Lover's Dilemma - 3 - Sparkling Campari Orange 2/2

5.4K 815 108
                                    

"Ada rencana kapan buat kasih tahu ke orang tua lo kapan?" Tanya Rhea.

Damayanti menyandarkan punggungnya ke sofa. Memberitahukan orang tuanya mengenai kehamilannya adalah hal yang paling enggan untuk dilakukannya. Jika dulu saja mereka menolak, apa bedanya dengan sekarang setelah ia hamil? Kepalang tanggung tidak akan merubah apa pun bagi orang tuanya yang menjunjung tinggi martabat keluarga. They will shove every ounce of their dignity up to their asses. Karena mau dibicarakan bagaimana pun, ia akan membesarkan anaknya sendiri tanpa pernikahan.

"Nanti deh. Gue bisa kan pakai kartu 'ibu hamil gak boleh setres' sekarang?" ia menyesap minuman untuk melumasi tenggorokannya yang kering karena pembicaraan mereka.

"Itu hak lo sih buat kasih tahu siapa dan kapan. Lo bukan warga baru yang wajib lapor ke RT dan RW juga." celetuk Faras. "Intinya, lo sekarang sudah jadi Ibu dan lo punya keluarga sendiri untuk diurus. Tapi gue penasaran deh, anak lo nanti kayak gimana ya? Ini kejutan pas keluar kayak gi-- Aw! Sakit Dam!" Farras mengelus bahunya yang terkena pukulan kencang oleh Damayanti.

"Mulut lo! Anak gue ini yang lo omongin! Lagian lo norak banget. Lo bisa cari warna kulit, mata atau ras dari pendonornya, sampai ke genetic traits yang lo mau kayak gimana. Cuma memang lo gak bisa tahu identitas pendonornya." terangnya.

"Gue berasumsi lo jauh-jauh ke sana dan nyari bule bermata biru dengan tinggi di atas rata-rata." ujar Rhea. Dia sudah tampak lebih tenang dan dapat mengajukan pertanyaan sekarang.

"Nope. Gue nyari Asia." jawabnya santai.

"Lo ngapain jauh-jauh ke sana dan nyarinya Asia juga? Tuh, Bang Bra nganggur. Minta aja spermanya." Farras lagi-lagi mendapatkan pukulan bahu darinya. "Apa sih?! Lo mukul-mukul mulu! Kekerasan nih! Lagian gue bener, lo jauh-jauh ke Amerika buat donor sperma dan berakhir dengan Asia juga padahal deket sini ada yang gratisan dan bisa pakai cara normal."

"Steples lo di mana sih? Gue pengen nutup mulut ni anak dulu." Rhea sudah berjalan ke lemari dan mengubek isinya sedangkan Damayanti hanya bisa memegang kepalanya yang kembali pening.

"Gue gak kepengin nikah, Ras. Berapa kali sih gue mesti bilang soal ini? Kalau dengan orang yang gue kenal, maka akan ribet di perkara hukum untuk hak asuh anak juga. Dengan donor sperma semua hal legal di hukum sudah terjamin, yang itu berarti anak gue adalah punya gue."

"Hate to say this to you, tapi anak yang lo lahirin pun bukan benda kepemilikan lo sih, Dam." Nadira berbisik tapi cukup dapat didengar oleh tiga orang lainnya yang berbagi ruangan dengannya.

"I know. Tapi, semua rencana ini sudah gue pikirkan matang-matang dari dulu."

"Dan sampai sekarang kita belum pernah dengar alasan lo kepengin punya anak sendiri apa? Lo yang gak mau nikah dan menganggap anak adalah komitmen seumur hidup." Nadira melanjutkan pertanyaannya.

Damayanti memang belum pernah menceritakan bagian itu pada siapa pun. Tidak juga pada ketiga sahabatnya. Bukannya tidak mau, ia hanya belum siap. "Nanti, ya. Nanti gue kasih tahu kalau yang itu. Bukan sekarang."

"Sudah, pembicaraan berat seperti ini masuknya di jadwal temu tiap jumat." sahut Farras.

"Sejak kapan kita punya jadwal temu setiap jumat?" Damayanti bertanya.

"Sejak sekarang karena lo hamil dan waktu hamil lo perlu banyak orang buat jadi support system. Dan karena itu gak bisa lo dapatkan dari orang tua atau partner, jadi kita bisa tambah jadwal temu di awal dan akhir minggu." Farras membuatkan minuman lagi untuk mereka dan kembali dengan cepat seakan dia adalah seorang bartender yang sudah terbiasa membuat minuman. "Dan, kita bersenang-senang sekarang. Obrolan devastated hanya ada di hari jumat atau hari-hari lainnya."

Mereka mendentingkan keempat gelas dan berseru, "L'chaim!"

15/1/21

Lover's Dilemma [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang