45. Membasuh

55 7 1
                                        

Selama ini ku menanti
Yang ku berikan datang kembali

Aku telah sadar hidup itu bukan
Tentang mengambil yang telah ditebar
Sedikit air yang kupunya
milikmu juga bersama

Bisakah kita tetap memberi
walau tak suci?
Bisakah tetap mengobati
walau membiru?

Cukup besar untuk ampuni tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau pedih
Bisa, 'kan kita tetap membasuh?

Lantunan nada indah dengan pita suara yang merdu menghiasi seisi ruangan yang kini hening. Meski begitu, ada lima orang yang duduk di depannya masih setia mendengarkan nyanyian dari wanita itu yang diiringi petikan dawai gitar. Sore hari di kota kelahiran, ditambah mendengarkan nyanyian merdu dari sang vokalis band Jingga yang satu bulan lalu mau berbicara pun susah. Bukan, bukan di Bali lagi mereka memijakkan kaki, kini sudah kembali ke kota kelahiran.

Satu hari setelah hari di mana Charisa menunjukkan lagu ciptaannya pada Deven, Nashwa kembali bersama kedua orang tuanya guna menjemput dua sekawan dari Bali. Nashwa sampai tekor karena harus membeli tiga tiket pesawat untuk perjalanan pulang pergi, ditambah dua tiket pulang untuk Charisa dan Deven. Baiklah, demi Nima dan Yusak yang terus mendesaknya supaya bisa ikut menjemput anak bungsu mereka.

Namun sepertinya karena isi lagu ini adalah curahan hatinya, dan pelajaran yang ia dapatkan dari semua konflik yang ada. Enam menit mereka lalui untuk Charisa menyelesaikan lagu tersebut. Kabar baiknya, suara Charisa sudah semakin membaik karena setelah pulang dari Bali ia segera istirahat total supaya bisa tetap bernyanyi dengan band-nya.

"Ini bilas dari mananya, Cha? Udah jelas-jelas Membasuh aja judulnya!" protes William tatkala mengingat kembali wanita itu menyebutkan judul dari lagunya.

"Oh iya, lo butuh saran dari kita, 'kan? Sini, gue mau revisi sedikit," tawar Natalie mengambil sketch book yang ada di tangan Charisa tanpa perlu menunggu respons. Wanita itu menggerakkan penanya di atas kertas berwarna putih kekuningan itu seraya bergumam, "Lo bikin verse-nya kedikitan, cuma dua baris."

Setelah tiga menit Natalie memolesi isi buku yang dialih gunakan untuk menulis, dirinya membalikan buku itu guna memperlihatkan hasil karyanya pada keempat orang tersebut sambil memperlihatkan deretan gigi rapinya. Niat hati ingin meminta persetujuan, apakah revisinya baik atau malah membuat isi lagu semakin buruk? Beruntungnya, Natalie dibekali wawasan diksi yang luas, sehingga ia bisa mengubah kata sederhana menjadi lebih bermakna.

Rafael menganalisis hasil karya gadisnya itu dengan mata yang menyipit. "Wedehh anak indie sejati emang beda, diksinya dapet, Nat! Tapi ... gue rasa masih ada yang kurang. Terlalu banyak pemborosan kata sama rima yang enggak nyambung," puji Rafael lantas merebut buku itu dari Natalie lantas menulis ulang lirik lagu tersebut di halaman selanjutnya, dengan menambahkan usulannya yang tadi. Dan, tada, lirik tersebut sudah terlihat sempurna.

"So? Udah fix kayak gini?"

"Hmm ... lirik sih udah oke. Tapi di nadanya gue kurang sreg nih." Kenzo yang notabene-nya bukan bagian dari mereka. Ralat, hanya manajer mereka.

"Bener. Cha, menurut gue nadanya jangan terlalu kayak lagu pop pada umumnya, ini liriknya dalem banget dan cocok buat ngadem. Jadi sebaiknya rendah aja, tapi nyesuain sama nada yang lo buat tadi. Mana sini anunya." William juga kini ikut bersuara, ikut memberikan usulan supaya lagi yang dibuat oleh Charisa segera rampung. Anu yang ia maksud adalah gitar yang berada di pangkuan Charisa.

William yang notabene-nya adalah mantan gitaris di band Jingga, ralat, band NAVVRELL yang dulu. Dipetiknya dawai-dawai itu dengan piawai, pria yang hobinya ngebug itu nyatanya bisa memodifikasi iringan musik tersebut supaya lebih dapat rasanya.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang