LIII

1.2K 120 10
                                        

Membuka mata adalah gerakan termudah yang bisa manusia lakukan. Tapi kali ini membuka mata menjadi hal yang begitu berat bagi Gea. Kedua kelopak matanya seperti di lem. Dia juga merasakan denyutan di kepala bagian belakangnya.

Apa seperti ini rasanya meninggal? Kenapa tubuhnya terasa berat untuk bergerak? Kenapa rahangku terasa sangat kaku? Ah sial, kenapa ada rasa pegal di tengkuk gue. Batin Gea. Ia juga mengumpat berkali-kali karena kesulitan menggerakan seluruh tubuhnya yang terasa sangat berat.

Saat berhasil membuka mata meski hanya satu garis. Gea berhasil menangkap dimana Ia berada. Sebuah ruangan berwarna putih dan sangat polos. Dia tidak mencium aroma khas rumah sakit, jadi Ia yakin sedang tidak berada di rumah sakit. Lalu dimana?

Gea kembali memejamkan mata, berusaha menghalau rasa pening yang menguasai kepalanya. Rasa kantuk yang sangat kuat, berpadu dengan rasa pegal yang merajai tubuhnya.

"Sudah bangun?"

Suara itu. Suara milik laki-laki paruh baya yang meminta bantuanya untuk mencarikan kacamata. Gea kembali memaksa membuka mata. Meski hanya satu garis, Ia bisa menangkap profil laki-laki paruh baya yang menemuinya di lokasi pemotretan. Kali ini Dia juga tidak mengenakan kacamata.

Apa kacamatanya hilang dan tidak sempat ditemukan? Apa gue jatuh ke jurang dan laki-laki ini menolongnya?Jadi kemana staff bang Oji yang dampingi gue disini? Batin Gea. Ia juga mencoba menggali ingatan kemarin. Gea bahkan tidak yakin apakah ini sudah berganti hari.

"Kamu tidur terlalu lama Geanna. Hampir 11 jam, apa ruang kesehatan ini sangat nyaman? Ngomong-ngomong Saya membawamu ke ruang rawat di gedung ini."

Gea melebarkan kedua matanya meski terasa berat. Dari mana Dia tahu namanya? Dan apa maksud ruang kesehatan gedung ini?

"Si.. apa Anda?" tanya Gea dengan suara yang sangat kering. "Dari mana.. Anda tahu nama Saya? Dan ini dimana?" Tenggorokanya terasa sakit, Ia bahkan lupa kapan terakhir kali Ia minum.

Laki-laki itu tertawa pelan. "Saya teman Mama Kamu. Dara Maheswari Ibu Kamu 'kan?"

"Anda kenal Mama Saya?" tanya Gea dengan suara serak. Dia mengabaikan rasa perih pada tenggorokannya karena terlalu terkejut.

Alih-alih menjawab, laki-laki paruh baya itu memberikan sebotol air dengan sedotan didalamnya. "Minum dulu."

Meski ragu Gea tetap menerima uluran botol air tersebut. Dia sedikit lega saat mendengar bunyi 'krek' saat memutar tutup botol. Segel botolnya masih utuh, dan Ia sangat butuh air minum untuk membasahi tenggorokan yang terasa sakit karena kekeringan.

"Saya dulu satu kampus dengan Dara."

"Berarti Anda mengenal Ayah Saya juga? Setahu Saya mereka satu kampus meski Ayah kakak tingkat Mama."

Gea merasa ada yang aneh dengan respon laki-laki paruh baya yang ada di hadapanya. Meski hanya sekilas, Gea baru saja menangkap sorot kemarahan. Ia sangat yakin. Tapi sorot mata itu berubah seramah tadi, saat menawarkan air mineral dan saat menyebut nama Mamanya.

"Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Ganesha Diantoro." tanya laki-laki paruh baya itu.

Gea tersenyum kecil. "Boleh Saya tahu ini dimana? Saya harus memberi kabar kepada Ayah atau tunangan Saya. Mereka pasti-"

Ucapan Gea terhenti saat laki-laki paruh baya itu tertawa keras, sangat keras. Kedua mata yang tidak terbingkai kacamata itu menatapnya dengan sorot yang sulit Gea tebak. Semua kejadian yang menimpanya terasa menyesatkan.

"Kamu persis seperti Dara. Sangat lugu.. atau bodoh?" tawanya kembali menyembur. Otak Gea mengirimkan alarm ke seluruh tubuhnya. Tanganya mengepal saat tubuh laki-laki paruh baya itu mendekat.

Hi, You! Again? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang