Ketegangan yang Ken tinggalkan masih kental menyelimuti Kirana dan Ben. Hanya isak tangis Kirana yang terdengar lirih dan pilu. Tubuhnya luruh di atas lantai. Kakinya seperti kehilangan kemampuanya berdiri untuk menopang tubuhnya.
Sebuah nama yang Ken sebut, memang tidak berpengaruh buruk saat ini. Sebelum memulainya dengan Ben, Kirana sudah menyelesaikan semuanya dengan Axel Regrant- Ayah biologis Ken. Yang tidak Kirana sangka adalah, Ken menemui Ayahnya. Anak itu bahkan membangun hubungan yang cukup baik selama tinggal di Amerika.
"Maafkan ucapan Kenan. Meski sudah menjadi laki-laki Dewasa, Ken tetap memiliki sisi yang kurang dewasa untuk mengambil sikap." Kirana perlahan bangkit setelah mendapat ketenangan. "Terimakasih karena bertahun-tahun lalu mau menerima Kami."
"Apa Kamu juga akan pergi? Meninggalkanku dan kembali pada Regrant?" tanya Ben dengan kepala yang masih menunduk.
Kirana diam menatap Ben. Bukan karena tidak bisa menjawab atau sedang mempertimbangkan sesuatu. Kirana hanya terkejut dengan pertanyaan Ben yang menambah kekecewaan pada hatinya.
"Aku akan pergi.. saat Kamu memang sudah tidak menginginkan Aku dan Kenan ada di hidupmu." Kirana menahan gumpalan air mata ysng sudah memenuhi garis matanya. "Tapi Aku akan bertahan, kalau Kamu memang masih mencintai Kami dan masih menginginkan Kami."
Langkah Kirana kembali terhenti saat mencapai bingkai pintu yang masih terbuka. "Ben. Aku merindukan laki-laki yang selalu mendiskusikan semua hal beberapa saat lalu. Laki-laki yang mau menerimaku dan anak laki-laki kecil, yang mencintai Kami dengan tulus tanpa ada embel-embel yang harus anakku tanggung karena berhutang budi atas uluran tanganmu. Maaf, sepertinya Aku kurang pintar mendidiknya-" Kirana tidak melanjutkan kalimatnya. Tenggorokanya tercekat karena desakan dalam dadanya sudah di luar kuasa Ia menahan.
©©©
Tangan Gea menyusuri daftar belanjaan dan juga titipan Nana. Hari ini Dia memutuskan untuk belanja bulanan lebih awal dari tanggal biasanya, mengingat semalam Ken mampir tanpa bisa Gea suguhi apapun. Kulkasnya sudah tidak tertolong sama sekali.
Langkah Gea terhenti di belokan rak yang berisi tisu dan kapas saat troli miliknya hampir menabrak seseorang. "Maaf Saya-"
"Tidak perlu. Saya memang sengaja menunggu Kamu."
Gea mendengus pelan. "So?"
"Sudah selesai belanjanya? Bisa ikut Saya sebentar, ini tidak akan lama."
"Kamu bisa menunggu di kedai serabi tepat disamping supermarket."
Tidak butuh waktu lama bagi Gea menyusul Nela yang sudah duduk memesan segelas coklat panas yang Ia yakini belum disentuh sama sekali. Dia mendekat, bergabung dengan Nela setelah memesan serabi milo dan secangkir teh hijau.
"Saya tidak punya banyak waktu." ucap Nela setelah Gea mendaratkan pantatnya. "Kamu tahu, kejadian semalam sangat mencoreng nama baik Armani dan juga McAdams."
"Saya tidak melihatnya seperti itu."
"Karena Kamu terlalu rendahan untuk mengerti apa arti menjaga nama baik keluarga. Tidak ada anggota keluarga yang harus Kamu jaga karena Kamu tidak memilikinya-" Nela menutup mulutnya dengan gaya yang sengaja dibuat terkejut. "-bukankah Kamu memang tidak tahu asal usul dirimu sendiri. Seharusnya Aku paham dengan sikap tidak tahu diri yang Kamu perbuat karena Kamu butuh Kenan untuk menaikan status sosialmu."
Mendengar kalimat Nela, gerakan jemari Gea terhenti. Dia menaikan sebelah alisnya menatap wajah cantik Nela yang terpulas make up yang cukup tebal untuk ukuran ke kantor.
Sebuah tawa sarkas tanpa suara meluncur dari bibir Gea. Dia menoleh pada pelayan yang mengantarkan pesanan miliknya. Mengucap terimakasih sebelum kembali memandang Nela dengan mimik bosan. "Apa memang selalu seperti ini gaya orang terhormat untuk menyingkirkan lawan?" Gea sengaja menekan kata orang terhormat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, You! Again? (TAMAT)
General Fiction"Yaya." Kepala Gea mendongak, berusaha menghalau air mata yang merebak di sepanjang lengkungan kelopak matanya. "Lo adalah pemicu mimpi buruk gue Ken." Gea mengusap kasar air mata yang mengalir di sebelah pipinya. "Gimana gue bisa hidup dengan tena...