24. Dua

101 15 3
                                    

Sebelum baca dan memulai overthinking, nih aku kasih smirk-nya Anneth dulu

Hari ini adalah hari Senin yang cerah, burung-burung bernyanyi di luar jendela, matahari sudah terbit dari ufuk timur dan memancarkan sinarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini adalah hari Senin yang cerah, burung-burung bernyanyi di luar jendela, matahari sudah terbit dari ufuk timur dan memancarkan sinarnya. Bersamaan dengan pijakan kaki seseorang di depan gerbang sekolah SMA. Kaki jenjang itu bergerak melangkah ke dalam area sekolah, kepalanya celingak-celinguk mencari seseorang yang perlu ia temui hari ini.

Wajahnya tak nampak berseri, justru sangat amat datar, di bawah matanya ada garis berwarna hitam yang menunjukkan bahwa dia kurang tidur. Pakaiannya rapi, tetapi gayanya sangat amat tidak mencerminkan seorang gadis remaja feminim pada umumnya. Parasnya cantik, tapi di dalam dirinya seakan ada setengah jiwa laki-laki. Apalagi jika dia berteriak.

Ya siapa lagi? Tentu saja Nona Charisa Yudia. Perempuan dengan suara bak lady rocker itu baru saja datang ke sekolah pukul tujuh lewat lima belas. Beruntung dirinya berhasil melewati satpam yang berjaga.

"Mana sih orangnya?" gumam Charisa dengan dahi yang berkerut karena menahan silaunya matahari.

Charisa mengangkat tangannya untuk melihat arloji di pergelangan tangannya. Namun ia baru ingat bahwa dirinya tidak pernah membawa jam tangannya ke sekolah

"Oh iya, kan gue gak punya jam tangan," monolognya dengan wajah tidak berdosa. Kakinya kembali melangkah dan menyusuri lorong sekolah.

Ia tidak peduli dengan tatapan para siswa-siswi padanya yang terbilang sangat 'julid'.  Bodo amat, toh ini keputusannya. Ada hak apa mereka?

Charisa baru ingat jika di rumah tadi jam menunjukkan pukul tujuh tepat, berarti jika dihitung dengan waktu perjalanannya menuju sekolah, makan hasilnya adalah jam tujuh lewat lima belas menit. Rupanya skill matematika Charisa diuji disaat-saat seperti ini.

~~~

"Anneth!"

Bruk!

"Anjir!" umpat Charisa saat kakinya tersandung batu besar dan bahkan nyaris jatuh tergeletak di lapangan yang dipenuhi oleh siswa-siswi yang mengenalnya. Beruntung lututnya bisa menahan tubuhnya itu.

Seketika mereka semua menengok ke arah Charisa dengan tatapan yang datar tapi menyeramkan bagi Charisa.

"Njir malunya to the bone," batin Charisa sambil melirik ke arah siswa-siswi tersebut.

Ia berusaha bangun dari posisinya kini, Charisa terlalu semangat untuk menghampiri Anneth sampai-sampai tidak melihat-lihat jalan di sekitarnya. Di sebrang sana, Anneth hanya terkekeh pelan dengan tangan yang memeluk dua buah buku.

"Lo kenapa, Cha?" kekeh Anneth dengan sisa-sisa tawanya. Charisa yang melihatnya hanya bisa memajukan bibirnya sambil memicingkan mata ke arah Anneth.

“Neth, jujur deh sama gue.” Ucapan Charisa itu sontak membuat sebelah alis Anneth terangkat sempurna.

"Lo ngerasa kesel gak sih sama sikap gue akhir-akhir ini?" tanya Charisa dengan wajah yang serius. Karena jujur saja, sedari kemarin ia ingin meluruskan semua ini, sangat tidak elit jika mereka berdua—Deven dan Charisa berjauhan hanya karena sikap Charisa pada orang lain.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang