Bayangan bagaimana ibunya bisa saja langsung tergeletak di lantai karena ia melupakan tata krama yang diajarkan semenjak kecil membuatnya susah untuk menahan bibirnya membentuk seulas senyuman.
“Tidak bisa, Bu. Pekerjaan ku sedang banyak-banyaknya. Lagi sering pulang malam juga dari kantor.” tolaknya langsung.
Satu alis Tanti, ibunya, menukik dengan tajam mendengar jawabannya, “Hari sabtu pun kamu masih bekerja?”Shit, ia lupa menanyakan harinya sebelum memberikan penolakan. “Oh, ini yang kita bicarakan masih hari sabtu? Bukan besok? Sabtu malah aku gak bisa, Bu. Ada dinas keluar kota.” bohongnya. Ia bahkan tiba-tiba saja lupa kota mana yang akan mengadakan pameran di sabtu depan. Tapi, yang pasti ia tidak perlu datang mengingat anggota timnya sudah ada yang akan berangkat ke sana. Atau ia bisa menggantikan untuk datang ke sana? Opsi itu masih lebih baik ketimbang datang untuk makan malam ke rumah orangtuanya. In fact, ia akan menukar apa saja agar tidak perlu datang ke san.
Tanti mendengkus dan menatapnya dengan mata menyipit, “Kamu kerja itu yang bener makanya. Kantor apa sih yang sabtu saja masih harus bekerja banting tulang dengan gaji gak seberapa? Kalau kamu ikutin kata Ayah dan Ibu dulu buat jadi dokter kayak kakak-kakakmu, kamu gak perlu sesusah sekarang untuk cari suami di umur yang sudah terlalu tua. Lihat mereka, punya suami dokter juga dan seumuran kamu sudah punya dua anak yang cantik dan ganteng dan juga sekarang sudah remaja. Hidup mereka sempurna, Damayanti. Yang perlu kamu lakukan itu hanya dengerin apa kata orangtua kamu, tapi itu saja kamu tidak bisa.” ibunya memberikan ceramah yang sama, seperti sepuluh tahun terakhir. Kali ini mata ibunya mulai menyapu dari atas kepala hingga keujung kaki.
Ibunya berjalan mendekat, menariknya berdiri lalu memutar tubuhnya agar dapat melihat dengan jelas. “Kamu gendutan, makan banyak lagi ya? Kurang-kurangin makan kamu itu, lho. Makan sayur, diet. Kamu gimana mau ada yang suka kalau gendut gitu? Kamu itu sudah tua, Damayanti. Harus jaga badan, dong. Kamu mau jadi perawan tua memangnya? Hidup sendiri, terus mati sendiri gak ada yang tahu kayak di berita-berita. Menyedihkan.”
Damayanti mendengkus, menahan keinginan untuk tertawa mendengar ucapan ibunya. Ia lupa bagaimana penampilan adalah hal kedua terpenting setelah pekerjaan yang selalu dicekoki di otaknya itu semenjak kecil. Dan hal lain yang membuatnya ingin tertawa adalah mengenai perawan tua, kalau saja ibunya tahu ia sudah kehilangan keperawanan lebih dari sepuluh tahun lalu, apa yang akan dilakukannya ya? Memaksanya untuk operasi keperawanan agar tidak kehilangan muka di depan calon besan? Atau fakta mengenai berat badannya yang naik adalah karena ia tengah mengandung cucu mereka. Entah mereka mengakuinya atau tidak. She doesn't give a damn about it.
Seperti mendapatkan sebuah pencerahan, kedua sudut bibirnya tertarik dengan lebar. Ini adalah jalan supaya ibunya itu berhenti menyeretnya ke tengah-tengah makan malam yang berujung perjodohan. Tapi, ia perlu satu bom besar dijatuhkan agar membuat semuanya menyenangkan bukan?
“Sabtu ini pukul berapa, Bu?” Senyumnya semakin melebar kala melihat ibunya yang kebingungan melihat ia kalah sebelum berperang. “Aku coba datang untuk makan malamnya, infokan saja jamnya biar aku bisa tahu datang jam berapa nanti.”Seperti mendapatkan angin segar atas ucapan anaknya, Tanti memberikan informasi lengkap mengenai acara makan malam itu kemudian pergi dari rumahnya.
6/6/21
Sebelum diprotes soal ibunya, ibu sepeeti Tanti ini ada ya man teman.
Zero-Sum Love Rhea - sudah tamat
Cooperative Love Farras
Lover's Dilemma Damayanti
Sequential Love Nadira
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...