Jangan lupa vote, komen, dan share!
Enjoy.
.
.
Menghitung detik jam seperti orang bodoh dan menghiraukan percakapan yang lebih menarik di layar televisi. Mata sembab, hidung memerah, dan birai membengkak. Jejak air mata turut setia membelai bagian pelipis dan juga sisi lekukan hidung. Tubuh sesekali masih tersentak karena isakan yang belum mereda sepenuhnya. Jemari turut meremas kuat selimut tipis yang disediakan rumah sakit hingga bagian ujungnya memutih sebab sirkulasi darah yang terhalang.
Pemandangan itu pemandangan yang Min Yoongi lihat lebih dari dua hari kesepanjangan. Setiap ingin memfokuskan diri pada layar laptop untuk merevisi beberapa instrumen musik, pasti akan langsung buyar saat isakan yang kesekian kalinya kembali menguar. Tidak ada niat menenangkan karena memang tidak mau dan tidak tahu caranya. Hanya menghela napas sembari menatap tenang dan dengan berat hati menunggu.
Kenapa tidak pulang saja, tanya salah satu temannya melalui telepon beberapa jam yang lalu. Agaknya Yoongi juga mau mengambil keputusan yang sama, tetapi tidak bisa. Tubuhnya bergerak bangkit dengan niat ingin ke toilet melepas hajat saja langsung diserang tatapan memohon yang super memelas. Bagaimana ingin pulang?
Pernah sekali mencoba disaat pribadi itu tidur. Entah Yoongi yang terlalu berisik walau Yoongi sendiri berani bersumpah ia tidak mengeluarkan suara mengganggu sama sekali atau memang sang pribadi yang memiliki indra yang luar biasa sensitive. Langsung menggumam dengan mata yang berusaha terbuka dan langsung menyosong Yoongi dengan pertanyaan ingin kemana dengan suara yang mencicit iba. Terkunci dan terkekang, begitu kondisi Yoongi saat ini.
"Cengeng," decak Yoongi akhirnya. Kesal juga lama-lama mendengar harmoni yang luar biasa monoton dan memekakkan telinga walau hanya sekedar isakan. Bukannya menyayat hati Yoongi malah mendapati dirinya jengkel.
Kenapa tidak pulang saja, pertanyaan temannya itu selalu menguasai otaknya dan Yoongi masih berada dijawaban yang sama. Tidak bisa dan tidak mau.
Berbalut setelan khas pasien rumah sakit berwarna merah muda, rambut dicatol tinggi dengan beberapa anak rambut yang sedikit lembab karena air mata. "Biar saja," sanggah Trisha. Melempar tatapan tajam kepada Yoongi.
Yoongi melengos. Kembali melanjutkan pekerjaannya dan berusaha memekakkan telinga dari isakan yang lagi-lagi hampir mereda. Labil. Tapi, Yoongi berani bertaruh telinganya akan kembali mendengar suara yang sama lima menit dari sekarang dan Yoongi harus benar-benar memanfaatkan lima menit yang diberikan. Seperti mempertaruhkan hidup dan mati seperti tempo tahun lalu, menggunakan uang untuk makan dan pulang berjalan kaki dengan jarak yang luar biasa jauh atau menahan lapar yang melilit dan pulang ke rumah tanpa menumpuk rasa lelah. Berbeda sejujurnya tapi Yoongi bersikukuh untuk menyamakan.
Bisa dibilang Trisha termasuk gadis kuat. Hanya Trisha yang mengakui, tidak dengan pria tanggung yang berada di samping jendela dan berkutat dengan alat-alat elektroniknya. Tidak ada yang bisa Trisha lakukan selain meratapi kakinya yang kini diperban dan disangga kayu atau apalah namanya itu. Patah. Tidak bisa menari. Gila. Trisha nyaris gila setelah mendengar kenyataan itu dari birai tipis Yoongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALETTE✔
FanficFOLLOW DULU SEBELUM BACA "Aku tidak senang berbagi, Trisha." "Kau senang, Yoon? Oh tentu! Kau, kan, tidak punya hati! Bajingan sepertimu memang suka melihat orang menderita." Menghindar dari Park Jimin dan terjebak di dalam kukungan Min Yoongi. Mung...