya di depan kamarku tanpa memgetuk pintu depan dan bilang kepadamu?”
 
“Itu juga yang Bibi tidak mengerti, Seon Ri. Bibi selalu mengunci pintu depan saat kalian sekolah, jelas tak ada orang yang bisa masuk kemari tanpa izin.” Bibi diam sebentar. “Mungkin saja itu dari Seon Ah, seperti yang Bibi bilang tadi, mungkin dia ingin bermain denganmu jadi dia menulisnya dan pura-pura tidak tahu. Coba nanti Bibi tanya padanya. Oke?”
 
Mustahil. Pasti ada seseorang yang mengerjaiku. Awas saja kalau aku tahu nanti.
 
Seon Ri kembali membaca surat itu, kali ini dia membaca keseluruhan isinya hingga selesai.
 
“Halo Seon Ri. Apa kabar? Aku senang kamu akhirnya membaca suratku. Kau tahu, aku sangat merindukanmu. Kapan ya terakhir kali kamu menyebut namaku? Maafkan aku Seon Ri. Aku tidak bisa lagi bermain denganmu. Kau kan tahu, aku tidak bisa keluar dari rumahku tanpa izin. Jika aku keluar, tentunya aku akan kena hukum oleh bibiku. Maaf ya, Seon Ri. Aku benar-benar menyesal tidak bisa menemanimu lagi.”
 
Seon Ri mengernyit tidak mengerti. Kalimat demi kalimat yang dibacanya sama sekali tak ia pahami. Memang tak sesulit cerita misteri atau detektif yang sering dibacanya.
 
Masalahnya, Aku tak tahu ‘Seon Ri’ siapa yang dia maksud? Aku?
 
Seon Ri berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat, apakah dia pernah punya teman yang tinggal dengan bibinya yang menakutkan, hingga kemana-mana dia harus lapor atau mengendap-endap seperri tikus jika ingin keluar rumah.
 
Lucu sekali. Bahkan aku tak pernah punya teman yang ‘benar-benar’ teman, batinnya.
 
Seon Ri menghembuskan napas lelah. Matanya beralih ke surat kedua. Sama seperti surat pertama, di sampul kirinya tertulis ‘Bae Seon Ri, My Sunshine’ dan di ujung kanan ada logo bunga lavender. Tanpa berpikir panjang, remaja itu segera merobek sampul surat dan menarik isinya keluar. Kali ini warna kertasnya hijau daun dan ada sebuah foto. Seon Ri membaca surat itu.
 
Halo Seon Ri. Apa kabarmu sekarang? Sudah lama, ya kita nggak ketemu. Aku kangen kamu. Makasih loh jemarin sudah balas surat-suratku.
 
Oh iya Seon Ri, aku sekarang tinggal sendiri. Bukan apa-apa tapi bibiku sudah pergi, jadi aku bebas kemanapun sekarang. Aku jadi bisa keluar menemuimu. Aku senang sekali.
 
Ah iya, aku lupa, kamu juga sudah pergi, Seon Ri. Maaf ya, mungkin aku bukan teman yang baik untukmu. Tapi, aku janji, kalau nanti kita bertemu lagi, aku akan selalu melindungimu.
 
Salam hangat
Temanmu.
 
Baiklah, kali ini ada tulisan salam hangatnya. Tapi jujur, aku sama sekali gak ingat punya teman seperti dia . Apa surat ini memang bukan untukku, ya? Tak ada tanggal ataupun nama pengirim.
 
Seon Ri semakin memgerutkan dahinya. Dia membolak-balokan kertas itu untuk mencari petunjuk, kalau-kalau ada nama pengirim di belakangnya.
 
“Ih, siapa sih yang ngirimin aku surat-surat ini? Aku tidak merasa punya teman, lagi pula ini surat pertamaku.” Seon Ri meraih foto hitam putih lusuh seukuran id card yang terlampir bersama surat itu.
 
“Ini kan fotoku waktu kecil, kenapa ada dengannya?” Di foto itu, Seon Ri mengenakan gaun bunga-bunga selutut dengan bandu pink di kepalanya. Seon Ri kecil terlijat sangat cantik di sana.
 
“Kupikir aku menghilangkannya, ternyata ada sama dia. Tapi sebenarnya dia siapa, sih? Kok aku tidak ingat, ya?”
 
Seon Ri melirik surat yang ketiga. Remaja itu ragu ingin membukanya atau tidak. Bagaimanapun dua buah surat yang sudah dibacanya berhasil mengerutkan dahinya semakin sDalam dan membuatnya lupa belajar.
 
“Lebih baik aku simpan saja dulu. Sekarang waktunya belajar kembali.”
 
Meski penasaran, Seon Ri menyimpan surat ketiga di dalam laci. Ia lalu membereska  mejanya yang penuh kertas dan mulia membuka buku. Senja di luar sana semakin erat memeluk lingkungan tempat tinggal mereka yang tak seberapa. Seon Ri dapat melihat Seon Ah yang melambai ke arahnya lewat jendela, menandakan dia akan pulang dan mulai mengganggu kakaknya lagi seperti biasa.
 
Dasar nakal.
 
 
💚💚💚
 
Keesokan harinya, Seon Ri berangkat ke sekolah seperti biasa. Ia segera berjalan ke depan pintu bersamaan dengan Seon Ah yang memekik di ujung tangga.
 
“Kakak, mau ninggalin aku, ya?” Soen Ah menatap jengkel dari tempatnya berdiri.
 
Gadis berkepang dua itu masih memakai piyama dan baru saja bangun tidur, terlihat dari matanya yang masih belum terbuka sempurna.
 
“Kakak ada ulangan hari ini, harus datang pagi. Kamu pergi sendiri saja, ya?” Tanpa menghiraukan teriakan balasan dari adiknya Seon Ri sudah melangkah keluarrumah sambil menutup kedua telinganya.
 
 
💚💚💚
 
“Eh, eh lihat tuh. Di mejanya ada surat, loh?”
 
“Widih, kok bisa ya? Sampulnya pink lagi, hebat!”
 
“Alag, paling juga kerjaannya anak-anak cowok. Mana adalah yang ngirim surat ke dia.”
 
“Tapi bisa saja, kan. Gimana kalau kita buka?”
 
“Enggak, ah. Ntar dia ngamuk kayak kemaren, lagi pula siapa juga yang ngambil buku matematika dia. Kita kan Cuma pinjem doang buat liat jawaban PR-nya.”
 
“Sst. Sst. Dia datang tuh.”
 
Seon Ri melangkah masuk ke kelas, tanpa menghiraukan bisik-bisik tak jelas dari teman-teman sekelasnya. Gadis itu sudah terbiasa mendengar namanya di sebut-sebut atau diejek-ejek oleh mereka.
 
Yah, Aku sudah terbiasa. TER-BI-A-SA.
 
Gadis itu segera melangkah ke bangkunya. Matanya tertegun saat surat dengan amplop pink tergeletak di mejanya.
 
“Kerjaan siapa, nih?” tanya Seon Ri pada anak-anak perempuan di sudut kelas yang masih berbisik-bisik sambil menatapnya.
 
“Enggak tahu. Paling anak cowok yang mau nge-bully kamu.” Lalu mereka semua tertawa. Seon Ri tak menanggapi mereka, gadis itu meletakkan tasnya di atas meja lalu meraih surat itu.
 
Lagi-lagi surat yang sama.
 
Seon Ri tercekat. Bagaimana bisa si pengirim tahu selain alamat rumahnya, pintu kamarnya, dan sekarang sekolahnya, kelasnya bahkan bangku dan mejanya?
 
Ini benar-benar keterlaluan.
 
Seon Ri segera beranjak keluar kelas. Dia sudah tidak tahan lagi. Dengan langkah cepat, gadis itu berjalan ke arah belakang sekolah tempat dimana dia sering melamun atau menangis ketika anak laki-laki mengganggunya.
 
Sesampainya di sana, ia segera membuka surat ketiga yang di bawanya dari rumah.
 
Halo Seon Ri. Kamu apa kabarnya? Terima kasih ya sudah membalas surat-suratku. Oh iya, aku mau mengabarkanmu kalau sekarang aku sedang sakit. Bukan sakit parah kok, kamu tenang saja. Aku pasti akan segera sembuh.
Dan Seon Ri, mungkin ini surat terakhirku. Aku kinta maaf jika aku pernah berbuat salah padamu. Juga maafkan bibiku yang sering memarahimu. Maaf ya Seon Ri, Aku harap kita dapat berjumpa kembali. Aku kangen kamu.
 
Salam hangat untuk My Sunshine
 
Sungchan.
 
 
Sungchan? Seon Ri mencoba mengingat-ingat lagi siapa Sungchan. Gadis itu beranjak ke sebuah bangku tua di dekat gudang yang sudah tidak terpakai.
 
“Teman kecil? Bibi yang suka memarahiku? Sungchan? Arrrgh, aku tidak bisa ingat.” Seon Ri berteriak frustasi.
 
“Coba kamu pikir-pikir lagi, Seon Ri. Mungkin ada satu orang yang terlintas di kepalamu.” Tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya. Gadis itu spontan menoleh ke asal suara.
 
“Kamu siapa?”
 
“Aku Haechan, salam kenal.” Anak laki-laki itu berjalan ke aranya.
 
“Dari mana kamu tahu? Apa kamu yang mengirimnya ke rumahku? Dan kamu juga yang meletakan ini di mejaku?” Seon Ri bertanya sambil memasang wajah jengkel.
 
Bagaimana tidak, dia benar-benar pusing memikirkan surat-surat itu dari semalam sampai dia tidak jadi belajar fisika.
 
“Bukan aku,” jawabnya pendek. “Kau belum buka yang itu?”
 
“Memangnya harus? Lalu darimana kamu tahu tentang surat-surat ini?”
 
“Kamu pasti bingung. Itu dari dari sahabat lamamu. Dasar pelupa.” Haechan meraih surat yang belum dibuka. “Apa aku yang harus membukanya?”
 
“Eh, apa-apaan?” Seon Ri menarik kembali surat dari tangan Haechan. “Aku tidak akan ngasih surat ini ke kamu, kalau kamu tidak jawab pertanyaan aku.”
 
“Ya sudah, sih! Aku juga sudah tahu isinya.” Haechan tersenyum cuek, lalu mulai berjalan meninggalkan Seon Ri.
 
“Woi, tunggu! Apa kamu bilang? Berarti kamu tahu siapa pengirimnya?”
 
“Ya tahulah. Kan tadi aku nyebut sahabat kamu, kan. Dia yang ngirimin surat-surat itu.”
 
“Hah?”
 
“Nanti aku jelasin lagi. Sekarang bel udah bunyi, kamu tidak.mau masuk ke kalas?”
 
Seon Ri memasang wajah kesal yang kentara, “Oke, habis pulang sekolah. Kasih tahu aku yang sebenarnya.” Lalu gadis itu berjalan meninggalkan Haechan sendirian.
 
 
💚💚💚
 
“Apa?!” Seon Ri terbelalak hebat setelah mendengar perkataan Haechan.
 
“Ya. Aku sudah ceritakan semuanya. Terserah kalau kamu tidak percaya.” Haechan masih berdiri sambil menenteng tasnya di tangan kiri.
 
“Tapi bagaimana mungkin? Aku masih tidak mengerti.” Seon Ri memegang kepalanya yang mulai terasa berdenyut.
 
“Begini, ya. Aku akan ceritakan lagi padamu.” Haechan menarik napas sebentar sebelum melanjutkannya, “Orang yang selalu mengirimimu surat itu adalah Sungchan, sahabat masa kecilmu. Kenapa surat itu baru kamu terima sekarang,  padahal harusnya surat itu telah sampai padamu 10 tahun yang lalu? Alasannya klise, Seon Ri. Karena dia tidak pernah mengirimkannya padamu. Kamu ingat anak laki-laki kecil yang dulu tinggal di sebelah rumahmu? Yang bibinya pemarah dan suka memukuli Sungchan? Apa kamu ingat?”
 
“Entahlah, Haechan. Aku tidak terlalu ingat.”
 
“Dulu dia dan dirimu berteman baik. Dia selalu menghiburmu saat ayah dan ibumu bertengkar. Begitu juga kamu sering menghiburnya saat bibinya suka memukulinya karena stress. Intinya kalian memang sahabat yang cocok. Karena kalian saling melindungi satu sama lain.” Haechan melirik ke sudut gudang sekolah.
 
“Namun, saat kamu pindah sekolah. Saat itulah semua di mulai. Surat-surat yang kamu baca ini hanya segelintir surat yang di tulis Sungchan. Karena dia merindukanmu. Dia menginginkan kamu kembali. Karena saat kepergianmu, dia merasa hidupnya bertambah sulit. Tak ada lagi tempat berkeluh kesah, tempat bercerita.”
 
“Lalu?”
 
“Lalu akhirnya dia mulai menulis surat. Berharap sewaktu-waktu dia dapat mengirimkannya kepadamu. Namun bibinya tidak pernah mengizinkannya keluar, hinga ....” Wajah Haechan berubah sedih. “Hingga akhirnya bibinya meninggal karena depresi. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengurusnya. Dia hidup seorang diri sejak usianya 14 tahun.”
 
Seon Ri terdiam. Ingatannya mulai bermunculan meski masih samar-samar. Gadis itu mendengrkan cerita Haechan seolah-olah ada layar besar yang menayangkan semuanya. Dia ingat anak laki-laki itu, dia ingat senyuman manisnya.
 
“Walaupun begitu, dia masih suka menulis surat untukmu. Kamu sudah baca, kan isi suratnya? Semuanya dibtulis dengan ketulusan. Sungchan dangat menyayangimu Seon Ri, bahkan hingga kematiannya.”
 
“Apa?!” Seon Ri terhenyak di tempat duduknya.
 
“Ya, tiga tahun kemudian.” Haechan mengambil surat di tangan Seon Ri. “Surat yang baru kamu baca ini, adalah surat yang di tulis saat dia sakit. Tiga hari sebelum meninggal.”
 
Seon Ri merasa matanya memanas. Seditik kemudian air matanya mengalair tanpa bisa ditahan.
 
“Aku mengerti karena kamu tidak bisa mengingatnya. Tak lama setelah kamu pindah kemari, kamu mengalami kecelakaan yang menyebabkan ingatanmu hilang sebagian. Wajar saja kamu lupa, Seon Ri.”
 
“Terus dari mana kamu tahu semua ini? Apa kamu keluarganya juga?”
 
“Ya. Aku kakaknya, Seon Ri. Dia adalah adikku.” Haechan duduk di samping Seon Ri, merangkul gadis itu. “Apa dia tidak pernah cerita padamu, bahwa dia memiliki kakak yang tinggal di desa? Orang itu adalah aku, dan sialnya, aku masih bisa melihatnya sampai sekarang.”
 
“Maksudmu?”
 
“Aku indigo. Aku bisa melihatnya di sini,” Haechan memberi isyarat lewat matanya ke arah gudang sekolah. “Dan dia sudah berdiri di sana sejak tadi.”
 
“Kamu ... tidak mungkin.” Air mata semakin deras mengalir di pipi Seon Ri. Perlahan namun pasti, ingatan gadis itu mulai kembali seutuhnya bersamaan dengan cerita Haechan. “Dia ... Di sini?”
 
Haechan mengangguk. “Akunpertama kali bertemu dia saat aku kembali ke rumah Bibi dua tahun yang lalu.” Di sana aku melihatnya duduk-duduk di dekat taman kecil, tempat kelian dulu sering bermain. Seolah-olah ada sesuatu yang senantiasa dijaganya di sana.”
 
