Epilog

141 8 3
                                        

Perihal perasaan yang diharap akan selalu berbalik. Meski yang berbalik tak selalu yang baik.
~~~

Terlihat balon yang berbentuk angka dua puluh satu menempel di dinding rumah, serta meja yang di atasnya terdapat sebuah kue ulang tahun yang sudah meleleh juga buntung sebelah. Sementara sang empu yang berulang tahun justru tengah merenung, menunggu seseorang yang ia harapkan akan datang ke perayaan ulang tahunnya yang sangat sederhana tahun ini.

Semua orang sudah pulang, tidak ada siapapun di sini dan hari sudah menunjukkan pukul empat sore, artinya sudah menjelang senja tiba. Dan bahkan setelah tak ada siapapun di sini, orang itu masih belum datang. Tetapi tiba-tiba seseorang membuka pintu rumahnya dan menghampiri dirinya yang tengah duduk sendiri di ruang tamu sambil menundukkan kepala.

"Mau jalan-jalan?" katanya sebelum akhirnya Charisa kembali bersemangat dan menaiki motor pria itu untuk berjalan-jalan keliling kota, seperti apa yang dikatakannya.

"Lo kenapa baru datang sih? Kenapa gak dari pagi pas masih rame?" protes Charisa walaupun keinginannya tadi sudah terpenuhi sekarang. Rambut yang sudah ditata rapi-rapi tadi sudah acak-acakan tertiup angin dan tertutup helm. Mereka tengah berada di jalan dengan Deven yang membawa motornya itu dengan kecepatan di atas rata-rata. 

"Justru sengaja, biar gue bisa ngajak lo jalan-jalan gini!" teriak Deven berusaha mengalahkan deru angin.

Mereka akhirnya sampai di tempat tujuan, adalah sebuah bukit yang sangat cocok menjadi tempat untuk menikmati senja berdua. Charisa berjalan mengikuti Deven setelah mereka melepas helm dan meletakkannya di motor. Mereka berdua akhirnya tiba di sebuah tempat yang di mana ada sebuah bangku kecil di sana. Serta terdapat sebuah ukulele berpita merah muda yang sengaja diletakkan oleh Deven di sana.

Deven pun meraih benda tersebut lantas menyerahkannya kepada Charisa. "Ini buat lo, Cha, selamat ulang tahun."

Dari sekian banyaknya ucapan selamat ulang tahun dari semua orang terdekatnya, entah mengapa hanya ucapan dari pria itu yang bisa membuat hati Charisa menghangat. Ada rasa senang dalam dirinya dan ia tak tahu bagaimana cara mengendalikannya.

"Gilak, baru tau gue seorang Deven bisa se-sweet ini. Makasih, ya. Gue suka banget," balas Charisa seraya menerima ukulele berwarna cokelat tersebut.

Namun secara tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh pria pemberi ukulele tersebut, ia mendekap tubuh wanita bergaun hijau toska itu dengan sangat erat. Entah angin dari mana yang membuat Deven secara spontan memeluk Charisa dan mengusap rambutnya dengan perlahan. "Ven, lo—"

"Biarin gue meluk lo sebentar aja, please." Tidak itu bukan perintah, lebih terdengar seperti permohonan. Tetapi jarang sekali Charisa mendengar Deven berbicara sehalus dan selembut ini, apakah ini yang dirasakan mafia itu selama dua tahun sampai-sampai bisa jatuh cinta padanya? Yah, wajar saja jika perlakuannya setiap hari begini.

Tanpa perlu disuruh, Charisa mengulurkan tangannya lantas melingkarkannya ke perut Deven. Empat belas tahun saling mengenal, berteman, bahkan bersahabat baik dengan pria ini, baru pertama kalinya ia dapat merasakan pelukan tulus dari seorang Deven. Ditambah elusan lembut itu membuat dirinya semakin nyaman.

"Gue sayang sama lo." Satu kalimat itu berhasil lolos dari mulut Deven, entah sekeras apapun dirinya menahan.

Dapat Charisa dengar lirihan tersebut, ia sedikit terkejut tetapi memang sudah terlihat dari awal jika Deven tiba-tiba memeluknya. "Sama, Ven." Jawaban itu dapat ia dengar dari Charisa. Ia bisa merasakan peluang yang terbuka lebar untuknya menerima cinta yang akan diungkapkan oleh pria berjaket biru dongker  tersebut.

Deven melepaskan pelukannya, tatapan mereka mulai beradu dan Deven menatap Charisa lamat-lamat. Wanita itu tetap terlihat sangat cantik di matanya meski dengan rambut yang sudah tak beraturan. Tangannya meraih satu tangan Charisa, seolah-olah dirinya sudah tau apa yang akan dijawab oleh wanita itu setelah ini.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang