18. Let's Play

18 8 1
                                        

Kenapa bisa begini...
Baru saja aku berpikir semua akan menyenangkan, akan lancar.

Tapi boneka sialan itu mulai lagi...
Gila.
Dulu 2 bulan, sekarang 23 Oktober, terakhir 22 Agustus. Apa-apaan ini...

Suasana menyenangkan langsung diubah menjadi suasana menegangkan. Semua mata tertuju ke layar merah dibalik penyanyi yang langsung terduduk lemas. Seolah terphipnotis kami semua terdiam melihat gambar boneka berbentuk pir terisi, sebelum digantikan oleh...

Wanita yang tergantung di ruangan abu-abu kosong. Wanita berambut keriting panjang. Di tangan, paha, kaki, perut, banyak bagian tubuhnya terdapat kawat berduri yang menggantungnya dengan sadis. Ia terlihat seperti boneka marionette yang kusut dengan benangnya sendiri. Tapi alih-alih benang...kawat berdurilah yang menahan bobot tubuhnya.

Wanita itu berdarah-darah.
Mataku membulat saat aku tau siapa orang itu.

Kakak kelas yang menjual informasi dengan harga tidak masuk akal, yang selalu riang. Dia orang yang tau aku diundang kakak kelas populer untuk tampil namun dia menutup mulutnya.

"Letta...!", seruku pasrah. Air mata berkumpul di pelupukku saat boneka itu berdialog.

"Wanita sialan ini berani merusak kabelku!", cetus suara yang terdistorsi seperti robot rusak, sedang marah dengan teramat sangat. Berlawanan dengan nada riang yang selalu ia gunakan.

"Dia bukan orang pertama yang berusaha merusakku tapi sial aku kesal! Bukankah sudah pernah kutunjukan jangan main-main denganku?! Ingat Gabriel?! Dia masih ada di Rumah Sakit Jiwa sampai sekarang!! Ingat yang lain?! Yang membantingku sekarang sudah lumpuh, yang memaluku kehilangan kedua tangan, dan KALIAN MASIH BERANI MENENTANGKU?!", marah boneka itu penuh dendam dan bergema ke penjuru ruangan, semakin mendiamkan kami.

Aku, Jackie, Dean, Benny, siapapun, tidak bisa bergerak saat kawat lain turun dan melingkari dahi Letta. Duri itu membenam di jidatnya, meregangkan kawat yang tadi menancap di lehernya.

"Sini kutunjukan lagi...kalian tidak bisa..."

Kawat-kawat yang melilitnya perlahan-lahan bergerak memutari tubuh Letta yang sudah berdarah-darah...

"MACEM-MACEM SAMA GUE!!!!"

GRAK

Suara tulang yang patah, sendi yang diputar paksa, leher yang terputar ke arah yang tidak seharusnya terdengar sangat jelas...

"AAAAAAAAAAAAA!!!", jeritan histeris melengking menandakan puncak ketakutan ini, membuat yang lain ikut histeris dan berlarian berusaha keluar menyelamatkan diri. Mereka tidak memedulikan apa-apa selain diri sendiri, berdorong-dorongan sampai banyak yang terjatuh terinjak-injak tak berdaya.

"Ah!", bahuku terdorong dengan kuatnya sampai terjatuh. "CECIL!", jerit suara seseorang yang tidak bisa kukenali di keriuhan ini, mungkin diantara teman-temanku. Sialnya kacamataku hilang dan aku kehilangan fokusku karena panik ini. Akupun hanya bisa meringkuk pasrah dengan kaki yang menginjak-injakku.

Mendadak tubuhku ditarik secara paksa oleh seseorang ke bawah meja makan. Punggungku menabrak dinding di bawah meja ini, membuatku memejamkan mata menahan sakit.

"Aduh...", keluhku memejamkan mata.
"Lu gapapa kan?", suara serat yang berat terdengar. Awalnya kukira Kennth, tapi saat aku menoleh, rupanya kakak kelas berhati dingin,

Silvano Hale.

Tatapan malas dan dinginnya di balik kacamata tebal itu tertuju padaku, namun aku bisa merasakan di keseriusan itu tersirat rasa khawatir dan perhatian.

"Iya gue khawatir lu kenapa-napa. Tapi gue ga perhatian ke lu. Banyak yang keinjek-injek disana, gamungkin gue diemin kan?"

Astaga apa dia baru membaca isi pikiranku?! Apa dia benar-benar indigo?

MATRYOSHKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang