.38. Tak Lagi Mencintai

5.8K 271 10
                                    

Sudah lama lenyap, yang tersisa di hati hanya luka dan logikA






Sonya tampak menunggu di dekat pintu gerbang sekolah. Dia berniat mengajak Gavin makan siang bersama di luar. Bosan juga makan di rumah terus. Sesekali perlu variasi dalam menikmati hidup. Seseorang mendatanginya dengan senyuman ramah. 

"Siang Bu Sonya, lagi nunggu Gavin ya?"tanya wanita itu.

"Oh iya bu, ibu wali kelasnya waktu masih kelas 2 kan?"

"Iya bu. Kebetulan kita ketemu, tadi dia cerita sama saya soal rumah."ucap perempuan itu. "Apa memang sedang ada masalah?"tanyanya lagi.

Dia terlihat berhati-hati dalam mengucapkan setiap kata. Terlebih, wanita seperti Sonya pasti akan sensitif terhadap segala sesuatu. Terutama masalah keluarga. 

"Dia bilang apa bu? Wah, saya berterima kasih, ibu sudah mau cerita langsung ke saya."

"Dia tanya, kenapa orang tua bisa saling membenci? Saya sih jawab sebisa saya. tapi saya harap, ibu memberikan jawaban untuknya. Dia masih kecil jadi tidak tahu hal seperti yang kita pikirkan."

Sonya menghela nafas sembari memikirkan semua yang terjadi. Gavin masih serapuh itu untuk sadar kalau keluarganya sedang diambang perpisahan. Apalagi, rencana Sonya kali ini tentu sangat berpengaruh pada anak itu. Sonya mengakhiri perbincangannya dengan ibu guru saat Gavin melambaikan tangan dari jauh. Dia terlihat sangat sumringah di depan Sonya. Tapi dibelakang, belum tentu dia merasakan hal yang sama.

"Gak apa-apa kan kalau kita makan berdua?"tanya Sonya saat mobil dalam perjalanan.

"Iya ma, kalau papa ikut mama bisa terluka."ucapnya penuh perhatian. Perkataan yang menusuk sanubari Sonya. Dia ingin menangis mendengar ucapan itu. Ucapan yang seakan menunjukkan kalau Gavin sangat mengerti perasaan Sonya. 

"Tapi mama udah sembuh kan? Tangannya udah gak sakit?"

"Udah sembuh nak. Mama kan kuat."ucap Sonya sambil tertawa. Mereka sampai di tempat tujuan tepat pada waktunya. Memesan beraneka makanan dan menikmatinya berdua. 

"Mama boleh nanya?"tanya Sonya sambil meneguk minuman buah di gelasnya.

"Apa ma?"

"Kalau disuruh memilih, kamu mau tinggal sama mama atau papa?"

"Kata mama, kalian cuma pisah sementara."

"Hmm, dulu sih iya. Tapi sekarang, semua udah berubah nak. Papa udah berubah, mama juga udah berubah."ucapnya dengan perlahan. Dia ingin membuat Gavin mengerti. Dia masih mengharapkan kasih sayang dari Andra. Tapi disisi lain, Sonya sudah tak ingin bertemu pria itu lagi.

"Aku pengen tinggal sama mama dan papa."ucapnya gak mau kalah. 

"Maafkan mama, tapi itu hal yang tidak bisa mama lakukan."

"Apa mama marah karena kejadian kemarin? Nanti aku suruh papa untuk minta maaf sama mama."

"Ada sesuatu yang lebih besar dari itu."balasnya sambil memikirkan kata yang tepat untuk diberikan kepada Gavin. "Misalnya, teman kamu dengan sengaja dorong kamu sampai jatuh ke lantai. Dan dia lakukan itu berulang kali. Bahkan, dia udah minta maaf, tapi dia tetap lakukan lagi. Kamu marah gak?"

"Jelas aku marah. Aku bisa balas dia. Aku juga gak mau berteman sama dia lagi."

"Ya, begitu juga yang dilakukan papa sama mama."

Gavin mengangguk paham. Akhirnya dia bisa mengerti maksud Sonya. Kesalahan yang dilakukan berulang kali akan mengurangi kemungkinan untuk dimaafkan. Manusia memang harus punya sifat pemaaf, tapi segala sesuatu punya batas. Jika sudah melewati batas, tak ada lagi kata maaf.

Masih Ada Jari Yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang