Kaget, ya, tiba-tiba ada notif?
Sebetulnya tidak ada hal yang penting lagi untuk diceritakan di bab ini. Yah, anggap saja untuk mengobati rasa rindu kalian karena cerita acak ini telah selesai.
Namun, setiap cerita tak pernah benar-benar selesai hanya karena konflik yang dialami tokoh sudah dapat resolusinya, bukan? Selama dia masih hidup, drama sekecil apapun bisa jadi cerita yang dapat dikenang.
Charisa Yudia itu orangnya misterius, aku saja tidak tahu bagaimana menyusunnya supaya menjadi cerita yang bisa dimengerti. Orangnya saja tidak bisa dimengerti.
Maka, barangsiapa yang mengharapkan season 2, niscaya dia akan kecewa, karena Friend or Love II tidak akan pernah ada. palingan aku hanya akan menjelaskannya dengan puluhan extra part di sini. Bercanda, satu aja cukup.
Hmm, sebenarnya masih punya project lain, tapi aku belum paham bagaimana menyusun alurnya. Jadi, tidak ada salahnya, 'kan melanjutkan cerita yang sudah selesai?
Jadi, inilah yang terjadi setelah epilog. Ralat, yang terjadi setahun kemudian setelah epilog.
~~~
Kalau boleh dikatakan karma, mungkin itulah yang terjadi pada Deven sekarang. Nyatanya perasaan membingungkan itu masih mengendap di sana, tidak mau keluar, tidak mau berubah. Semakin dilupakan, semakin sakit rasanya mengingat bagaimana cara wanita itu menolaknya. Bukan hanya menolak perasaan gila itu, tetapi dengan tawaran darinya untuk pulang bersama.
Charisa memilih untuk merenung sementara di sana seraya mengadu pada semesta lewat bisikan mulutnya, meminta seseorang datang untuk menjemput. Dan yang pasti, bukan Kenzo. Sadar diri kalau dia sudah tidak bisa sebebas dulu mengantar jemput Charisa.
Universitas tempat mereka menuntut ilmu memang berbeda. Namun tak menjadi penghalang temu di antara dua insan itu. Kalaupun perasaan tidak terbalas untuk kedua kalinya, setidaknya pertemanan indah itu tidak rusak, 'kan?
Kantin gedung Fakultas Ilmu Komunikasi dipenuhi oleh sekumpulan manusia-manusia barbar yang tidak tahu etika serta tidak memiliki kontrol atas volume suaranya. Formasinya kembali seperti dulu, tentunya dengan keadaan yang sudah berbeda.
Semester enam, artinya sudah setahun lagi menjelang kelulusan. Sudah dua bulan juga kawan SMA itu tidak berkumpul seperti ini, masing-masingnya tenggelam dalam lautan kesibukan yang seolah tak memperbolehkan mereka memiliki waktu senggang bertemu teman-teman.
Di dalam satu meja panjang, terdapat tujuh mahasiswa yang tengah bercakap-cakap diselingi tawa menggelegar tanpa melihat sekitar.
"Zo, gimana tuh si Naura, kasih kepastian dong! Lo kira dia sempak basah?" celetuk William mencibir Kenzo dengan volume keras, mengundang perhatian dari mahasiswa lain yang juga tengah berada di sana.
"Kenapa sempak basah?" Rafael tidak mengerti.
"Digantungin terus!"
Untuk kesekian kalinya para penghuni kantin mesti berusaha menutup telinga supaya indra pendengarannya itu tidak tuli mendengar gelak tawa dengan frekuensi rendah dari tujuh manusia itu.
Charisa duduk bersebelahan dengan Natalie, sementara di hadapannya ada Deven. Sedari tadi tidak ada kontak mata ataupun obrolan di antara mereka. Sampai kapan mereka berdua akan canggung seperti ini? Sudah satu tahun berlalu tetapi masih tidak ada perkembangan.
"El, katanya mau temenin beli kado buat Nila?" Natalie berujar dengan suara pelan supaya hanya bisa terdengar oleh Rafael. Ya, hanya hubungan kedua orang inilah yang masih utuh sampai sekarang, langgeng. Meskipun pernah ada waktu di mana mereka putus nyambung, pada akhirnya akan kembali seperti semula seolah rumah yang tak mengizinkan penghuninya pindah.
Rafael menepuk keningnya, bisa-bisanya ia melupakan hal itu. "Weh, sori banget nih. Gue sama Natalie harus duluan. Mau beli kado katanya," ungkap Rafael berterus-terang, malas jikalau William ataupun Kenzo mengomporinya lagi karena sok beralibi padahal hanya membutuhkan waktu berdua untuk berpacaran. Walau sebenarnya, itu memang termasuk kewajiban setiap mereka pergi untuk niat apapun.
Namun tiba-tiba Kenzo menyahuti. Dan ternyata tidak seperti apa yang Rafael bayangkan, ia juga pamit pergi ke suatu tempat untuk menepati janjinya di suatu tempat. Bodohnya ia menyebutkan nama tempat itu secara gamblang, rumah Naura.
"Ckk! Yaudah sana! Orang pacaran gaboleh masuk circle kita!" balas William dengan nada malas. Padahal sudah lama mereka tidak bertemu, bisa-bisanya para betina itu mengacaukan waktu senggang para lelakinya. Meskipun memang tidak ada salahnya, karena matahari juga sudah berada di kaki langit.
"Lo juga di sini jadi nyamuk, Wil!"
William mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Hanya tersisa dirinya, Charisa dan Deven di tempat ini. Dua orang itu memang tidak berpacaran, tetapi setidaknya memiliki hubungan yang lebih erat ketimbang dengan William. Baiklah, William tidak mau lagi jadi tumbal orang pacaran.
"Anj! Yaudah gue juga mau pergi ke rumah si Kenzo," umpat William yang kemudian beranjak.
"Ngapain ke rumah gue?"
"Bantuin babeh lo nyetak tanah liat. Bye, anak tiri babeh Karman mau pergi dulu!" jawabnya segera yang kemudian langsung ngacir lebih dulu daripada empat orang itu.
"Ah, yaudahlah pulang juga yuk, Ven!" Charisa mulai berani membuka suara.
"Bentar, teh gue belum abis," tahan Deven.
"Ih, yaudah buruan!"
Dengan terpaksa Charisa menjatuhkan bokongnya kembali di atas kursi papan panjang, menunggu pemuda di depannya itu menghabiskan segelas teh manis yang mereka pesan tadi. Bisa-bisanya teh si kampret ini belum habis padahal pesannya saja sudah satu jam lalu, pikir Charisa.
"Teguk aja napa?! Gak panas juga tehnya," protes Charisa, sebab ini sudah pukul empat lewat sepuluh. Hari semakin sore.
"Santai, kampusnya juga tutup jam tujuh.",
Wanita dengan rambut tergerai itu memutar bola matanya malas. Jemarinya kembali menari-nari di atas layar ponsel, mencari kesibukan supaya tidak terlihat seperti orang dongo yang celingak-celinguk mencari jalan pulang. Walau sejak tadi ia hanya membuka satu aplikasi lalu mengeluarkannya lagi dan terus seperti itu.
Sampai tiba-tiba sinar matahari di ufuk barat yang menerpa wajahnya terhalangi oleh sesuatu, seseorang tepatnya. Dari bayangannya bisa terlihat jika itu adalah seorang perempuan berambut panjang dengan baju tanpa lengan. Charisa dan Deven segera menoleh. Yang membuat mereka terkejut ialah, rupa wanita itu seperti tidak asing.
Wanita itu mengulurkan tangannya di hadapan Charisa, ia tidak mengerti. "Charisa, ya?"
"Iya. Kok, tau?"
Tanpa menjawab pertanyaan sang empu, ia semakin memajukan uluran tangannya dan berkata, "Kenalin, gue Jo Tessaya Setiadinata, anak baru Ilkom."
— BENERAN TAMAT —
WOWOWOWOW MAKASIH YANG UDAH BACA EXTRA PART RANDOM INI
o ya, insya Allah aku bakal ada project baru di tanggal 2.2.22
Salam hangat
Kabutsenja_
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend or Love?
Teen FictionKetika ego tak bisa dikendalikan Persahabatan yang telah dijalin lama, harus menjadi korban. Belum lagi, saat salah satu darinya mengenal cinta. "Serapuh itukah bersahabat dengan lawan jenis?" Tentu tidak. Namun kedua remaja ini tak bisa mengendali...