13. Bottomless Darkness

863 108 5
                                    

Jangan lupa vote dan komen!

Enjoy.

.

.

"Tidak. Musik klasik yang seperti—kau tahu, seperti sedang berada di hutan rimbun lalu diselimuti ketenangan dan kedamaian. Aku ingin yang seperti itu."

Yoongi mengusap wajahnya sekilas. "Pendeskripsianmu menggelikan."

Bola mata Trisha meroda sempurna, ia meletakkan ponselnya di atas piano Yoongi. Membiarkan video latihan seorang anak didiknya dimainkan untuk dilirik Yoongi, dalam maksud lain agar Yoongi paham musik mana yang cocok untuk gerakan anak didiknya itu. Trisha sejujurnya sudah menemukan iringan piano yang tepat, namun entah kenapa tadi malam saat memperagakan gerakan dalam pikirannya sebelum tidur, ada suatu kejanggalan yang ia rasakan. Salah. Lagu itu tidak terlalu menjiwai. Maka dari itu, mengingat waktu yang singkat—sekitar seminggu lagi—tanpa pikir panjang Trisha langsung menemui Yoongi untuk menemukan lagu baru.

"Kau ingin pianis yang mana?" tanya Yoongi setelah tangannya menekan tanda pause pada layar ponsel. Melirik Trisha yang kini sudah duduk nyaman di sofa biru navy yang berada di studio Yoongi—studio di agensi.

"Mozart?" saran Trisha lantas menggeleng cepat. "Tidak. Aku yakin Mozart akan menjadi pilihan semua peserta."

"Franz Schubert?" Yoongi angkat bicara. Ia menyibak selembar halaman buku pianonya. Meneliti setiap chord piano dengan jemari yang bergerak singkat, barangkali membayangkan.

Trisha tampak menimbang-nimbang sejenak. Dia tahu beberapa karya milik Schubert, legendaris dan menenangkan. Terkadang kala mendengarkan Trisha merasa seperti salah satu tokoh Barbie yang senang menari sembari memanjat langit. Tapi bukan feel seperti itu yang Trisha cari untuk saat ini. "Lagu yang mana?"

"Klavierstuck Number 3 in C Major."

Mendengar itu Trisha reflek melengos kesal. "Aku serius, Yoon! Aku meminta yang tenang seperti di hutan. Tenang, sendu, dan damai. Yang kau sarankan itu sedikit terlalu bersemangat. Tidak sesuai."

Yoongi tidak merespons dan kembali membalik setiap lembar buku pianonya. Barangkali mencari lagu yang diinginkan Trisha. Berhenti sejenak, Yoongi kembali memplay video yang sempat ia pause beberapa menit lalu, menajamkan rungu mendengar iringan piano yang sejujurnya menurut Yoongi sudah indah dan cocok dengan gerakan. Profesional haus akan kepuasan, setidaknya Yoongi pernah mendengar kalimat itu—atau memang Yoongi sendiri seorang profesional yang dimaksud. Maka dari itu Yoongi tidak ada niat untuk menggerutu pada Trisha karena ia tahu Trisha profesional di bidang ini dan ketidakpuasaan adalah salah satu bukti akuratnya.

Trisha sendiri sibuk memendarkan pandangannya meneliti studio Yoongi. Walau berada di agensi yang sama dalam beberapa tahun, ini kali pertama Trisha mengunjungi studio Yoongi di agensi. Selama ini dalam urusan pemilihan musik untuk menari Trisha selalu menyerahkan kepada Jimin, dengan arti kata lain Jimin lah yang sering menginjakkan kaki di studio Yoongi, selain itu juga memang studio ini jarang dicecap absensi sebab Yoongi yang memilih bekerja di rumah. Elagan dan tenang, memang khas Yoongi sekali. Dominan hitam dan putih. Untuk wangi studio Yoongi ini, agaknya Trisha tidak perlu memberitahu sebab kalian sudah bisa menebak. Campuran musk dan sitrus—mungkin ada sedikit perpaduan coconut.

"Beethoven."

"Hah?" Mata Trisha yang setia berpendar sontak melihat Yoongi. "Beethoven?"

Yoongi mengangguk. Merapikan letak bukunya yang sempat miring, lalu mulai meregangkan jemarinya sebelum alunan piano mulai memenuhi studio Yoongi. Tubuh Trisha menegang sesaat sebelum berubah menjadi teramat rileks. Menutup kedua matanya dengan sudut birai tertarik, gerakan serta aluran cerita mulai terangkai di kepalanya.

PALETTE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang