48. Kenyataan

23 6 4
                                    

Ending yang bagus.
Sungguh...ending yang bagus.

Keluarga kecil yang kembali bersama, cerita yang indah bukan?

Gue memejamkan mata, mengembalikan warna kecoklatan yang sebelumnya berubah warna seperti hijau laut.

"Gimana?", tanya sahabat di sebelah gue, seorang CEO YSP Corp yang masih sangat muda. Sebentar lagi ia akan membuat klarifikasi dan ucapan meminta maaf.

"Aman. Mereka akhirnya ketemu", bales gue menyeka mata yang berair. Yah...efek samping kalau gue memakai "indigo" gue.

"Oh...syukurlah..."

Tapi gue bisa lihat pikiran aslinya, "Sayang sudah berakhir",

"Oy", tegur gue, "Ini aja udah ngerepotin banget lho, gimana kalo seandainya polisi dari awal ikut, atau ada banyak cctv di sekolah. Lu beruntung karena itu semua lho", marah gue bersandar, merasa tidak nyaman dengan kerah kemeja ini.

Tapi Ray yang sudah terbiasa dengan jas-jas mahal hanya terkekeh,

"Memang Silvano banget ya, tinggal baca pikiran, terus to the point. Haha!"

Lagi-lagi itu.
Lagi-lagi senyuman palsu dan tawa menyebalkan itu.

Sejujurnya gue kesel dengan bagaimana dia sekarang, tapi gue ga punya pilihan.

Ini satu-satunya cara biar dia tetap waras.

Gue juga kehilangan orang tua gue. Lebih tepatnya di sebuah kecelakaan, tapi gue juga berperan di kematian mereka yang akan terus gue sesali.

Malam itu, gue dan orang tua gue sedang berkendara di mobil. Gue sebenernya anak Medan yang dipaksa pindah, dan gue merasa hidup gue direnggut.

Layaknya remaja bandel pada umumnya, gue marah. Gue melampiaskan emosi gue ke ayah gue. Sampe pada akhirnya...

Kata-kata terlarang keluar dari mulut gue,

"MALU KALI AKU PUNYA BAPAK MACAM KAU!"

Ucapan itu menghentikan seluruh pergerakan bapak, ia seperti kehilangan seluruh indranya. Ia membeku melihatku, dengan ekspresi terkejut dan sangat menyesal. Mobil terus melaju dengan dirinya yang diam di tempat.

Bahkan saat lampu mobil lain menerangi mobil kami, ia tetap tidak bergeming. Saat gue menoleh ke lampu itu,

Semua sudah berakhir.

Ayah meninggal ditempat, dengan tangan menghalangi kepala gue dari benturan. Lalu ibu, meninggal di rumah sakit, dan dia meninggal di hadapan gue.

Ibu mengatakan, kalau ayah memindahkan kami-terutama gue-ke pulau Jawa, untuk bereksplorasi, menemukan orang baru, dan menjadi sukses.

Disitu urat waras gue serasa diputus satu-satu.

Selama ini gue berpikir dia hanya seorang pria tua yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, menyeret istri dan anaknya yang sudah sangat betah di Medan.

Gue inget...dikeluarin dari rumah sakit gitu aja tanpa dibimbing kemanapun karena gue ga punya keluarga lagi. Gue inget gue jadi gila, berjalan tidak tentu arah pagi malam.

Yang ada di benak gue hanyalah kebahagiaan, kesedihan, dan tawa yang dilewati bersama ibu dan ayah, seolah mereka masih hidup.

Tp jauh di dalam, gue tau, gue menderita. Di dalam hati, gue terus menjerit, meminta akhir dari penderitaan gue.

Sampai akhirnya gue meloncat ke sungai dari jembatan dengan niat mengakhiri diri.

Air sungai yang dingin itu terus mengombang-ambing, dan batu siap membentur kepalaku.

MATRYOSHKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang