12. Penawaran Seduktif

864 116 13
                                    

Jangan lupa vote, komen, dan share!


😭😭😭

Enjoy!

.

.

"Tidak perlu, Hae." Trisha mengambil alih gulungan kasur yang berada di pelukan Haera. Terkekeh kecil saat gadis itu terlihat merengut tidak setuju. Mengendikkan bahu, Trisha mengedipkan sebelah matanya lantas berjalan memasuki ruang latihannya yang justru langsung diikuti Haera dari belakang.

Haera bersedekap tepat pada persegi pintu. Matanya mengikuti pergerakan Trisha yang mengatur letak barangnya pada pojok ruangan. Dua tas besar berisi pakaian, satu tas sandang kecil berisi beberapa alat penting seperti make-up atau apapun dan segulung kasur berwarna biru langit. Disusun sedemikian rupa agar memadat ke sudut ruangan dengan tujuan agar tidak mengganggu tempat menarinya.

Tadi malam, Trisha masih menghuni sofa di ruang tengah Haera. Agaknya kalau Haera memiliki kasur besar yang cukup untuk dua orang, Trisha tidak perlu repot-repot untuk berpindah tempat di ruangan pribadinya di agensi. Sayangnya, kasur Haera tidak lebih untuk dihuni satu orang, apalagi kamar sebelah sudah dihuni oleh dua saudara laki-lakinya. Haera tidak tega, sungguh. Bahkan, hari ini Trisha menolak dibantu untuk berberes, katanya Haera pasti letih setelah mengajar dan berlatih.

"Trisha, tidak masalah, kataku. Kau bisa meminjam uangku dulu jika kau memang tidak mau kuberi. Di gedung depan apartemenku ada apartemen juga yang cukup murah walau sempit. Setidaknya—"

Trisha menepukkan tangannya pertanda pekerjaannya selesai. Berbalik menatap Haera sembari berkacak pinggang. Seulas senyum diciptakan untuk menyambut rantaian katanya, "Hae, aku sudah cukup merepotkan. Aku bisa kok mengurus hidupku. Kau hanya perlu menyediakan dua telinga dan dua tangan saja jika aku benar-benar butuh bantuan. Tidak ada uang atau emas. Hanya dirimu."

"Lagian kenapa sih kau mengulur niat untuk berbicara pada Jimin?" delik Haera jengah. Menyandarkan sisi tubuhnya pada persegi pintu.

Trisha mengambil napas dan menghembuskannya cukup keras. "Entahlah. Barangkali percuma karena dia akan tetap pada apa yang direncanakannya. Kepala batu."

"Tidak ada bedanya denganmu."

Bola mata Trisha meroda sempurna. Tidak menyanggah juga karena memang benar. "Lantas bagaimana? Memang begitu kok. Mau sampai berbusa sekalipun mulutku, dia tidak akan berkata 'iya' kecuali aku mengikuti rencana bodohnya."

Kini giliran Haera yang menghembuskan napas keras. Giliran Haera pula yang tidak bisa menyanggah ucapan Trisha karena sejatinya memang benar. Mau sampai nangis darah sekalipun, berbusa, atau mata melotot sampai keluar, Jimin tidak akan menyetujui. Omong kosong. Padahal saat itu Jimin berkata pada Haera, kalau Trisha yang minta pasti akan diberi. Tapi dasarnya harus melewati beberapa persyaratan bodoh dulu untuk Trisha baru ia bisa mendapati kartu dan kata sandinya. Syaratnya simpel namun memuakkan; tinggal bersama Jimin.

Bingung sekali. Semua orang dalam sekali lihat saja memang sudah tahu kalau Jimin itu pintar. Teramat pintar malahan dengan indeks intelegensi yang lumayan tinggi. Tapi, sayangnya pria itu tidak menggunakan seperti yang seharusnya. Malah menggunakan intelektualnya untuk membuat rencana sempurna yang super picik setengah mati. Mengekang seorang gadis yang hanya hidup sebatang kara. Tidak ada belas kasih dan super egois. Mungkin Haera dengan cuma-cuma ingin memberikan Jimin sebuah penghargaan berakreditasi A keluaran internasional atas kepicikan dan keegoisannya.

"Kau sudah minta tolong Su—ah maksudku Yoongi, bukan?"

Trisha bergeming menatap Haera sejenak. Haera langsung bangkit dari sandarannya dan melirik ke samping sejenak sebelum kembali menatap Trisha dengan kedua alis terangkat. Trisha masih setia membisu membuat Haera tanpa sadar memainkan jemari tangannya. Detik berikutnya kedua bahu Trisha menurun dengan air wajah yang letih. "Sudah." Haera berhasil menghembuskan napas yang tertahan.

PALETTE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang