.39. Beberapa Hati

5K 267 15
                                    

Ketika semesta bekerja, tak ada yang tak terlampauI





Bel berbunyi pertanda istirahat. Semua siswa berhamburan keluar. Sedang para guru juga bersiap untuk menikmati makan siang. Sonya keluar dari ruangannya disambut oleh Lala dan beberapa guru lainnya. Mereka bergegas ke kantin. 

Sonya menikmati hidup yang seperti ini. Bercerita banyak hal dengan teman-temannya tanpa membatasi diri. Apalagi ada Lala yang selalu ceria. Bukannya dia tidak punya masalah, dia hanya tidak suka terlihat sedih di depan orang lain. Tipe manusia yang ingin menghangatkan suasana.

"Igor udah makin baik loh sekarang. Dia udah gak nakal kayak dulu."ucap Lala bercerita.

"Igor yang dulu hampir tinggal kelas?"

"Iya. Malah dia bantuin saya pindah rumah. Dia ajak teman-temannya."ucap Lala terkekeh. Enaknya jadi guru adalah dapat perhatian dari siswanya. Apalagi untuk guru-guru yang memang ramah, perhatian dan peduli pada anak didiknya. Mereka akan diingat bahkan saat lulus sekalipun. Beda sama guru yang galak. Mereka cenderung dihindari kalau berpapasan di jalan.

Lala bercerita tanpa jeda. Sonya mendengarkannya sampai makanan di piringnya ludes habis. Berniat hendak pergi, sampai seseorang datang.

"Boleh bicara sebentar bu Sonya?"tanya Giska dengan penuh keraguan. Lala terkesima hingga membuat minuman di mulutnya menyambar keluar. Ini adalah pemandangan tak lazim. Semua guru menjadikan mereka pusat perhatian. Mereka tak pernah bicara langsung di muka umum seperti ini. 

Sonya memutuskan untuk bicara di ruangannya. Ruangan kepala sekolah yang tak akan menjadikannya the center of attention

"Ada apa bu?"tanya Sonya singkat.

"Aku berniat pergi dari sini."ucapnya dengan tegas. Bukan sekedar gurauan, ada keseriusan di wajahnya.

"Lalu?"

"Aku rasa, sebaiknya ibu segera melaporkan tentang apa yang terjadi. Argh, kenapa aku malah ngatur ya?"ucapnya sambil tersenyum kecil. Matanya bengkak seperti habis menangis semalaman. "Aku, sebenarnya,"ucapnya ragu-ragu. Apa yang ingin ia katakan benar-benar sulit. "Aku mau minta maaf. Dan aku tahu, ini bukan hal yang tepat untuk kukatakan."ucapnya terbata-bata.

Sonya langsung berdiri dan melayangkan tamparan keras di pipinya. Dia meluapkan emosinya dengan tarikan nafas panjang. Rasanya kesal mendengar perempuan itu bicara tentang penyesalan. Setelah semua yang sudah terjadi, ini benar-benar gak masuk akal. Giska masih tak menunjukkan ekspresi apapun.

"Aku rasa, itu tak pantas keluar dari mulutmu!"

"Ya, aku tahu."balasnya dengan kepala tertunduk. Persis seperti siswa yang menerima hukuman dari guru.

"Entahlah, permintaan maafmu membuatku merinding. Begitu mudah kata itu kau ucapkan."balas Sonya dengan senyuman pahit di wajahnya. 

"Aku juga malu menemuimu. Tapi kau tahu? Seorang berkata padaku, meminta maaflah ketika kau merasa bersalah."

"Hah? Baru sekarang kau merasa bersalah?"tanya Sonya tegas. Giska hanya diam dan tak membalas. Rasanya dia seperti ditampar dua kali. Pertama secara fisik dan yang kedua langsung ke dalam hatinya. 

Tak ada ekpresi karena Sonya memang tak sanggup untuk memaafkan. Seseorang pernah bilang, mereka bisa memaafkan tapi tak bisa melupakan. Kalau Sonya berbeda. Dia bisa melupakan tapi tak bisa memaafkan. Bagi mereka yang sering menerima pengkhianatan akan mudah mengalah demi sesuatu yang lebih utama. Tapi tidak bagi mereka yang dibayang-bayangi harapan dan ekspektasi yang terlalu tinggi. Itu semua seperti batu besar yang menghantam kepalanya. Sangat menyakitkan.

Masih Ada Jari Yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang