Yak, tidak jauh dari perkiraannya tadi. Sinta sedang memberikan ceramah yang tidak diminta mengenai cara mengurus anak buah. Kayak dia sudah benar saja mengurus anak buahnya. Kerap kali semua dokumen bermasalah, menurut sekretaris bosnya. Ada saja yang dikembalikan terus menerus saat hinggap di meja sekretaris. Beberapa proposal kerja sama tidak diteruskan hingga melewatkan kesempatan.
"Kamu itu harus ngelihatin semuanya dong, Damayanti! Kamu ada lihat VP lain yang teledornya seperti kamu? Kamu tahu kan itu booyh bekerjasama dengan perusahaan lainbyang kita sponsori! Mereka sudah mendesain boothnya dengan logo perusahaan dan barang-barang yang mereka akan jual! Saya harus bilang apa lagi ke mereka!" Tegurnya dengan tegas dan suara yang menggelegar.
Lantai tempat mereka bekerja tidak bersekat, para VP tidak memiliki ruangan masing-masing sehingga teriakan seperti sekarang pasti dapat terdengar dari ujung ke ujung. Tanpa memperhatikan sekitarnya pun, Damayanti tahu ada banyak mata yang melihat ke arahnya dengan kasihan.
Damayanti mencoba sekuat tenaga agar semua perkataan wanita tua ini masuk kuping kiri keluar kuping kanan, tanpa ada yang mengendap di otak mau pun hatinya. Sayangnya, ia terlalu sensitif untuk mengabaikan serpihan kecil yang melekat ketika dibandingkan dengan orang lain. Supervisor Karin, Dian, yang berada di sebelahnya sudah gemetar dan sesengukan. Karin? Jangan ditanya lagi, dia sudah menangis dari awal. Bahkan Arminta, yang notabene anak buahnya sendiri pun, sudah habis diomelinya tadi.
"Mbak, kita bisa bicarakan di ruang rapat saja?" Suaranya gemetar, menahan amarah yang sudah berada di ujung tanduk. Seperti lahar yang siap keluar kapan saja. Hanya perlu satu dorongan lagi, maka ia akan meledak.
Ia mencoba untuk bersabar dengab menarik napas dan merapalkan doa agar anaknya tidak seperti nenek lampir di hadapannya.
"Kamu Karin, kalau kamu tidak bisa kerja, jangan masuk lagi mulai besok! Begini repotnya kalau punya bos yang belum menikah, tidak bisa mengurus diri dengan mencari pasangan dan dipercayakan untuk mengurus orang lain. " Ujar Sinta, mengabaikan ajakannya untuk pindah ke ruang rapat.
Strike three.
Sudah, cukup. Ini mencentang tiga hal yang tidak ia sukai. Niat mulianya untuk memberitahukan bahwa ia berhasil mendorong logistik pusat untuk membuat booth agar dapat digunakan dua hari terakhir sudah menguap bersamaan dengan niatannya untuk mencari solusi.
"Cukup, Mbak. Ini sudah keterlaluan. Saya tahu ini kesalahan saya, tapi Mbak sudah melangkahi wewenang saya dan menyinggung hal yang tidak ada urusannya dengan pekerjaan sama sekali. Saya sudah mencoba mencari jalan keluar, tidak ada yabg mbak gubris, yang Mbak ributkan dari tadi hanya masalahnya tanpa mencari solusi. Apa dengan mempermalukan saya di sini tidak cukup sampai mbak juga memecat Karin?" Dadanya naik turun dengan cepat, "Kamu Karin, kalau sampai kamu besok tidak masuk lantaran sudah dipecat oleh Mbak Sinta, kamu bisa minta pesangon sesuai dengan kontrak kerjamu ke HRD."
Satu hal yang ia paham betul dari perusahaannya ini adalah, mereka paling anti memecat orang. Bahkan bosnya saja tidak pernah melakukan hal itu karena HRD terlalu rewel. Berurusan dengan HRD akan panjang, dan lebih baik dihindari.
"Emailkan pemecatannya sekarang ya, Mbak. Dan untuk urusan ke perusahannya, saya yang akan kontak dan memberikan penjelasan. Saya juga yang akan menjelaskan ke Bapak mengenai hal ini dibanding ruwet dengan hal yang gak memberikan solusi." lanjutnya. Kepalanya terasa seperti dihantam dengan godam berkali-kali dan ia memilih untuk kembali ke mejanya. Masih terlalu pagi untuk mendengarkan ocehan terus-terusan. Lagi pula, ia harus bertemu dengan bosnya untuk membicarakan hal ini pukul sepuluh nanti.
25/1/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
Roman d'amourMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...