Kehidupan Damayanti tidak berbeda dengan anak-anak yang hidup di bawah tekanan orantua pada umumnya. Ia mencoba menjalani hidup dengan mimpi-mimpi kedua orangtuanya yang dijejalkan sejak dini. Mengenai keluarga dokter yang turun menurun serta nilai yang harus berada di batas tertentu, dan juga harus menjadi yang terbaik. Mengenai pergaulannya yang juga ditentukan karena itu memengaruhi koneksinya di masa depan. Mengenai bagaimana ia harus menjaga nama baik keluarga dengan tidak melakukan hal-hal di luar norma yang ada di masyarakat.
Segala sesuatu dilakukannya untuk mendapatkan pengakuan dari mereka, tetapi yang didapatkannya adalah beban tambahan. Usaha terbaiknya tidak cukup dan itu adalah perasaan terburuk yang dirasakannya semenjak kecil. Ia tidak cukup. Yang Damayanti inginkan adalah validasi dari mereka, terutama ibunya. Hingga ia membuat mimpi-mimpi ibunya menjadi tujuan dan mengabaikan dirinya sendiri. Ia kehilangan mimpi dan apa yang ingin dilakukannya di masa depan karena bayangan akan apa yang ibunya inginkan dan jejali semenjak kecil.
Pada dasarnya, Damayanti kehilangan dirinya karena hasrat ingin memenuhi keinginan orangtua dan menjadi anak yang berbakti. Tapi sekarang berbeda. Ia sudah terlalu lelah mencari afirmasi dari orangtuanya untuk hal-hal yang disukainya. Untuk hal yang memang ia inginkan ada di kehidupannya.
Damayanti menatap pantulannya di cermin, pulasan lipstik berwarna merah menyala berada di bibirnya, sedangkan riasan lainnya seminimalis mungkin. Alih-alih menyembunyikan tubuhnya yang berubah karena kehamilan, ia mengenakan terusan yang mengekspos lekuk tubuhnya secara terang-terangan. Rambutnya diikat ke atas sehingga memperlihatkan leher serta square neck dari terusannya yang berpotongan rendah.
Matanya turun pada perutnya yang membuncit, "Brace yourself, kiddo. Kakek dan nenekmu tipe yang sulit untuk ditaklukkan." pandangannya menyapu keseluruhan penampilannya dan tersenyum saat semuanya dirasa sempurna. Dengan kaki yang dilapisi flat shoes ia berjalan keluar dari unitnya.
**
Rumahnya lebih mirip bangunan tempat ia pulang ketimbang rumah yang terasa hangat. Tidak ada kenangan manis yang muncul saat ia melihat tempat ini. Kenangannya lebih banyak mengenai waktu yang banyak dihabiskannya untuk belajar mati-matian dan pulang kelelahan setelah sekolah dan begitu banyaknya les tambahan yang dijejalkan padanya.
Kedua orangtuanya lebih banyak berada di Rumah Sakit, atau mengikuti simposium di suatu tempat atau pergi ke negara lain untuk mengejar mimpi mereka. Terkadang itu membuatnya bertanya-tanya, untuk apa mereka memiliki anak jika masih sibuk dengan dunia mereka sendiri? Atau jika dirunut lebih jauh, untuk apa mereka menikah jika bertemu saja jarang? Satu-satunya jawaban yang bisa disimpulkannya ketika sudah dewasa adalah karena mereka ingin meneruskan sejarah keluarga yang sudah menjadi dokter turun-temurun semenjak buyut mereka. Sangat orisinil.
Ia membuka pintu setelah memberikan mobilnya pada supir ayahnya yang berjaga dekat pos satpam. Wanita tua yang mengurusnya semenjak kecil membukakan pintu dengan senyum sumringah. "Non! Bibi kira gak jadi datang." Ucapnya lalu memberikan pelukan hangat. Tubuhnya yang berisi tidak membuat bibi serta merta menjadi lelet. Gerakannya sangat cepat dan teratur menggiringnya ke dalam rumah. "Bibi siapin makanan kesukaan Non, banyak sayuran. Tapi, Bibi juga masukin daging, potong kecil-kecil. Jangan disisihin, ya! Harus makan semua!" Celotehnya panjang lebar tanpa membiarkan Damayanti menyela. Mungkin, ini satu-satunya hal yang disukanya dari rumah ini. Bibi yang memerhatikan dan mengomelinya. Di saat anak-anak lain paling tidak suka diomeli, Damayanti justru merasa itu adalah bentuk suatu perhatian.
"Damayanti." Suara serak nan berat membuat langkah mereka berhenti. Bibi yang tadi menggeretnya juga kini sudah melepaskan tangannya. Tubuh Bibi langsung berubah menjadi lebih sigap dengan bahu yang sedikit membungkuk. Mempertegas posisinya di rumah ini sebagai apa pada orang yang duduk dengan santai di single sofa ruang keluarga dengan buku dan kacamata yang menangkring di hidungnya. Damayanti tidak mau tahu apa yang dibaca oleh orangtuanya, pun berbasa-basi. Dan omong-omong, ia juga tidak mengerti kenapa ada ruang keluarga di rumah ini, jika ruangan ini diperuntukkan menyidang mereka ketimbang untuk kumpul keluarga.
Dan, kenapa juga ia bisa betah tinggal di sini hingga beberapa bulan lalu? Lalu, kenapa baru datang tapi ia harus dihadapkan dengan raja terakhir? Kenapa tidak dihadapkan dengan centeng-centengnya dulu seperti di gim sih?"Ya, ada apa?" Jawabnya. Ayahnya menutup buku kemudian melepaskan kacamatanya. Meletakkan kedua benda itu di atas meja yang berada tepat di hadapannya. Pakaian yang dikenakannya masih sama seperti yang sudah-sudah, tidak pernah jauh dari kemeja; lengan panjang atau pendek dan juga batik. Untuk malam ini ayahnya mengenakan batik. Tubuhnya yang membungkuk setelah meletakkan benda-benda tadi tidak membuat pakaiannya kusut, pria tua itu menatapnya dengan tajam. Satu alis ayahnya menukik tajam saat melihat apa yang dikenakannya. "Naik ke kamar kamu dan ganti dengan baju yang sudah disiapkan oleh ibumu." ucapnya dengan tegas.
Melawan kedua orangtuanya tidak pernah dilakukan oleh Damayanti, kecuali untuk urusan kehamilan dan pilihannya keluar dari rumah. Tetapi, apa ia tidak terlalu tua untuk diatur urusan berpakaian? "Tidak usah, Yah. Aku nyaman pakai ini. Dan repot jika harus ganti-ganti lagi." balasnya, mengabaikan tatapan menusuk yang siap menikamnya kapan saja dengan kata-kata pamungkas.
7/6/21
Hellow gaes, jangan lupa targetnya dari 14 1/2 - 19 2/2 @500 komen yes :)
Zero-Sum Love Rhea - sudah tamat
Cooperative Love Farras
Lover's Dilemma Damayanti
Sequential Love Nadira
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
Storie d'amoreMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...