"I’m gay.” suara pria itu mengejutkannya dari pikiran harus mencari topik pembicaraan apa dengan pria yang tidak pernah ditemuinya sebelumnya. Apakah cuaca? Atau iklim politik saat ini? Tapi, apa yang diucapkannya menghentikan gerbong kereta berisikan pertanyaan yang tengah dikurasi di kepalanya. Bukan jenis pembicaraan yang ia mau, tapi ini permulaan yang bagus. “Okay.” ucapnya pelan. “Lalu?” Imbuhnya kemudian.
“Saya punya pasangan. A man obviously. Tetapi saya belum mengatakannya pada orangtua saya.” lanjut pria itu. Pandangannya mengawang ke satu titik yang tidak berada di dimensi yang sama dengan mereka. Mau seberapa tua pun kamu, jika itu menyangkut orangtua dan tahu akan mengecewakan mereka tau mendengar kalimat sakti, pasti akan mengulur waktu untuk mengatakannya. Membayangkan pria sebesar orang di sampingnya ini ketakutan untuk mengatakan orientasi seksualnya, itu berarti didikan yang didapatkannya sangat keras semenjak kecil. “Dan kamu akan melanjutkan perkenalan ini? Karena, kita sama-sama tahu ke mana muaranya. Sekali mengiakan maka tidak akan ada jalan keluar.” Damayanti meluruskan kedua kakinya, bahunya menyender pada bangku kayu yang berada di teras halaman belakang. Posisi duduk mereka masih sama seperti saat mereka tiba di tempat ini. Menghadap ke depan, tanpa melihat satu sama lain ketika berbicara.
“Lalu, alasanmu tidak menyetujui perkenalan ini apa?” Pria itu memberikan tanda kutip dengan kedua tangannya pada kata perkenalan. Dan omong-omong, Damayanti benar-benar tidak tahu nama pria ini. “Sebelumnya, saya benar-benar tidak tahu nama kamu dan karena kita sudah sampai tahap pembicaraan orientasi seksual, kita harus berkenalan. Saya Damayanti.” ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Pria itu menatapnya sesaat kemudian terkekeh, menyambut uluran tangannya. “Saya William.”
“Alasan saya tidak setuju karena saya sedang hamil.” jawabnya dengan tenang. Memperhatikan bola mata lawan bicaranya yang membelalak dengan mulut yang terbuka. Tampaknya Damayanti akan mulai menikmati ekspresi keterkejutan dan orang-orang yang kehilangan kemampuannya berbicara seperti sekarang. William melipat bibirnya ke dalam untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar, “Kalau kamu sudah memiliki pasangan dan tengah hamil a—”
“Saya tidak punya pasangan.” serobotnya sebelum William menyelesaikan kalimat. “Saya memilih jalur donor sperma. Dan perkenalan yang kesekian kalinya ini tampaknya buah dari usaha saya saat memberikan pengumuman pada orangtua saya.” lanjutnya. Ingatannya langsung memainkan ekspresi kengerian yang ditampilkan orangtuanya saat ia mengatakan tidak ingin menikah dan hendak memiliki anak dari donor sperma. Seluruh emosinya tersapu bersih dengan badai kemurkaan yang ditampilkan oleh ayah dan ibunya yang secara terang-terangan menolak dengan keras. Harga diri mereka yang terlalu tinggi menolak memiliki cucu dari jalur yang tidak sesuai norma yang berlaku.“Para orangtua terlalu kolot untuk donor sperma.” William berucap dan Damayanti menambahkannya, “Dan juga orientasi seksual.”
Mereka menghabiskan banyak waktu dengan berdiam diri, memikirkan nasib mereka yang ketiban sial dengan orangtua masing-masing. Sesekali William mengeluarkan ponselnya lalu mengetikkan sesuatu sebelum dimasukkan kembali ke dalam saku. Sedangkan Damayanti menatap langit yang terlalu penuh dengan awan sehingga menghalangi bintang-bintang.
“Berarti kita setuju untuk menolaknya kan?” William memastikan hasil pemufakatan mereka. “Iya, saya akan mengatakan kalau saya hamil. Ini kesempatan emas untuk melihat ekspresi keterkejutan dan badai yang akan mengamuk di wajah mereka.” Damayanti tersenyum dengan puas.
“Kalian para wanita memang menyeramkan.” William tertawa.
“Saya terlalu tua untuk diperkenalkan atau untuk diatur terus menerus, Will. Saya rasa sudah saatnya mereka paham bahwa saya berhak dan bisa mengambil keputusan untuk hidup saya sendiri. Sudah terlalu lama saya membiarkan mereka melakukannya dan membiarkan diri saya hidup dibayang-bayang masa depan yang mereka dambakan, ini saatnya saya hidup untuk diri saya sendiri.” terangnya. Damayanti tahu, pasti William paham akan perasaannya.Mereka kembali diam untuk beberapa menit sebelum Damayanti mengajak kembali ke dalam, “Masuk, yuk. Saya mau pulang dan istirahat. Capek banget.” ia melihat wajah William yang masih kalut. Mungkin bingung memikirkan alasan apa yang akan digunakan untuk menolak.
9/6/21
Akan apdet setelah:
Lover's Dilemma 14 1/2 - 18 2/2 @500 komen
Sequential Love 19 1/2 - 20 2/2 @400 komen
Cooperative Love 6 1/2 - 10 2/2 @200 komenBiar bisa barengan semua apdetnya.
Setelah ini bisa ke Sequential Love buat bacaan chapter 19 - 20 yg akan apdet bertahap yes.
Toodle-oo!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover's Dilemma [FIN]
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Menikah tidak ada dalam kamus Damayanti. Satu hal yang membuatnya menerima perjodohan dengan anak teman ibunya adalah karena bakti. Namun, keberuntungan berada di pihaknya ketika pria itu lari tunggang langg...