“Dia bilang, dia mengubur sesuatu di sana dan ingin mengambilnya. Lalu aku mengambil kotak itu dan isinya, ternyata surat-surat bersampul pink yang jumlahnya sekitar 300 lebih. Saat itu aku benar-benar tidak mengerti, hingga akhirnya aku bertemu denganmu di sini.”
 
Seon Ri syock. Entah kenapa dia taknpercaya pemuda di depannya ini dapat melihat hantu, atau jumlah surat yang ditulis Sungchan untuknya. Entahlah, Seon Ri tak mampu berkata apa-apa.
 
“Kau tahu, Seon Ri,” lanjutnya lagi. “Mengapa surat-surat itu sekarang ada padamu? Karena dia yang mengiriminya. Dia ingin kamu tahubahwa dia pernah jadi bagian dalam hidupmu. Dia menyesal, karena dia tidak pernah mengirimkan surat-surat itu padamu semasa hidup. Oleh karena itu dia melakukannya sekarang.”
 
Seon Ri tetap tak mampu berkata-kata, hanya air mata yang terus mengalir menjadi pengganti suaranya.
 
“Sekarang dia ada di sini, dan kupikir dia akan tenang kembali ke atas setelah bertahun-tahun menjaga surat-surat rahasia untuk gadis yang pernah dicintainya.” Haechan melirik kembali ke arah gudang. “Kemarilah, katakan selamat tinggal untuknya, adikku.”
 
Seolah nyata, Seon Ri dapat melihat dengan jelas seorang anak laki-laki berwajah pucat sedang tersenyum kepadanya. Wajah yang dulu di lupakannya padahal wajah itu pernah menghiasi hari-harinya, mengukir senyum di wajahnya.
 
“Maafkan aku karena melupakanmu, Sungchan-ah. Maafkan aku.” Seon Ri terisak, tak mampu lagi mengontrol suara tangisannya. Haechan memeluknya semakin erat.
 
“Dia bilang, kamu harus hidup dengan baik. Jadilah gadis yang ceria seperti dulu. Mulailah buat pertemanan dengan anak-anak yang lain. Dia ingin kamu bahagia, Seon Ri. Dan dia memintamu unyuk melindungimu.”
 
“Terima kasih Sungchan. Terima kasih karena menungguku selama ini. Kuharap kita dapat bertemu kembali suatu saat nanti. Tunggulah di atas sana, aku akan datang padamu nanti saat waktuku tiba.” Seon Ri mengusap air mata di pipinya, lalu tersenyum memandang Sungchan yang hanyalah udara kosong semata.
 
“Dia bilang, dia akan memberikan semua surat-surat rahasianya kepadamu, Seon Ri. Dia ingin, kau menjaganya.”
 
“Tentu. Aku akan menjaganya. Sekali lagi terima kasih sahabatku.” Seon Ri memeluk angin, seolah memeluk Sungchan yang kini memang tengah memeluknya.
 
“Sekarang kamu sudah ingat semuanya, kan? Ayo kita pulang!” Haechan menarik tangan gadis itu dan menuntunya ke depan sekolah.
 
“Apa dia sudah pergi?” tanya Seon Ri ingin memastikan. Ia menoleh kebelakang, berharap bisa melihat untum terakhir kalinyawajah Sungchan yang hanya semilir angin itu.
 
“Dia sudah pergi. Urusannya sudah selesai. Jadi dia sudah ke atas.” Haechan tersenyum tipis. Kemudian mereka melangkah meninggalkan sekolah.
 
Maafkanlah takdir yang tak mempertemukan kita hingga akhir. Maafkanlah pula nasibku yang malang. Jika kamu baca surat-suratku, balerjanjilah kamu akan menjaganya selalu, hingga suatu saat nanti, entah kapan dan berapa lama, penantianku terbayarkan dengan hadirnya dirimu di sini.
 
Aku tunggu kamu di sini, Seon Ri. Selalu.
 
 

Salam cinta,
 
Sungchan.
 
 
 

-TAMAT-

Kumpulan Fanfiction Oneshoot dan TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang