44. 3rd Mission

542 82 4
                                    

Jangan lupa vote dan komen yang banyak!

Enjoy

.

.

Suara ketikan keyboard mengalun ria di lingkup sebuah ruangan gelap. Berikut diikuti oleh desiran peraduan antara ujung pena dengan dataran kertas dan kembali berlanjut ke ketikan keyboard yang acak dan cepat. Begitu monoton.

Hening. Sunyi. Gelap. Misterius.

Dalam hitungan detik seluruh suara monoton tadi berganti dengan dering panggilan masuk. Suara kecil tanda panggilan diterima berikut dengan suara grasak-grusuk yang mulai mendominasi.

Lantas kembali hening.

Detik berikutnya suara kertas mulai mengambil alih diikuti oleh dehaman tipis.

"Stand by."

"Lacak terus posisinya jangan sampai kehilangan. Perintah akan datang kapan saja."

Lalu panggilan dimatikan secara sepihak.

--

Jia merapikan letak tasnya sejenak sebelum melangkah turun dari mobil. Menghirup napas cukup panjang dan dalam sebelum membawa kakinya melangkah memasuki perkarangan rumah Yoongi.

Hari ini Jia memutuskan untuk menemui Yoongi di rumah pria itu. Ia sudah mendengar drama apa yang terjadi sehari yang lalu di rumah Yoongi. Barangkali mau bersikap angkuh dan jumawa sekalipun, Jia tetaplah wanita yang haus mengenai dunia pergosippan. Di sinilah ia sekarang, menolak panggilan Yoongi yang ingin menceritakan lewat telepon dan memilih untuk mendengar secara langsung dari birai Yoongi.

Langsung membuka pintu rumah Yoongi dengan kunci serap yang ia miliki, Jia tanpa sepatah kata langsung berjalan menuju ruang tengah yang kini terlihat cukup berantakan dengan Yoongi yang tengah membaca buku di kursi bar. Ditemani oleh sebuah gelas kecil berikut dengan sebotol soju, Yoongi sedikit mengangkat kepalanya saat menyadari kehadiran Jia di dalam rumahnya.

Seperti biasa, agaknya basa-basi benar-benar dihapuskan di dalam kamus sepasang tunangan itu. Tidak ada sepatah kata selagi Jia meletakkan tasnya di meja yang terletak di ruang tengah Yoongi lalu melenggang menuju mesin pendingin untuk mencari minuman. Setelah menemukan sebotol sari jeruk dan meneguk sejenak, Jia menenteng botol tersebut mendekati Yoongi. Duduk di depan pria itu berbatasi meja bar.

"Jadi, bagaimana ceritanya?" tanya Jia begitu saja. Tidak ada niat basa-basi atau barangkali menanyakan kabar Yoongi setelah tidak lama bertemu.

Menyunggingkan senyum miring sembari menutup buku filosofi yang sedang dibaca, Yoongi meraih gelas sojunya yang berisi setengah. "Wanita memang suka bergosip, ya?" tebaknya begitu saja.

"Memang. Tapi saat ini aku tidak dalam konteks bergosip," bantah Jia setelah ia memutar bola matanya sempurna. "Ini berdiskusi, benar begitu?"

Yoongi mendengus lantas meneguk sojunya dalam sekali tegukan. Berikutnya ia menuangkan lagi soju pada gelasnya yang sudah kosong dan mengangkatnya. "Minum?" tawarnya pada Jia yang kini menaikkan sebelah alis.

Jia menggeleng.

Mengangguk, Yoongi kembali meneguk sojunya dengan tenang diiringi oleh desahan nikmat sebagai akhir.

"Jadi, bagaimana?" desak Jia tidak sabar.

Melirik Jia sejenak, Yoongi berdeham sembari menjauhkan gelas dan botol sojunya. Tidak butuh waktu lama bagi Yoongi untuk menceritakan bagaimana Trisha datang menemuinya, menamparnya, lantas berakhir diseret Jimin jauh dari kata berperikemanusiaan. Mata Yoongi melirik Jia yang kini bernapas berat di depannya. Alisnya nyaris bersatu selagi birai terkatup rapat. Walau di mata Yoongi, Jia ini bagai seorang perempuan yang menolak untuk peduli dengan orang lain selain dikaitkan dengan untung dan rugi—-bisnis, tapi jauh di dalam diri Jia, dirinya begitu mementingkan keadilan dan martabat wanita. Yoongi juga tahu kalau Jia merupakan salah satu pendukung feminisme. Satu dari sedikit wanita yang Yoongi kenal.

PALETTE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang