Lover's Dilemma - 18 - Roy Rogers 1/2

3.2K 586 506
                                    

Sayangnya, sebelum ia dapat mendengar kata-kata itu, bel sudah berbunyi dan menyelamatkannya dari berhadapan dengan ayahnya lebih lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayangnya, sebelum ia dapat mendengar kata-kata itu, bel sudah berbunyi dan menyelamatkannya dari berhadapan dengan ayahnya lebih lama. “Bilang ke Bibi untuk buka pintunya lalu bilang ke ibu kamu untuk memastikan makanannya siap semua.” titahnya. Damayanti tidak perlu satu detik untuk menganggukkan kepala dan mengambil langkah seribu dari sana. Tujuan utamanya adalah dapur dengan target utamanya adalah Bibi yang sibuk dengan berbagai macam lauk. “Bi, kata Ayah tolong buka pintu.” ia pergi dari dapur setelah bibi melesat ke pintu depan untuk membukakan pintu dan meletakkan tasnya di salah satu meja dapur.

Selanjutnya adalah kamar ibunya di lantai atas. Iya, kamar ibunya. Ayah dan ibunya sudah pisah kamar sejak lama. Tidak tahu alasannya apa, tetapi kehangatan yang mereka umbar itu hanya terjadi di depan umum, jika lampu sorot dan perhatian orang-orang sudah hilang, semuanya kembali ke mati rasa. Ia mengetoknya sekali lalu langsung membuka pintu. Ibunya duduk di depan meja rias, sedang memulas bibirnya. Ibunya adalah wanita tua paling cantik yang pernah dilihatnya. Penampilannya sangat terjaga, mungkin karena serangkaian botox yang disuntikkan ke wajahnya. Uang dapat membuatmu awet muda dan cantik, untuk hal ini Damayanti sangat percaya.

“Bu, sudah datang tamunya. Kata ayah pastiin makanannya siap.” katanya. Tanti melirik dari pantulan cermin lalu alisnya mengerut, ia tidak memberikan ruang untuk protes mengenai bajunya karena Damayanti langsung buru-buru kabur dari sana.  Ia tidak melihat kedua kakaknya di mana pun, termasuk keluarga mereka yang sangat sempurna itu. Kakinya terasa sangat berat untuk berjalan menuju suara tawa ayahnya.
“Ayo, Damayanti. Terakhir kalinya.” ia berusaha menyemangati dirinya sendiri, meskipun keinginannya untuk kabur dari sini sudah berada di puncaknya. Kakinya berhenti, menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya hingga ia merasa lebih tenang lalu kembali berjalan dengan senyum yang terpampang di wajahnya. Latihan bertahun-tahun membuatnya mudah untuk menyembunyikan emosinya dan menampilkan senyum senatural mungkin.

Damayanti memasuki ruang tamu yang berisikan empat orang termasuk ayahnya. Satu pria seumuran ayahnya, satu lagi wanita seumuran ibunya dan satu lagi pria yang tampaknya lebih tua sedikit dari dirinya. Tubuhnya bergerak seperti robot yang sudah terprogram. Tersenyum dan bersikap penuh dengan sopan santun pada para tamu. Semua gerakannya teratur, tidak ada yang sembrono atau berantakan seperti yang sudah diajarkan semenjak kecil.

Kupingnya mendengar tapi tidak menangkap satu pun kalimat yang dikeluarkan oleh dua orang teman dari orangtuanya. Damayanti menulikan telinganya, namun sayup-sayup ia rasanya mendengar mengenai pencapaian dari pria yang dikenalkan padanya itu. Pria yang dikenalkan padanya tidak jauh-jauh dari profesi yang sama dengan kedua orangtuanya, dokter. Tentu saja, keturunan harus terjaga. Dokter spesialis yang tengah melanjutkan pendidikannya. Sisanya Damayanti hanya mengeluarkan kata-kata seperti; oh ya? Wah, hebat sekali dan sejenisnya. Sekedar untuk ramah tamah tanpa ada niatan untuk mendengarkan dengan serius.

“Damayanti kerja apa? Beda ya dari kakak-kakaknya.” ia tahu wanita tua yang berdandan seperti ibu pejabat dengan jambul tinggi itu tidak bermaksud untuk membuat arah pembicaraan ini menjadi aneh, euh atau memang ia sengaja? Entahlah, tetapi arah pembicaraan ini membuatnya menggigit bibir. “Kerja kantoran, Tante. Memang tidak ada niat untuk jadi dokter.” jawabnya dengan senyuman.

Ayahnya berdeham dengan sangat kencang kemudian mengalihkan pembicaraan, membuat perkataan yang sudah di ujung lidah tamu itu tertahan. “Makanan sudah siap. Pindah ke ruang makan, sebelum dingin.” Dan pembicaraan mengenai kariernya berhenti sampai di sana. Seperti yang sudah-sudah.

Matanya melirik pada pria yang dijadikan tumbal hari ini. Tampak seperti lelaki metropolitan dengan wajah kinclong dan rambut yang tertata rapi. Tubuhnya lumayan tegap dengan otot yang tidak dapat disembunyikan di balik batik yang dikenakannya. Hasil rajin nge-gym sepertinya. Kaki jenjangnya berbalut celana bahan berwarna hitam. Kesamaan mereka adalah mereka sama-sama tidak tertarik dengan makan malam ini. Dan sebagai sesama robot, Damayanti dapat langsung mengenali jenisnya.

Namun, itu tidak membuat Damayanti lantas membuka topik pembicaraan untuk sekedar berbasa-basi hingga mereka ditelantarkan oleh kedua orangtua mereka di taman belakang rumahnya dengan alasan, “Para orangtua perlu membicarakan sesuatu. Kalian yang muda-muda bisa bicara berdua.” sekali lagi, sangat orisinil.

8/6/21

Zero-Sum Love Rhea - sudah tamat
Cooperative Love Farras
Lover's Dilemma Damayanti
Sequential Love Nadira

Zero-Sum Love Rhea - sudah tamatCooperative Love Farras Lover's Dilemma DamayantiSequential Love Nadira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover's Dilemma [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang