Dia tidak perlu dinasihati supaya menyesal. Dia hanya perlu merasa kehilangan. Biarlah semesta bekerja hingga semua kisah bahagia itu tinggal sebuah kenangan.
~~~S
eorang pria dengan busana normal seperti orang-orang kebanyakan tengah berjalan dengan santai di sekeliling Pantai Mertasari. Niatnya ingin menonton penampilan band favoritnya, tetapi sepertinya masih terlalu dini hari untuk datang ke tempat ini. Tentu, arlojinya menunjukkan pukul dua malam. Semua orang bahkan pengurus acaranya sekali pun masih tertidur di atas kasur, menikmati mimpi indahnya.
Sebenarnya niat awal tersebut sudah berubah sejak kedatangan sang adik ke tempatnya, memberi tahu satu informasi yang rupanya teramat penting yang ia tinggalkan. Baiklah, ini saatnya melancarkan aksi.
Ia membawa sebuah jerigen berisi benda cair. Namun bukan sembarang benda cair, itu adalah minyak tanah. Rendra, pria itu menumpahkan dan menyiramkan minyak tanah di sekitar panggung yang akan menjadi pusat keramaian di acara nanti. Sebenarnya ia sendiri tidak tega melakukan hal ini, tetapi keadaan memaksanya menjadi seorang penjahat.
Kalau saja tulisan ini divisualisasikan menjadi sebuah film, pasti kalian sudah tau dan sudah tidak asing dengan wajah seorang Rendra yang katanya sepupu dari Anneth ini. Namun sayang sekali ini hanya kumpulan kata-kata yang bisa memberi gambaran, bukan gambar betulan.
Rendra membuka topinya dan melemparkan ke sembarang arah. Ia menghela napas gusar, sambil memejamkan mata. Rendra sendiri bahkan tidak tahu apa niatnya dari awal, apakah itu yang jahat—seperti saat ini? Atau yang baik? Tunggu, sepertinya belum pernah ada perilaku baik yang ia lakukan. Bahkan Rendra hampir melecehkan seseorang.
"Maaf, Cha, gue sendiri gak tau gue maunya apa."
***
Asap rokok yang berbahaya bagi paru-paru itu disemburkan dari mulut seorang pria paruh baya yang tengah mengawasi bagian suara. Ia masih santai menyesap benda tersebut dari panjang sampai pendek. Sambil menyaksikan penampilan band Jingga dari belakang panggung walau hanya terlihat kakinya saja. Edi sampai tidak sadar telah menjatuhkan puntung rokok itu di sembarang tempat, abu-abu yang seharusnya di buang ke asbak juga sekarang malah berceceran di bawah bersama kabel-kabel yang saling bertemu.
Namun bukan itu yang membuatnya janggal. Secara tiba-tiba percikan api itu berubah menjadi api kecil, merambat sampai ke area depan. Entah apa yang membuat api itu bisa merambat di tanah beton. Seperti sudah direncanakan oleh seseorang. Ya, kenyataannya memang begitu.
Edi sendiri belum menyadari adanya api yang bahkan sudah semakin membesar, merambat ke area depan panggung. Ia masih santai memejamkan mata sambil menikmati lagu dari Nike Ardilla di ponselnya.
Penonton yang mengambil posisi paling depan sudah bisa merasakan sesuatu yang janggal, seperti ada baru asap kebakaran tetapi tak tau sumbernya dari mana. Seorang gadis remaja berbisik pada kekasihnya, "Eh liat deh, judul lagunya Musim Hujan tapi kok ada atraksi api-apinya segala?" Bisa-bisanya gadis itu masih berpikir positif.
Pria menoleh ke arah api yang merambat yang dimaksud kekasihnya tersebut, berbagai macam pikiran negatif mulai menghunjam di kepalanya. Atraksi? Bukannya band Jingga itu band bergenre pop-indie? Mengapa bisa ada atraksi yang berbahaya seperti ini? Pria itu berlirih, "Itu bukan atraksi …."
Dan sampai akhirnya salah seorang pria berteriak, "API! API! KEBAKARAN! KEBAKARAN!"
Mendengar teriakan berenergi itu, sontak seluruh penonton yang tengah bernyanyi bersama dengan Charisa yang menyodorkan mic-nya mulai panik. Mencari keberadaan percikan api tersebut, memastikan jika pria itu bukan orang iseng. Dan benar saja, api itu merambat ke atas panggung, membuat William menjauh dari keyboard-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend or Love?
Teen FictionKetika ego tak bisa dikendalikan Persahabatan yang telah dijalin lama, harus menjadi korban. Belum lagi, saat salah satu darinya mengenal cinta. "Serapuh itukah bersahabat dengan lawan jenis?" Tentu tidak. Namun kedua remaja ini tak bisa mengendali...