Damayanti berlama-lama menatap ponselnya. Ia ingin menghubungi Wira untuk menanyakan sudah berapa lama pria itu menunggu karena sekaran ia tidak enak hati. Mungkin seharusnya ia menawari pria itu untuk masuk, sekedar minum kopi sebelum Wira pulang. Atau untuk berbasa-basi.
Ia menggigit kuku-kuku jarinya hingga pendek sebelum memutuskan untuk menghubungi pria itu yang diangkat setelah nada dering pertama. “Hei, good morning.” sapa suara serak di seberang sana. “Ganti video call, Dam.” Imbuhnya dengan cepat. Damayanti menjauhkan ponsel dari telinganya dan kini layarnya terpampang wajah baru bangun dari Wira. Kedua matanya masih setengah menutup dengan tubuh tengkurap yang memeluk bantal. “Ada apa?” Tanyanya.
“Abang semalam nunggu lama? Sorry, semalam aku harus beresin urusan sama orang.” Damayanti melihat mata pria itu terbuka sekarang. Meskipun masih sayu. Wira berdeham dan mengubah posisinya menjadi duduk. Mata damayanti fokus pada dada pria itu yang terlihat dengan jelas di layar ponselnya. Ada apa sih dengan para pria dan tidur topless, pikirnya.
“Lumayan, takut kamu kenapa-kenapa aja sebenarnya. Karena, yang lainnya bilang gak ada rencana keluar sama kamu kemarin. Urusannya sudah selesai?”
Damayanti melempar kepalanya ke belakang, menggeram. “Belum. Aku dikenalin sama dia di acara makan malam kemarin. Sudah ngobrol dan sama-sama sepakat buat nolak, tapi dia membelot di tengah jalan karena satu dan lain hal.” Lalu ia menceritakan beberapa bagian pentingnya, tanpa menginformasikan mengenai orientasi seksual William yang menjadi alasan pria itu menolak. Toh, bukan urusannya dan itu bukan cerita yang harus ia ceritakan ke orang lain. Dan omong-omong kenapa juga ia repot-repot menceritakan ini pada Wira?
“Menantu idaman orangtua kamu gak jauh-jauh dari profesi mereka, ya.” Wira tertawa. Tubuhnya bergerak dengan ponsel yang masih dipegangnya di tangan kanan. Memperlihatkan pemandangan di belakang tubuh pria itu. “Iya, gak bisa bikin aku jadi dokter soalnya. Eh, halo Bu!” Sapanya dengan kencang kala melihat sesosok wanita tua yang tengah memasak. Wanita tua itu tidak menoleh untuk mengenali suaranya.
“Damayanti! Sini main ke rumah!” Katanya, masih sibuk dengan panci dan peralatan dapur lainnya. “Sudah sarapan belum? Kalau belum ke sini aja. Kamu itu hamil kok ya gak bilang-bilang, sih?” sungut Astuti.
Sering berkumpul di rumah Rhea saat sekolah dulu membuat mereka akrab dengan Wira dan juga ibu mereka, Astuti. Merasakan perhatian-perhatian yang tidak didapatkannya dari ibunya sendiri atau omelan kalau ia tidak makan karena diet yang diberikan ibunya. Iya, tubuhnya memang cenderung berisi semenjak remaja dan sebagai penganut paham kecantikan paripurna dan sesuai standar bagaimana orang melihat kecantikan, ibunya meminta Damayanti untuk diet. Terutama karena kedua kakaknya memiliki tubuh bak model dengan kecerdasan di atas rata-rata. Otomatis, ia akan terus dibanding-bandingkan dengan mereka.
“Sudah, Bu. Makan roti sama minum susu tadi.” Jawabannya tidak membuat Astuti senang, karena kini ia merepet dengan panjang dalam satu tarikan napas. “Lho? Kamu itu makan buat dua orang lho, Dam! Kok Cuma roti sama susu aja sih? Protein dan teman-temannya kamu harus makan dari pagi, gak cuma siang dan malam saja.”
“Dia suka mual, Bu. Suka gak makan.” adu Wira yang membuat Damayanti mengerang kesal. Karena, kini Astuti menjatuhkan ultimatum padanya. “Ibu gak mau tahu, kamu harus datang ke sini sekarang!”
Sekarang ia sadar, dari mana sifat Wira diturunkan.
Wira berjalan menjauh dari ibunya dengan senyuman kemenangan yang membuat Damayanti ingin menggilas wajah pria itu dengan nampan. “Denger kan kata Ibu? Makan yang banyak, datang ke sini sekarang.” ulangnya dengan nada mengejek. “Mau aku jemput?”
“Gak, gak usah! Dasar tukang ngadu!” tolaknya dengan cepat. Ia sungguh menyesal menghubungi pria itu pagi ini. Dan bisa-bisa ia melempar sesuatu saat pria itu menjemputnya nanti. Lagi-lagi Wira tertawa melihat wajah kusutnya. “Okay. See you, Dam!”
Ia mematikan sambungan tanpa berkata apa pun lagi. Jemarinya cepat membuka grup Whatsapp dengan para sahabatnya dan menggunakan fitur group call. Ia tidak mau tersiksa sendiri di sana mendengarkan ceramah atau harus memakan banyak makanan dan mendengarkan wejangan dari ibunya Rhea. Ia teringat bagaimana Rhea dulu sering mengatakan bahwa ibunya tidak jauh berbeda dari Wira. Hal itu membuatnya bergidik ngeri. Yang mengangkat cepat tentu saja Nadhira.
“Halo, Dam.” sapanya dan tanpa menghabiskan banyak waktu, Damayanti langsung menembaknya. “Ikut ke rumah Rhea, yuk. Ibunya masak buat sarapan kita.”
“Yo, what’s up bitches.” sapa Farras saat panggilannya tersambung dan Nadhira belum sempat menjawab. “Ada apa pagi-pagi hubungin?” Imbuhnya lalu wanita itu menguap dengan suara kencang.
Nadira yang menjawab pertanyaan Farras lebih dulu, “Damayanti ngajakin ke rumah ibunya Rhea. Katanya dimasakin sarapan. Kalau gue hari ini gak bisa, Dam. Nyokap ngajakin makan siang. Katanya kangen sama Hime.”
“Gue juga gak bisa. Kata ngajakin nonton dan gue mau maksa dia buat meni-pedi.” penolak kedua dan Kali ini dari Farras. “Lo yakin ngajakin Kata meni-pedi? Dia kan alergi kayak gitu-gitu.” Nadira menyauti perkataan Farras yang kini sudah tertawa.
“Sengaja, dia lagi bawel banget beberapa hari terakhir. Sesekali gue isengin.” jawabnya yang membuat Damayanti mengesah, “Dasar ibu sedeng.”
“Siap-siap dengar ceramah soal kehamilan. Panjangnya bisa 2 SKS.” Goda Farras yang membuatnya semakin ngeri untuk pergi ke sana. Tepat di sana Rhea masuk dengan suara parau. “Halo, ada apa?” sapanya.
“Rhe—”
“Rhe, kamu mau sop buntut apa sop iga?” sela suara pria yang terdengar sangat jelas di sambungan telepon membuatnya urung bertanya. “Sop Iga aja, Nu. Terima kasih.” jawab Rhea.
Farras terkikik dengan centil, “Rhea gak bisa nemenin lo, Dam. Lagi asyik dia sama Janu.”
“Bukan gitu, setan. Gue lagi flu dan Janu lagi main sama Aksa.” Penjelasan Rhea membuat suara paraunya kini masuk akal. “Kenapa? Udah waktunya ketemu sama nyokap gue ya, Dam? Iyain aja biar cepet. Bilang enggak malah bikin nambah 2 SKS lagi.” imbuh wanita itu dengan tarikan ingus sebagai sisipan.
Mereka berbicara ngalor ngidul selama beberapa saat, banyakan menggodanya agar tabah menjalani satu harian ini karena tidak akan dilepaskan hingga makan malam. Lalu ia menutup panggilan itu dengan tidak tercerahkan atau pun mendapat bantuan apa lagi teman seperjuangan. Ia hanya dapat pasrah.
5/6/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...