Satu gembolan berakhir dibawanya pulang dengan Wira yang memaksa untuk menyetir. Astuti sama sekali tidak membiarkan Damayanti pulang dengan tangan kosong atau yang hanya satu tangan yang memegang kantong berisikan makanan. Kedua tangannya harus penuh hingga wanita itu merasa puas. Lengkap dengan wejangan-wejangan mengenai bagaimana air kelapa bagus untuk kandungan agar jabang bayinya memiliki kulit bersih saat lahir, bagaimana kacang hijau bagus untuk rambut agar lebat dan lain sebagainya.
Ia merasa lelah, namun hatinya terasa hangat dengan perhatian yang dilimpahkan padanya hari ini. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum meskipun wajahnya kuyu, padahal yang dilakukannya tidak banyak hari ini. Kecuali mendengarkan ceramah, tidur dan makan. Mungkin mendengarkan ceramah menghabiskan banyak energi dibanding yang dikiranya.
"Seneng, ya? Dua minggu lagi ke rumah lah kalau gitu, nginep." Ajak Wira mantap, matanya fokus ke jalanan yang terhenti karena lampu merah. Wira mengecilkan volume radio yang sedari tadi menemani perjalanan mereka.
"Makanan ini aja aku gak yakin bisa habisin dalam dua minggu, Bang. Bisa-bisa kulkasku penuh sama makanan dari Ibu." Ia sangat jarang makan di rumah. Kemungkinan makanan itu akan lebih banyak yang basi ketimbang masuk di perutnya. Dentingan pesan masuk membuatnya merogoh ponsel yang berada di dalam tasnya. Nama William muncul dilayar ponselnya. Mereka memang sempat bertukar nomor agar dapat saling mengabari perihal kekacauan yang dibuat oleh pria itu.
William
Damayanti, makan malam dengan keluarga saya besok malam bisa?
Ia mengerang membaca pesan dari pria itu. Membuat Wira melirik ke arahnya, "Ada apa?" Tanyanya. Damayanti mengetikkan balasan sambil menjawab pertanyaan Wira, "Si William ngajakin makan malam sama keluarganya. Gila memang ini orang-orang. Disuruh urusin supaya kelar kenapa malah jadi makan malam?" Jemarinya menekan layar dengan brutal, tidak peduli apakah ponselnya akan rusak nantinya.
"Kamu kayaknya kesel banget sama dia, ya?"
"Dia bilang gak apa-apa nikah dan ngakuin anakku jadi anaknya. Supaya...supaya dia gak perlu bilang alasan dia gak nikah ke orangtuanya." Damayanti tidak mungkin menceritakan alasan William mau menikah dengannya kan?
Wira berhenti di parkiran apartemennya dan ikut turun bersamanya. Membuat Damayanti bingung. "Lho, kok ikutan turun?" Wira tidak menjawab pertanyaannya. Membawa barang-barang yang dibungkuskan oleh Astuti. "Aku anterin sampai atas. Tawarin aku kopi dan pulang setelah gak terlalu macet lagi." pria itu tersenyum dengan lebar tanpa tahu malu menodongnya dan berjalan lebih dulu di depan Damayanti.
Damayanti mengikutinya dengan bersungut-sungut. Membiarkan pria itu mengikutinya masuk setelah tiba di unitnya. Dengan segera Wira meletakkan seluruh makanan yang mereka bawa tadi dan menatanya di kulkas, "Bang, aku mandi dulu. Kalau mau kopi bikin sendiri aja." ia tidak peduli pria itu mau melakukan apa selama ia dapat mandi dan mengganti bajunya.
Ia keluar dengan kaos dan celana pendek. Pria itu sudah memegang french bowl dengan aroma kopi yang mengisi udara. Ia mengernyitkan dahi, "Itu kan gelas kopi ku, Bang." protesnya. Ia tidak mengerti kenapa pria itu senang sekali memakai gelas miliknya jika sedang ke sini. Wira mengalihkan tatapannya dari teve untuk sesaat, menjawab protesnya. "Kamu gak pakai buat minum kopi." enteng sekali mulut pria itu, Damayanti mendengkus.
"Karena aku gak pakai, bukan berarti aku gak bisa buat makan es krim atau minum cokelat. Atau buat yang lainnya." Damayanti menggerundel. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan susu full cream yang berada di kulkas. Ia memilih salah satu merek yang memiliki kadar gula rendah agar tidak terlalu manis di lidah. Damayanti duduk di sisi lain dari sofa. Kedua kakinya naik ke atas, diselonjorkan. Ia baru merasakan pegal-pegal sekarang. Matanya tertuju pada teve yang menayangkan berita. Apa lagi memangnya yang ditonton pria itu? Sinetron? Tidak sampai neraka terasa dingin. Tangan kanannya memukul-mukul paha hingga ke betisnya dengan perlahan.
Ia mendengarkan berita tentang ekonomi dan sebagainya. Kepalanya tidak menangkap satu pun kata-kata. Hanya memandang kosong pada layar teve karena tidak ada hal lain yang dapat dilakukannya sambil menunggu Wira pulang agar ia dapat tidur atau setidaknya menikmati ranjangnya dengan santai. Sejak kapan ia dapat bersantai, yang ada kepalanya akan dipenuhi dengan hal-hal yang belum terjadi atau pikiran buruk lainnya. Atau menyesali keputusan A yang dibuat bukannya keputusan B. Atau hal-hal sejenisnya.
Wira menoleh, "Pegel, ya? Sini aku urutin." tanpa menunggu persetujuannya Wira sudah menakkan kedua kaki Damayanti ka atas pangkuan pria itu kemudian memijat telapak kakinya dengan kedua tangan. Penolakannya ia telat bulat-bulat karena merasakan otot-ototnya lebih santai. Pijatan Wira jauh lebih enak dari pukulan tangannya, dan ia sama sekali tidak berniat menolak bantuan dalam keadaan seperti ini. Seluruh tulang di tubuhnya terasa lumer dan ia merasa lebih santai sekarang. Mungkin ia harus membeli beberapa peralatan untuk memijit tubuhnya. Seperti kursi pijat milik Rhea. Mengingat hal ini akan berlangsung selama berbulan-bulan, bukannya sesekali. Ia harus merealisasikan hal itu secepatnya.
Tiba-tiba hatinya bekerja dengan sedikit lebih baik, ia mulai memikirkan beberapa hal seperti; apa yang mereka lakukan sekarang tampak tidak normal bukan? Ini bukan jenis hubungan orang yang kenal lama kan? Atau beberapa pertanyaan lainnya. Namun, otaknya menutup dan menghalangi hatinya untuk melanjutkan pertanyaan lain dan memilih untuk menikmati apa yang ada sekarang.
Mereka lanjut menonton teve seakan apa yang mereka lakukan sekarang adalah hal biasa dan bukan hal aneh. Wira membuka mulutnya saat jeda iklan, "Jadi, kamu besok pergi ke rumah William?" Kepala pria itu menoleh ke arahnya, membuatnya mau tidak mau melakukan hal serupa. Menatap balik pria itu sebelum memberikan jawaban. "Kayaknya, mau gak mau harus ketemu juga sih. Setelah itu harus ngabarin ke ayah dan ibu soal perkenalan yang gak akan kejadian ini."
"All right, kalau gitu aku pulang dulu supaya kamu cukup istirahat sebelum besok ketemu dengan mereka semua. Jangan stres-stres, okay?" Wira megelus kepalanya setelah menurunkan kedua kakinya dengan berhati-hati.
"Bang." panggilnya, pria itu berhenti tepat di depan pintu. "Ya?"
"Thank you."
24/7/21
Baaaaang, mau dipijetin jugaa, tapi atasan dikit.
Oiya kalau ada tipo, boleh bantu aku dengan komen di paragrafnya ya. Terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...