39. Balon

57 8 2
                                    

Kalau dahulu senda gurau dan gelak tawa selalu menghiasi, dilengkapi balon pesan yang jedanya satu detik. Sekarang, kontak jadi sebatas nama. Balon pesan sudah tak terlihat selama empat semester. Meski telah dihapus, tatkala waktu berubah, semuanya akan berubah menjadi arsipan sejarah yang kelak dibuka kembali sebagai bahan candaan di kala bercerita.

Entah kapan waktu tiba. Terjadi atau tidaknya, biarlah jadi urusan semesta.
~~~

"Kamu ngeliatin apa sih, Dev?" Sadar akan seruan dari kekasihnya, Deven segera mengalihkan perhatian, dan tepat saat itu juga poster tersebut melayang menjauh dari Deven.

"Hah? Oh enggak. Ya Udah, yuk beli cincin."

"Hah, dibolehin nih?"

"Cepat, Neth, sebelum aku berubah pikiran."

"Aaaa makasih," seru Anneth yang kemudian mengecup pipi Deven secara tiba-tiba, membuat wajah Deven secara spontan berubah menjadi merah padam. Tersipu sekaligus terkejut karena serangan mendadak dari lawan.

"HIIH DIEM! KAGET TAU," pekik Deven yang kemudian berjalan mendahului Anneth, berusaha menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya. Masa cowok duluan yang dibuat nge-blush sama cewek? Gak banget, pikir Deven.

Gelak tawa terdengar dari Anneth, gemas melihat tingkah Deven yang masih sama meski sudah dua tahun lalu bertunangan. "Yaelah lebay, Dev!" Ia pun berlari-lari kecil, berusaha menyamakan langkahnya dengan Deven. Walau pada akhirnya Deven yang sampai lebih dulu di sana, mempercepat langkahnya. "Ini yang mau beli cincin aku apa kamu? Buru-buru amat."

"Ya kamu sih, tapi, kan duitnya pake duit aku," balas Deven secara spontan.

"Heh, ngeledek, ya!" timpal Anneth diiringi kekehan kecil.

"Lah emang bener, kok, kan seterusnya juga bakal seperti itu," lanjut Deven. Namun kalimatnya terdengar ambigu bagi Anneth, membuat gadis itu nge-blank beberapa saat guna menerka arti dari ucapan Deven.

Dan ketika menyadarinya, pipi Anneth mendadak merah merona seperti apa yang terjadi pada Deven tadi, ia segera memukul lengan Deven sekuat tenaga. "Apaan sih!" ujarnya salah tingkah. Maksud dari perkataan pria itu tadi ialah, Deven akan seterusnya mengeluarkan uang demi keinginan Anneth dalam hal apapun sebab itu adalah kewajiban seorang suami untuk istri dan anaknya.

"Aduh sakit, Neth! Kamu itu, kan udah sabuk hitam! Sekali pukul udah kayak dipukul palu Thor," ringis Deven memekik kesakitan di area lengan yang ditonjok oleh Anneth.

Mau membuat salah tingkah pun harus berpikir dulu, gombalannya bagai teka-teki yang jawabannya tidak bisa dipertanyakan pada si pembuat soal.

Anneth pun langsung berjalan ke arah cincin yang sedari tadi mencuri perhatiannya karena pantulan cahaya dari perhiasan itu. Menatap benda bulat dengan berlian di atasnya itu dengan netra yang berbinar, membayangkan betapa cantiknya saat benda itu melingkar di jari manisnya nanti. "Mbak, mau cincin yang itu," ujar Anneth pada wanita penjaga toko perhiasan.

Toko perhiasan ini dari luar memang terlihat biasa saja, bahkan terbilang sangat tertutup, hanya dibatasi oleh kaca transparan. Namun, setelah masuk rasanya mendadak sakit mata tatkala melihat pantulan cahaya dari berlian yang menyilaukan. Dan pada saat itu pula betapa beruntungnya pandangan Anneth bisa menangkap satu cincin paling istimewa berbentuk seperti tiara dengan berlian di atasnya.

Penjaga toko itu pun mengambil cincin yang dimaksud Anneth, ia mempersilakan wanita itu untuk mencobanya. Dipasangkanlah benda bulat tersebut di jari manisnya, sang empu bahkan tak jemu memandangi jemari tangannya sendiri dari depan maupun belakang. Senyum merekah terbit di wajahnya, kapan lagi dibelikan cincin secantik ini oleh orang tercinta.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang