Soonyoung sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia terus berada disamping Jihoon. Gadis itu sempat terbangun beberapa kali dalam keadan histeris penuh ketakutan. Baru kali ini rasanya Soonyoung melihat Jihoon separah ini. Rasa bersalah benar-benar menghantui Soonyoung. Semuanya memang telah ia urus. Menjebloskan makhluk-makhluk keparat itu ke dalam penjara bukan hal yang sulit untuknya. Terutama untuk Jihoon. Ia menghadapi kemarahan Tuan Lee dan ayahnya keesokan hari setelah kejadian itu. Ayahnya memberi tatapan penuh kekecewaan, negitu juga Yeji. Bahkan gadis itu mogok bicara pada Soonyoung.
Keadaan Soonyoung juga berantakan. Tidak terawat sama sekali. Ia ingin Jihoon bangun dan memeluknya erat-erat.
"Tidurlah, sebentar lagi Wonwoo datang" Seowon datang siang ini dengan membawa sekotak bento dan beberapa botol jus buah.
"Apa kau tidak punya kaca? Lihat dirimu sendiri" Seowon tidak menjawab. Ia justru merebahkan dirinya di sofa yang ada disana. "Bagaimana?"
Soonyoung melihat Seowon yang menengadahkan kepalanya. Temannya itu tampak fokus memperhatikan langit-langit ruangan. Hening beberapa saat sebelum Seowon menjawab. "Membaik"
"Kondisinya atau hubunganmu dengannya?" Kembali tidak ada jawaban. Soonyoung akhirnya beranjak untuk duduk disebelah Seowon. Menatap wajah sahabat anehnya itu.
"Apa kau bisa mempercayainya?" Seowon menoleh menatap Soonyoung dengan tatapan blank.
"Dalam hal apa?" Benar. Dalam hal apa pembicaraan ini. Helaan napas berat terdengar dari Soonyoung. "Apa kau percaya padanya?"
Seowon menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak tahu" bibirnya mengerucut persis seperti kebiasaan Jihoon saat menemukan jalan buntu.
"Aku berbicara seperti ini bukan karena aku melarangmu Seowonie. Aku hanya tidak ingin kau tersakiti kembali" manik Seowon bergerak gelisah. "Kemari" Soonyoung menarik Seowon untuk duduk berhadapan dengannya. "Apa kau nyaman dengannya?"
"Aku tidak tahu Soonyoung"
"Apa yang membuatmu ragu?" Seowon menarik diri dari Soonyoung. Maniknya menatap Jihoon dengan sendu
"Sejak awal tujuannya bukan aku"
"Apa kau menginginkannya?"
Lagi-lagi Seowon hanya menggeleng lirih. "Aku tidak ingin merasa sakit lagi. Aku lelah jika harus kembali merasakan hal yang sama"
"Aku tahu aku keras kepala. Tapi aku hanya tidak ingin kau jatuh dilubang yang sama Seowon-ah. Aku senang ketika kau senang, tapi aku benci ketika kau sedih. Bahkan sudah hampir dua tahun lamanya kita berteman. Tapi baru kemarin aku mengetahui masalahmu. Aku.. aku dan Mingyu-"
"Maaf" Seowon kini menatap lantai setelah tidak mampu menatap mata Soonyoung. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini dari kalian. Tapi, aku hanya merasa ini tidak pantas untuk kalian ketahui"
.
.
.
Tuan Lee datang bersama Nyonya Jung pagi tadi. Pria paruhbaya itu tidak sanggup berkata apa-apa. Maniknya hajya terus menatap Jihoon dengan sendu, jemari yang dulu kokoh kini akhirnya dapat kembali menggenggam jemari putri kecilnya yang telah lama terasa jauh darinya. Sesekali mengusap wajah dan surai halus Jihoon. Hanya saat ini lah dirinya dapat menyentuh Jihoon. Ia memaki dirinya sendiri karena tidak sanggup menjaga Jihoon kecilnya. Meskipun ia tahu, Jihoon telah memiliki Soonyoung yang bahkan mungkin lebih berharga darinya.
Sedangkan Nyonya Jung hanya dapat berdiri disisi Jihoon. Dan menatap gadis itu dari jauh. Tidak sanggup melihat Jihoon dalam keadaan seperti ini. Nyonya Jung selalu berharap Jihoon diberi kehidupan yang bahagia, menggantikan kenangan menyakitkan sebelumnya. Tapi sepertinya Tuhan ingin menguji gadis tangguh ini. Bahkan kini Jihoon hanya mampu terbaring lemah. Wajahnya pucat dengan kening berkerut-kerut meski ia tertidur lelap. Bahkan dimimpinya pun ia tetap tidak merasa tenang.
Nyonya Jung mengampiri Soonyoung yang tidak pernah beranjak seinci pun sari sisi Jihoon. Memeluk pria tangguh dihadapannya dengan tulus. "Kau tahu Jihoon gadis yang kuat dan tangguh" itu pernyataan untuk Soonyoung. Pria itu menangkap maksud Nyonya Jung. Tapi Soonyoung tidak memberikna respon yang berarti. Dia hanya mengangguk kecil.
"Apa aku boleh menemaninya disini?" Suara Tuan Lee sangat lirih namun penuh harap. Pria itu menatap Soonyoung dengan manik pernuh permohonan. "Sekali saja, aku ingin menghabiskan malam bersama putriku lagi" tangannya masih terulur mengusap wajah Jihoon. "Hanya saat ini aku dapat mendekatinya. Apa aku boleh menemaninya disini, Soonyoung-ah?"
.
.
.
Park Jihoon memasuki ruang rawat Minjae dengan seplastik makanan pagi ini. Maniknya mengerjap melihat kondisi sang kakak yang masih terbaring disana. Tusukan yang didapat Minjae mengenai bahu dokter muda itu. Membuatnya harus menjalani perawatan yang cukup lama untuk memulihkan lukanya.
Ketika kelerengnya bergulir kearah lain. Disana, dimeja dekat sofa terlihat Seowon yang tertidur dalam posisi duduk dilantai dengan kertas-kertas laporan akhirnya yang berantakan di meja dengan laptop yang layarnya bahkan sudah mati. Jihoon menghela napasnya sedikit berat. Pria kakak tingkatnya itu terus mendampingi Minjae tanpa berkata apapun. Wajahnya terus datar tak terbaca, namun selalu ada apapun yang terjadi selama masa perawatan Minjae.
Sempat terpikir oleh Jihoon jika Seowon merasa bersalah pada kakaknya atas kejadian ini. Dimana Minjae melindungi Seowon dari tusukan itu. Tapi seharusnya yang disalahkan disini adalah dirinya. Jika saja ia mendengarkan Minjae untuk tidak terjebak dengan wanita itu. Semua ini tidak akan terjadi. Tidak akan ada Seowon yang merasa bersalah dan terus mengurung dirinya disini untuk menemani Minjae. Tidak ada Minjae yang terbaring dirumah sakit. Tidak ada Lee Jihoon yang bahkan hingga hari ini kabarnya belum juga membuka kedua matanya di kamar sebelah.
"Apa yang kau pikirkan?" Suara Seowon membuyarkan pemikirannya. Pria itu berdiri dihadapan Jihoon dan mengambil plastik yang dibawa pria paling muda itu ke meja sofa. Menggenggam tangan Jihoon dan dibawanya ke sofa. "Jangan pikirkan apapun. Ini bukan salahmu. Ini hanya insiden" Seowon berbicara dengan menata makanan di meja tanpa sedikitpun menoleh pada Jihoon.
"Hyung" Jemari Seowon terhenti diudara mendengan Jihoon pertama kali memanggilnya Hyung. "Boleh aku memelukmu?" Suara Jihoon begitu lirih. Pria muda itu berucap dengan kepala tertunduk penuh. Cukup lama ia tidak mendapat respon balik dari Seowon. Ia tahu Seowon pasti belum bisa menerima dirinya yang bahkan ikut andil besar dalam kekacauan ini. Tapi-
"Jangan pikirkan apapun kecuali kesembuhan Minjae" Seowon memeluknya begitu hangat. Membiarkan kepala yang lebih muda masuk ke ceruk lehernya dan menangis disana dalam diam. Tangannya terus mengusap kepala Jihoon.
"Maaf.. maafkan aku hyung hiks... Aku.. ini salahku.. aku.. aku takut Minjae hyung tidak akan memaafkanku.. aku.. takut Jihoon noona tidak akan kembali membuka matanya.. aku.. bagaimana.. bagaimana aku dapat menemui Wonwoo noona hyung.. hiks... Maaf.. maafkan aku.." tangis yang lebih muda bahkan menjadi lebih keras dari sebelumnya. Seperti semua perasaan takut tertumpahkan disana. Seowon hanya terus mengusap rambut Jihoon dalam pelukannya. Setelah dirasa Jihoon mulai tenang, Seowon menjauhkan wajah Jihoon dari bahunya. Mengarahkan wajah iu agar menatap dirinya.
"Jihoon-ah" panggilnya pelan. Mengambil atensi Jihoon padanya. "Terimakasih sudah mau mengakui kesalahanmu. Kau hebat saat melakukannya" manik basah itu bergerak gemetar menatap Seowon. "Katakan itu pada kakakmu nanti. Juga pada orang-orang yang kau khawatirkan. Tapi sekarang, kau hanya harus fokus pada kesembuhan kakakmu. Oke?"
.
.
.
OLLAAA
Calm down yuk geng wkwkwk
YOU ARE READING
Drama (Squel of Mask) GS
FanfictionJihoon tidak ingin menebak apa yang terjadi antara dirinya dan Soonyoung. Dia tidak cukup percaya diri untuk menjadi prioritas Soonyoung selamanya. Mungkin kebekuan di hatinya telah mencair, tapi bukan berarti ia mampu percaya seutuhnya pada Soonyou...