22. Keputusan

92 15 3
                                    

Ada kalanya kau akan membenci sesuatu yang sangat kau cintai, dan mencintai sesuatu yang kau benci. Hidup ini memang unik.
~~~

"Gimana kondisi lo sekarang?"

"Hmm ... udah rada mendingan," jawab orang yang ada di sebrang sana, sambil tersenyum simpul dan menatap ke arah Deven melalui layar ponselnya.

"Dev, lo beneran berantem sama Ucha?" tanya Anneth dengan wajah yang sangat cemas, ya walaupun hanya dibuat-buat.

Deven hanya terdiam, raut wajahnya berubah menjadi datar. Anneth mendengar helaan napas Deven. "Ya ... gitu deh, udah ah gak usah ngomongin dia. Gak mood bawaannya," sanggah Deven. Masalahnya memang belum terselesaikan sepenuhnya, tetapi ia juga malah jika terus menerus membicarakan tentang gadis itu. Terlebih lagi bersama orang yang dia sukai.

Ya, sejak Anneth mengajak Deven ke festival hari itu, Deven mulai menyukai Anneth. Tapi baru suka, belum cinta. Jangan salah, keduanya memiliki makna yang berbeda. Karena nyatanya, Deven pun belum mengetahui kepribadian asli maupun latar belakang keluarga Anneth.

"Ya maaf, kan gue cuma nanya," jawab Anneth.

"HAH?" pekik Deven yang sontak juga membuat Anneth yang berada di sebrang sana juga terkejut.

"Ada apaan sih?" Anneth mulai risih dengan pekikkan Deven karena melihat sesuatu yang mungkin membuatnya terkejut. Ia juga penasaran mengapa laki-laki itu bisa sampai memekik seperti itu, terlebih lagi wajahnya yang kini terlihat sangat pucat.

"Charisa ...." Deven menggantungkan perkataannya dan masih mematung di tempatnya. "Charisa keluar dari karate," ungkap Deven. Mata Anneth terlihat dipaksa untuk membulat dan ia sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Deven. Mustahil sekali orang seperti Charisa bisa dengan mudah melepaskan sesuatu.

"Charisa? kayak kenal."

Deg!

Anneth menolehkan kepalanya ke arah laki-laki yang sedang meneguk minumannya, dan sepertinya sedari tadi dirinya mendengarkan percakapan Anneth dengan Deven. Anneth memberikan pelototan mata padanya karena sudah berbicara terlalu keras, tapi sudah terlambat karena Deven terlanjur mendengarnya.

"Itu siapa, Neth?" tanya Deven. Anneth langsung menoleh lagi ke arah layar ponselnya dengan raut wajah yang tidak bisa dikendalikan.

"Hah? a-ah, i-itu Abang gue," jawab Anneth seadanya. Pernyataan yang sangat aneh di telinga Deven itu membuat salah satu alisnya terangkat ke atas. Padahal baru saja kemarin Anneth mengatakan jika ia tinggal sendiri di rumahnya.

"Abang? Bukannya lo anak tunggal?" Timpalan dari Deven kini semakin membuat Anneth mati kutu dibuatnya. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya, juga berusaha mencari alasan yang pas.

"M-maksud gue, A-abang sepupu," ralat Anneth dengan segera. Ia mengepalkan tangannya sambil menatap laki-laki yang berdiri di sampingnya itu dengan ujung mata.

Namun laki-laki itu malah semakin menjadi-jadi, ia malah sengaja mendekati Anneth dan menarik napas banyak-banyak untuk meneriaki sesuatu. Belum sempat dirinya berbicara, Anneth sudah membungkam mulutnya dengan telapak tangannya. Anneth memberi pelototan untuk kedua kalinya karena pria itu lagi-lagi mengganggunya di saat-saat seperti ini.

Anneth menekan tombol mute pada ponselnya, lalu berkata, "Diem lu Rendrasu, gue lagi jalanin misi dari Papa!" Namun nyatanya jarinya meleset, saat ia kira ia telah menekan tombol mute, yang sebenarnya ditekan Anneth adalah tombol off cam.

Friend or Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang