Tawa Wira semakin lantang dan mengusik gendang telinganya. Ia sendiri tidak mengerti letak kelucuannya di mana dan itu justru membuat kekesalannya menggunung terhadap Wira.
"Orang yang gak mau nikah dan gak percaya pernikahan, ceramahin orang lain soal pernikahan. Ini hal yang bisa ditertawakan atau gak?" Prawira membalas ucapannya dengan nada menyebalkan. Biarpun dikatan dengan nada bercanda, tapi Damayanti menangkapnya sebagai sindiran dan membuatnya mematikan sambungan.
Wira menghubunginya lagi dan tidak diangkatnya. Selain lebih reaponsif, Damayanti menjadi lebih sensitif terhadap ucapan yang biasanya dianggap angin lalu. Setiap sindiran sekarag seperti belati yang menusuk tepat di hatiny dan membuatnya memikirkan hal itu seharian penuh dan berakhir dengan tangisan di atas ranjangnya. Hanya Tuhan yang tahu seberapa cengengnya dia sekarang.
Ia tidak menyukai perasaan ini. Tangisan membuatnya merasa lemah dan rapuh. Seakan tembok kokoh yang dibangun untuk melindungi dirinya retak di berbagai sisi dan siap runtuh kapan saja. Sikap masa bodohnya seperti hilang ditelan bumi, padahal itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya kuat.
Menulikan telinga dari perkataan sekitar tidak pernah mudah baginya. Ia membutuhkan seumur hidupnya untuk dapat menguasai the art of not giving a fuck. Literally, bukan yang buku. And this stupid hormone came and crushed it into pieces. Gerutunya dalam hati. Ia mengelus perutnya dengan pelan, not you, baby, just the hormones.
Perkataan Wira tadi menusuk tepat di egonya. Siapa memangnya ia sampai menyuruh orang menikah padahal ia sendiri tidak percaya pada ikatan itu. Damayanti tahu betul rasanya bagaimana jika hidupnya dirusuhi oleh orang lain, mendengarkan pendapat orang lain mengenai bagaimana seharusnya ia hidup dan bagaimana seharusnya ia memandang sebuah institusi pernikahan. Seakan-akan semua orang harus menikah karena sudah umur atau 'sudah saatnya'. Padahal, jika seseorang tidak ingin menikah maka bukan menjadi urusan orang-orang disekitarnya, memangnya mereka yang akan menjalankan pernikahannya?
Ia perlu pengalihan agar tidak terlalu kesal lagi, sehingga ia membuka laptopnya. Mengerjakan tugas yang diberikan oleh Wira tadi karena kantuk dan letihnya sudah hilang oleh perasaan buruk yang mengendap di hatinya lantaran menjadi seorang hipokrit.
Ia selesai pukul dua subuh, kemudian langsung mengirimkannya pada Wira. Tidak peduli pria itu masih terjaga atau sudah terlelap dibelaian pulau kapuk. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas untuk melemaskan otot yang kaku akibat duduk terlalu lama.
Ponselnya berbunyi dan nama Wira tertera di sana. Sialnya, bukannya voice call seperti biasa, pria itu melalukan video call. Ia menggeser tombol di layar sesudah ia menyelimuti tubuhnya. Inginnya, sih, tidak diangkat, tapi ia takut kalau-kalau panggilan ini berhubungan dengan pekerjaan yang baru saja dikirimkannya.
"Halo." sapanya begitu layar memperlihatkan wajah Wira, jambang-jambang halus di sekitaran rahang hingga ke bagian atas bibirnya terlihat padahal pria itu selalu mencukurnya. Tulang selangka yang selama ini disembunyikan di balik kemeja kantor pun terlihat. Lalu, keyakinannya bahwa pria itu akan bertanya mengenai pekerjaan pupus saat menyadari Wira berada di atas ranjang. Membuatnya mengerang kesal karena seharusnya ia tidak mengangkat panggilan yang pasti akan berujung pada reseknya Wira.
"Hei, kenapa belum tidur?"
"Baru selesai ngerjain kan, ini juga mau tidur." jawabnya lalu menguap. Tubuhnya baru terasa lelah dan matanya jauh lebih berat sekarang. "Kenapa? Ada pertanyaan soal kerjaan?" lanjutnya sangsi.
"Ada, sebentar aku buka dari laptop."
Target komen chatper 13 1/2 & 2/2 700 yesss, chapter 12 1/2 juga masih belum tuh 🙈
Thank you sudah baca!
21/4/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...