Hari ini menghabiskan energi lebih banyak dibandingkan saat ia bekerja untuk satu proyek Roro Jonggrang. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tetapi juga otak dan hatinya. Ponselnya beberapa kali menyala tanpa ia lihat siapa yang menghubungi, baru setelah tiba di rumah dan menyandarkan tubuhnya di sofa, Damayanti mengecek pesan dan juga panggilan yang masuk.
Bang Wira
Pria itu tidak mengirimkan banyak pesan, hanya dua dan juga dua panggilan masuk yang menanyakan keberadaannya. Baru ia akan membalas, Bel unitnya berbunyi, memaksanya untuk bangun dan mengintip melalui peep hole. Pria yang menghubunginya tadi berdiri di depan pintunya dengan kantong cokelat di tangan kanan. Rambutnya yang selalu rapi tersisir ke belakang, bedanya mungkin kali ini pria itu mengenakan polo shirt dan juga celana chino. Lebih kasual.
"Bang? Baru aku mau bales pesannya. Ada apa?" Ia bertanya usai membuka pintu, Damayanti membalikkan badan. Membiarkan Wira untuk menutup pintu dan mengikutinya. "Just want to check on you. Are you OK?" Wira duduk di sebelah Damayanti.
Ia memejamkan matanya dengan kepala yang menyender pada punggung sofa. Kedua tangannya terkulai lemas di sisi tubuhnya dan kedua tungkainya berada di atas meja. "Dunno. Not sure. Tapi, aku udah bilang soal hamil dan gak mau dikenalin lagi sih sama kolega-kolega mereka. Dan reaksinya kayak yang sudah-sudah." Damayanti tertawa di akhir kalimatnya.
"Mandi dulu, gih. Berendam, nyalain aroma terapi kamu, dengerin musik." ucapan Wira membuatnya membuka mata. "Abang mau pulang?" Wira menggeleng lebih dulu sebelum menjawab pertanyaannya. "Enggak. Aku mau numpang ngopi sama nonton bola di sini." Wira memamerkan kantong berwarna cokelat yang dibawanya. Menarik perhatian Damayanti pada kantong itu. "Itu apaan?" Tanyanya.
Wira memperlihatkan isi kantong itu dan menunjukkan French glass, mirip dengan yang dimiliki olehnya, hanya berbeda warna. Damayanti mencibirnya, "Bawa gelas banget buat minum kopi? Ada banyak gelas di lemari."
"Kamu pelit kalau aku pakai gelas kopimu. Ini mau ku taruh di sini." Wira membawa gelasnya ke dapur, mencucinya dengan sabun kemudian membuat kopi di mesin miliknya Sementara, Damayanti sudah menghilang di balik pintu kamarnya. Memilih mengikuti saran pria itu untuk mandi.
Ia keluar kamar dan melihat peia itu tengah menyandarkan bokong di konter dapurnya, sebelah mesin kopi. "Baru bikin kopi?" Wira hanya menjawab dengan senyuman.
Damayanti merasa lumayan lega setelah membersihkan tubuh, terutama wajahnya dari riasan. Baik dirinya mau pun Wira tidak ada yang membuka suara, membiarkan teve yang menyala mengisi ruangan itu dengan suara-suara agar tidak terlalu sepi. Namun, otaknya berkecamuk hingga ia tidak tahan untuk tidak membaginya, hanya agar dapat melonggarkan tenggorokannya yang bagai tersumbat batu besar.
"Mereka bilang aku anak yang gak berbakti. That's not the exact words, tapi kurang lebih begitu." Suara Damayanti yang tiba-tiba terdengar membuat Wira mengecilkan volume teve. Damayanti berdeham, suaranya yang keluar mirip seperti bisikan. Menceritakan dari awal hingga akhir dengan tatapan yang tertuju ke lantai. Kuku di jari telunjuk dan ibu jarinya saling beradu hingga salah satu ada yang terkelupas. Berbagai emosi bermain di dalam kepalanya saat ini. Marah, kesal, kecewa dan yang paling besar di antara itu semua adalah sedih.
Damayanti tertawa pelan dengan tangan yang menyisir surainya. "Kenapa juga ya aku cerita ini." tapi, ia lumayan merasa lega setelah mengeluarkan uneg-unegnya. "Dam, aku mau peluk kamu, okay?"
Kedua alis Damayanti terangkat dengan bola mata yang membesar, oh, tambahkan juga kedua bibir wanita itu yang terbuka sedikit. Mereka tidak pernah melakukan kontak fisik selain dari malam itu. Tapi, ia tidak menunggu jawaban darinya karena kini kedua tangan Wira sudah melingkari pundak wanita itu, menariknya ke dalam pelukan. Ia mengelus pundaknya atau rambut pendeknya dengan perlahan. Tubuh yang tadinya tegang itu kini berangsur-angsur menjadi rileks dalam pelukan Wira.
"Will you spoon me?"
Damayanti merasa jantungnya seperti sedang lompat tinggi, dan jika tidak ada tulang dadanya, pasti jantungnya sudah melompat keluar dari tubuh dan menempel di langit-langit ruangan. Ia pasti sudah gila karena berani mengeluarkan kalimat itu dengan nada lembut membujuk. Ia bahkan tidak sempat menganulir ucapannya karena pria itu sudah keburu berdiri dan mendahuluinya berjalan ke dalam kamar.
Ia buru-buru menyusul Wira, "Bang, aku salah ngomong!" teriaknya. Ia mendengar balasan dari Wira yang sudah lebih dulu berada di dalam kamarnya. "No turning back, Dam. Come here, let me spoon you." suara itu terdengar yakin dan saat ia memasuki kamar, Wira sudah berada di atas ranjangnya, tidur menyamping dengan kepala disanggah oleh tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk ranjang kosong di sebelahnya. "Tidak ada hal aneh. Aku pulang begitu kamu tidur."
Dengan ragu, ia mendekati ranjang dan berbaring di sana. "Kepalanya angkat sebentar." pinta Wira. Ia menurutinya hingga lengan kanan pria itu kini menjadi bantal kepala. Lengannya yang lain berada di perutnya, elusan selembut bulu dari luar kaos yang memberikan sensasi hangat yang menjalar ke dadanya. Tubuh bagian depan Wira menempel dengan bagian belakang tubuhnya, membuat pendingin ruangan tidak lagi terasa dingin. "Tidur, Dam. Kamu perlu istirahat. Ngomong-ngomong, ini suhu berapa derajat sih? Dingin amat."
Damayanti berdeham sebelum menjawab. "18 derajat."
"Dan kamu tidur gak pakai selimut?"
Ia menggelengkan kepalanya. Ia sangat suka suhu yang dingin karena mudah berkeringat saat tidur. "Pakai. Itu makanya suhunya dingin, supaya bisa pakai selimut. Jawabannya membuat Wira terkekeh pelan. Hembusan napasnya menyapa tengkuk damayanti yang meremang seketika. "Kalau kamu buat 25, gak perlu selimut sih, Dam."
"A-aku sukanya dingin. Supaya bisa pakai selimut." Balasnya dengan terbata-bata. Lagi-lagi, Wira terkekeh. "Jadi, alasan kamu suhu rendah banget itu supaya bisa pakai selimut? Kamu lumayan aneh juga." ejek Wira. Pria itu meraih duvetnya yang berada di bagian bawah ranjang dengan kaki lalu menyelimuti tubuh mereka. "Sekarang, tidur."
Damayanti berusaha memejamkan matanya yang tadi sudah terasa amat lelah. Suhu ruangan ini biasanya sangat pas untuk menggunakan selimut dan membuatnya tidur dengan nyaman. Tapi, baru kali ini ia merasa gerah memakai selimut. Atau tadi ia menaikkan suhunya tanpa disengaja? Atau suhu kota yang ditinggalinya ini memang sangat panas malam ini? Atau jangan-jangan AC-nya rusak? Mungkin ia perlu mendatangkan teknisi besok guna memeriksanya. Karena, ia tidak mungkin bisa tidur jika suhu ruangan terlalu panas. Dan juga, ada rasa sesak di dada yang membuatnya ingin menangis sekarang. Di tengah kekalutannya dengan pendingin ruangan dan juga emosinya, lambat laun matanya terpejam hingga mimpi menjemputnya tanpa disadari.
2/8/21
Gak bisa banget ngelewatin kesempatan si Abang dah wkwkwkw gemetttzzzz
Jangan lupa tinggalin jejak dan pencet bintang supaya cepat apdet ya man teman.
Oiya kalau ada tipo, boleh bantu aku dengan komen di paragrafnya ya. Terima kasih!
Ig @akudadodado
Twitter @akudadodado
FB akudadodado
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...