34. Just Go

543 89 14
                                        

Jangan lupa vote dan komen!

Divote ya sayangku, sedih bgt yang baca banyak tapi yang vote 10 aja ga nyampe. Capek, sedih, kecewa, malas. Dikomen juga kalau bisa.

Jika bisa begini—-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika bisa begini—-

Juga bisa begitu😶


Enjoy

.

.

Trisha yakin ia sudah memasukkan satu sampai dua sendok gula ke dalam segelas susu yang kini terletak nyaman di atas nakasnya. Trisha juga sudah memerika kotak susunya dan meyakinkan diri kalau susu yang dibelinya di supermarket tempo lalu adalah susu yang menggunakan glukosa. Trisha juga sudah yakin kalau potongan apel yang kini berdampingan dengan gelas susunya adalah apel berkualitas baik. Tapi kenapa semuanya terasa begitu hambar?

Dua ketukan pelan dari pintu kamarnya membuat Trisha menoleh dari bukunya. Menaikkan sebelah alis saat pintunya terbuka dan memunculkan wajah Jimin di sela pintu. Rambut pria itu terlihat berantakan, mata serta birainya masih sembab, sementara pipi bagian kanannya mencetak sebuah motif yang Trisha yakini jejak lipatan kain bantal. Melirik sejenak pada jam yang tergantung di dinding kamarnya, Trisha berdecak maklum saat Jimin masih terlihat sangat mengantuk. Pukul setengah sembilan pagi, dan Jimin perlu diberi sertifikat berakreditasi A sebab sudah mau bangun pagi.

"Aku membuat sarapan," lapor Jimin setelah samar menangkap Trisha tengah menaikkan alisnya. Suaranya serak, nyaris hilang.

Trisha menatapi tubuh Jimin yang muncul setengah pada sela pintu. Berbalut kaus berlengan panjang bermotif garis besar hitam dan putih, lalu celana training yang terlihat kusut. Tidak, Trisha tidak terpana. Tidak bisa didustai, tapi Trisha masih terlalu terbiasa untuk menemui penampilan Jimin yang seperti ini.

Trisa membuang napas pelan. Kembali menunduk menatap bukunya sembari menggerakkan tubuh agar berada di posisi nyaman. "Aku tidak lapar," balasnya tenang terkesan cuek.

Untuk beberapa saat Jimin tidak merespon. Ia menatap Trisha lalu ikut membuang napas. Membuka pintu kamar Trisha lebar, lalu secara sempurna membiarkan dirinya memasuki kamar Trisha. Bersedekap, kakinya bergeser ke samping selangkah, sementara punggungnya bergerak pelan agar bersandar pada dinding. Tidak mengucapkan sepatah kata untuk beberapa detik sebelum akhirnya Trisha berdecak keras karena risih ditatapi Jimin begitu dalam.

"Aku tidak lapar, Jimin. Dan kau silahkan keluar dari kamarku!" Trisha menekankan setiap katanya. Menatap Jimin nyalang dengan birai mengerucut kesal.

Melihat itu, kekehan Jimin mengalun. Gemas. Menggelengkan kepala, Jimin mengangkat punggungnya. "Ayolah, kau tidak makan sedari semalam," bujuknya. Matanya melirik pada potongan apel dan segelas susu di atas nakas. "Bahkan sarapan yang kau siapkan sendiri tampak tak tersentuh sedikitpun."

PALETTE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang