Lover's Dilemma - 22 - Tomato Lassi 1/2

3.4K 621 503
                                    

Negatif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Negatif. Satu garis.

Hanya dua kata itu yang bermain di otaknya sepanjang hari, prosedur yang dijalaninya di Amerika tidak berjalan sesuai rencananya. Meskipun memang kemungkinannya kecil dalam percobaan pertama, tetapi namanya juga manusia, apa salahnya berharap meskipun kemungkinannya hanya 1% kan?

Dan untuk kali ini, ia salah. Seharusnya ia tidak berharap padahal sudah diinfokan sejak awal oleh dokternya. Karena, kekecewaan menghantamnya tepat di ulu hati hingga ia kesulitan bernapas. Langkahnya gontai menuju lift. Kantor sudah terlalu sepi untuknya tetap tinggal lebih lama dengan pikiran yang bising. Sepanjang hari, yang ada di otaknya adalah testpack yang negatif, pekerjaan sama sekali tidak membantu untuk mengalihkan pikirannya. Hal yang jarang sekali terjadi. 

Damayanti terlalu sibuk dengan pikirannya yang bergemuruh dengan berbagai kekecewaan untuk menyadari ada orang lain yang juga datang untuk menunggu lift hingga ia disapa. “Hei. Kenapa baru pulang?” Mendengar suara itu selama bertahun-tahun membuatnya hapal betul siapa pemiliknya hingga ia tidak perlu menoleh untuk menjawab. “Iya, Pak. Baru selesai review materi meeting besok.” jawab Damayanti sekenanya. 

“Enggak ada orang buat kamu bicara formal gitu, Dam.” Kekeh pria di sampingnya. Damayanti celingukan ke berbagai sisi untuk memastikan tidak ada orang lain baru ia melemaskan tubuhnya yang seharian ini kaku. “Aku pikir masih ada orang lain.” gumamnya yang membuat Wira tertawa pelan kali ini. “Gak ada yang segila kerja kamu buat pulang semalam ini dari kantor.”

Jawaban Wira membuatnya mendengkus, “Kayak Abang gak sama gila kerja juga.”

“Ini mau langsung pulang?” Tanya pria itu setelah tawanya hilang. Dentingan lift yang menunjukkan sudah tiba di lantainya membuat percakapan mereka terhenti sesaat karena mereka memasuki lift yang sudah terbuka. Ia baru menjawab setelah mereka berada di dalam. “Enggak. Aku mau mampir ke bar dekat sini dulu, penat banget.” akunya jujur. Meskipun ini bukan ide baik karena alkohol merupakan salah satu hal yang dilarang selama program. Persetan dengan itu, ia perlu minuman untuk malam ini.

“Ah, aku ikut kamu kalau begitu. Aku juga perlu minum.” Wira tiba-tiba mengikuti rencannya. Baru ia mau melayangkan protes, pria itu sudah keburu membungkamnya duluan. “Lebih enak minum kalau ada yang menemani, Dam. Bukan kamu yang perlu teman dalam hal ini, itu tentu saja aku. Kamu kan gak perlu orang lain hidupnya.” lanjut Wira dengan sindiran di akhir kalimat. Damayanti melengos.

“Naik mobilku saja.” usul pria itu, tidak mengindahkan perasaan tidak sukanya. Entah kemampuannya untuk mengusir orang baik secara tersirat mau pun tersurat yang menurun drastis, atau pria ini yang mengabaikan penolakannya. “Aku bisa nyetir sendiri.” ketus Damayanti. 

Lift mereka berhenti di lantai dasar, lobi kantor mereka sudah lengang karena memang jam pulang yang berlalu lebih dari tiga jam. “Sama aku saja. Kamu kalau minum kan gak bisa bawa mobil. Berbahaya, Dam. Lagian kalau lagi suntuk gitu enaknya ada teman ngobrol.” lagi-lagi pria itu membuatnya menelan kata-kata yang sudah di ujung lidah karena ia kembali berucap. “Aku maksudnya. Aku. Aku yang lagi suntuk dan perlu temen ngobrol. Rudi gak asyik buat diajak ngobrol ngalor ngidul. Mobil bisa ditinggal di sini aja. Besok berangkat bareng sama aku.”

Terlalu malas mendebat dan membuka mulutnya untuk memberikan argumen, akhirnya Damayanti menganggukkan kepalanya dengan pasrah atas usul Wira. Namun, tidak untuk yang terakhir. “Enggak mau. Aku naik taksi aja besok ke kantor.”

“Senyamannya nona muda aja.” ucap pria itu dengan gedikkan bahu. 

**

Never have I ever … jadi selingkuhan.” Damayanti menaikkan sebelah alisnya mendengar apa yang diucapkan oleh Wira. Suara musik pun orang-orang yang berbicara satu sama lain bagai dengungan lebah yang memenuhi ruangan ini tidak membuatnya kesulitan mendengarkan pria itu karena jarak mereka yang dekat. “Kenapa jadi bahas yang personal?” Protesnya. 

Mereka berada di bar yang lebih banyak diisi oleh orang-orang berusia di atas 50. Tempat kesukaan Damayanti karena tempat ini terasa cozy baginya. Ia dapat dengan santai duduk dan tidak melihat pemandangan kota dengan hiruk pikuknya dari jendela. Pemandangan yang sudah dinikmatinya setiap hari hingga eneg. 

Tempat duduk mereka yang berada di ujung membuatnya leluasa melihat sekeliling. Di ujung lain dari mejanya ada dua meja biliar yang tengah dimainkan oleh pria-pria dengan obrolan ringan atau saling mengejek saat yang lainnya berhasil memasukkan bola. Ruangan yang didominasi oleh warna cokelat kayu ini selalu ramai setiap malam hari. Tidak peduli di hari kerja atau hari libur. 

“Ayolah, apa menariknya memainkan permainan ini kalau hanya basa-basi macam pernah kentut gak di kantor. Siapa juga yang gak pernah melakukannya?” Ucap Wira seakan itu adalah hal yang wajar. Damayanti menatap pria itu tanpa minat, “Aku gak pernah kecuali di toilet, sih.” 

5/6/21

Aku juga kentut di kantor, Dam.

Lunas ya janji double update.

Thank you buat yang baca dna kasih vomment.

Thank you buat yang baca dna kasih vomment

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover's Dilemma [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang