32. Jingga

92 10 2
                                    

"Kenapa Jingga? Karena kita bukan ungu, kuning, apalagi biru."
~~~

"Lo-lo suka sama gue?"

Deven menghela napasnya perlahan kemudian kembali mendongakkan kepalanya. "Iya, Cha! Dulu, tapi kalimat menyakitkan itu terlanjur keluar dari mulut lo yang bikin harapan gue pupus seketika!" ungkap Deven, berbicara dengan penuh tekanan serta emosi yang berusaha ditahan. Raut wajah Charisa kini terlihat benar-benar terkejut dengan apa yang Deven katakan.

"Kenapa, Cha? Karena penampilan gue terlalu cupu? Atau karena gantungan kunci ini terlalu murah buat lo sampe lo kembalian lag-"

"Enggak, Ven!" raung Charisa memotong perkataan Deven dengan cepat, ia meremas rambutnya frustasi lalu kembali menatap Deven lamat-lamat. Ia melangkah maju ke arah Deven lalu meletakan ujung jari telunjuknya pada dada Deven. "Lo terlalu sempurna buat gue."

"Basi!" timpal Deven. Tentu saja, alasan seperti itu sudah terlalu banyak digunakan wanita untuk menolah seorang pria. Tapi jika kalimat itu dilontarkan pada Deven, tentunya berbeda karena memang seperti itu kenyataannya. Keadaan keuangan, serta ketampanan yang Deven miliki sudah bisa dikatakan sebagai laki-laki sempurna.

"Lo sendiri? Lo sendiri gak mikirin apa yang akan terjadi kalo kita beneran jadian saat itu juga? Gue bakalan di-bully abis-abisan sama satu angkatan cuma gara-gara status sosial gue yang jauh berbeda dari lo! Sekolah kita dulu keras, Ven. Ada rumor dikit, si kakel sok berkuasa pasti langsung mengambil tindakan!" jelas Charisa. Kalimat panjang dengan penuh tekanan itu sontak lolos dari mulut Charisa, semua keresahan yang ia alami selama di SMP akhirnya bisa tercurahkan lewat perdebatan seperti ini. Sejujurnya jika ia mau, Charisa bisa mengatakannya secara langsung pada Deven kala itu. Tapi ia sudah bisa menebak apa jawaban dari Deven nanti.

Deven hanya terdiam, tidak merespon omongan Charisa. Namun dirinya masih berusaha mencerna semua kata yang keluar dari mulut Charisa saat itu juga.

"Kita sama-sama menyimpan sesuatu yang selalu dipendam sendiri tanpa bisa mengutarakannya pada orang lain, Ven. Gue salut sama lo yang bisa menyimpan rasa sakit itu bahkan memendam perasaan lo selama bertahun-tahun, tapi lo juga harus ngasih apresiasi sama gue yang masih bisa kuat dan bertahan saat melihat kebahagiaan orang yang dicintainya bersama orang lain dan orang itu tentunya bukan dirinya, bukan diri gue. Gue bahkan masih bisa tahan saat denger lo yang dengan santainya bilang kalo lo mau tunangan sama dia saat lo sendiri bahkan udah tau perasaan gue sama lo gimana. Enggak salah sih, karena emang sebaiknya gue sakit di awal daripada nanti gak ada angin gak ada ujan lo tiba-tiba ngasih undangan ke kawinan lo, 'kan? Who knows?" papar Charisa dengan nada bicaranya sedikit santai dan mengurangi penekanan di setiap kalimatnya.

"Dev." Mendengar panggilan itu, Deven yang tadinya sedikit menundukkan kepalanya, langsung mendongak menatap ke arah Charisa. "Itu, 'kan panggilan yang pacar lo kasih ke elo?" sambung Charisa.

"Lo ngeledek?"

"Enggak ada yang ngeledek, Ven, memangnya itu terlihat memalukan bagi lo?" timpal Charisa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa tidak terima disebut meledek pacar sahabatnya sendiri.

"Oh ya, tentang rundungan dari kakak kelas sok berkuasa itu, mungkin emang lo-nya aja ya yang gak ditandirin sama gue. Iya, karena setelah dua belas tahun lamanya gue kenal sama lo, Tuhan malah mempertemukan gue dengan seseorang yang baru dan seseorang itu adalah orang yang akan menjadi pendamping gue suatu hari nanti. Waktu kita mungkin lebih lama, tapi takdir berkata lain. Bukan lo, atau siapapun." Mata Charisa langsung membelalak saat mendengar ucapan itu. Bahunya mulai naik turun, ia seperti mendengar cibiran tersirat dari seorang Deven. Ya, meledek dengan gaya.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang