Sebelah alis Dana Armani naik saat Ben menyampaikan permintaan maaf atas kejadian dua minggu lalu sekaligus pembatalan darinya. Heran, tentu saja Dana Armani heran. Semula, semua rencana perjodohan memang berasal dari Ben. Dia hanya berencana untuk marger kedua perusahaan mengingat Nela adalah putri semata wayangnya.
"Aku tahu ini akan sangat mempermalukan nama baik Armani, tapi Dan.. " tatapan Ben menerawang menembus jendela kaca yang menampilkan langit siang yang bersih dari awan. "...Aku tidak ingin mereka tersiksa pada akhirnya."
"Mereka atau hanya Kenan?" tembak Dana Armani.
"Keduanya. Percayalah." Ben menatap tepat di manik mata Dana. "Kalau mereka di paksakan bersama, Ken akan selalu mengingat Geanna. Menurutmu bagaimana perasaan Nela di sepanjang pernikahan?"
Dana Armani masih diam. "Lagi pula.. Aku sudah tidak bisa memaksa Kenan dengan ancaman apapun. Pilihannya hanya merestuinya dengan Geanna atau Ia akan meninggalkan nama Adams. Aku Ayahnya, meski tidak ada darahku yang mengalir dalam dirinya Aku sangat menyayangi Ken sejak pertama mengenalnya."
"Kalau Kamu bisa melakukan itu untuk Kenan, bukankah seharusnya Kamu juga berfikir Aku akan melakukan hal yang sama untuk Nela? Mewujudkan keinginannya which is menikahkan Nela dengan Kenan- Pria yang di cintainya?" ucap Dana Armani datar.
Ben memejamkan mata erat. Mengutuk ketergesaan yang di lakukanya. Apa yang akan Ia katakan pada Kirana dan Kenan? Mengatakan bahwa Dana Armani menentang pembatalan perjodohanya?
"Pikirkan baik-baik Ben." tutup Dana Armani dingin.
©©©
Gea menggosok kedua tanganya yang terasa dingin. Dia sedang menunggu Ken membelikanya mantel karena Gea benar-benar kedinginan setelah keluar dari pesawat saat udara musim guhur menyambutnya. Bandara Internasional Heathrow cukup penuh hari ini.
Berbicara tentang dingin, Gea benar-benar mengutuk kecerobohan Kenan. Sudah memaksanya liburan tanpa persiapan, Ken juga tidak mengingat bahwa suhu di london sangat rendah meski dipertengahan musim gugur. 7°C dan mereka hanya mengenakan kaos panjang dan celana jeans serta snickers yang tidak bisa melindungi kulitnya dari angin musim gugur.
"Maaf lama, pakai ini darl." Ken buru-buru memakaikan mantel tebal pada Gea. Memasangkan sarung tangan kulit sewarna dengan mantel juga topi wol agar Gea tidak kedinginan.
"Lain kali nggak usah pakai kejutan deh." Gea mengetatkan mantelnya. Membiarkan Ken juga memakai mantel miliknya.
"Aku lupa kalau disini sudah pertengahan musim gugur sayang." Gea menatap Ken yang masih mengetatkan mantelnya. Menatap wajah Ken yang tampak kemerahan akibat kedinginan. Wajahnya diliputi raut bersalah, membuat hatinya terenyuh karena sempat mengomelinya.
Ken hanya ingin memberimu kejutan. Batin Gea.
Wajah Ken mendongak saat merasakan usapan tangan Gea di kedua pipinya yang terasa dingin. "Wajah Kamu merah. Dingin?"
Ken tersenyum mendengar kalimat Gea yang lembut. "Sekarang tidak lagi." Ken menolehkan wajah, mengecup telapak tangan Gea yang dilapisi sarung tangan. "Thankyou darl."
Selanjutnya, Gea benar-benar merasakan serbuan emosi dalam dadanya. Ken membawanya ke London Eye. Mewujudkan keinginan konyolnya saat mengatakan ingin naik bianglala raksasa dan menikmati senja di atas langit dengan ribuan kerlip lampu yang menghampar.
"Kamu tahu.." kalimat Gea tersedak tangisnya. "Aku sekarang merasa menyesal karena bertemu Kamu lagi dengan rentang waktu yang lama." Ken terkekeh setelah Gea menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa lambat banget sih nemuin Aku? Kebahagiaan Kita juga jadi ngaretkan." Kali ini Ken tertawa mendengar sungutan Gea yang begitu menggemaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, You! Again? (TAMAT)
General Fiction"Yaya." Kepala Gea mendongak, berusaha menghalau air mata yang merebak di sepanjang lengkungan kelopak matanya. "Lo adalah pemicu mimpi buruk gue Ken." Gea mengusap kasar air mata yang mengalir di sebelah pipinya. "Gimana gue bisa hidup dengan tena...