13

945 142 10
                                    

        Soonyoung menggeleng pelan melihat Seowon begitu ketakutan dihadap Jihoon. Wanitanya itu selalu memiliki cara untuk berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Wanitanya? Apa kini Soonyoung telah boleh menyebut Jihoon sebagai wanitanya? Bahunya kembali turun jika mengingat Jihoon belum mau menerimanya. Tapi tak apa, ia akan berusaha keras untuk Jihoon. Tentu saja dengan caranya sendiri.

    "Kau tidak gila, kan?" telapak tangan besar Mingyu, melambai-lambai didepan wajah Soonyoung. "Jangan ikut membuatku takut dengan tersenyum sendiri. Biar Jihoon saja yang cukup menakutkan pagi ini" berdecak malas pada Soonyoung yang semakin mirip dengan Jihoon.

     "Aku tak apa. Tenang saja. Jja, sebaiknya kita konsultasi sekarang saja. Agar kita dapat pulang lebih cepat"

.

.

.

        Tidak seperti biasanya, hari ini Jihoon pulang bersama Mingyu. Soonyoung bilang, laki-laki itu sedang ada urusan. Sebenarnya ini bukan kali pertama Soonyoung meminta Jihoon pulang lebih dahulu karena keperluan lainnya.
Sejak satu bulan ini Soonyoung sudah tiga kali menyuruhnya pulang lebih dulu. Sejujurnya Jihoon sama sekali tidak memiliki pemikiran negatif apapun pada Soonyoung, lagipula mereka juga diawali dari dua orang yang saling kenal. Hanya saja, ini sedikit aneh untuk Jihoon. Soonyoung hampir tidak pernah perti tanpa memberitahu Jihoon tujuan ia pergi.

     "Ada apa? Kau kepikiran Soonyoung?" Jihoon menaikkan sebelah alisnya pada Mingyu yang sedang menyetir. "Kau tenang saja, Soonyoung bukan anak kecil Jihoon. Aku jamin, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk padanya"

    "Bagaimana kau tahu?"

    "Aku sudah berteman dengan kalian sejak senior high school. Bagaimana mungkin aku tidak hafal peringai kalian?" diakhiri dengan kekehan kecil, Mingyu memutar kemudinya masuk ke basement apartemen Jihoon. "Sebaiknya kau pulang dan istirahat dirumah. Soonyoung pasti baik-baik saja"

       Jihoon memandang punggung Mingyu yang mulai mengecil didepannya. Langkah kakinya lebih pelan dari biasanya, bukannya ia ingin ikut campur urusan Soonyoung ia hanya... khawatir? Apa Jihoon boleh mengkhawatirkan Soonyoung?

     Bukannya langsung membersihkan diri, Jihoon lebih memilih melemparkan dirinya ke sofa ruang tengah. Tangan kirinya ia angkat tinggi-tinggi, memperhatikan cincin perak yang masih nampak cantik meski sudah hampir dua tahun lamanya tersemat disana. Sudah hampir dua tahun. Kilasan peristiwa saat Soonyoung masuk ke kehidupannya tiba-tiba terputar didalam kepala cantiknya.

      Kedekatannya dengan Soonyoung tidak akan pernah lepas dari campur tangan Kwon eommoni. Bibirnya tersenyum begitu kebaikan hati perempuan paruh baya itu terlintas dibenaknya. Kasih sayangnya, senyum lembutnya, keanggunannya, dan kecerewetannya yang bahkan sangat Jihoon rindukan dari sosok ibu. Dan senyum itu perlahan sirna saat masa-masa sekolahnya mengekori rentetan peristiwa itu. Ia menutup matanya lelah. Tidak, bukan fisiknya yang lelah. Tapi hatinya.

     "Tentu saja Jihoon. Tuhan menciptakan kita dapat merasakan kebahagiaan, itulah mengapa kita harus bahagia. Kau. Harus. Bahagia"

     "Lalu bagaimana dengan perasaanmu? Aku kembalikan padamu. Bagaimana perasaanmu padanya? Cinta? Suka? Nyaman? atau sekedar ingin?"

     Satu persatu ucapan teman-temannya mulai masuk ke dalam pikirannya. Maniknya yang terbuka itu terkunci pada salah satu foto yang diambil saat Kwon eommoni masih hidup. Disana, ada dirinya, Soonyoung, dan Kwon abeoji. Saat itu adalah hari ketiga sejak Kwon eommoni tersadar dari komanya pasca kecelakaan, dan Jihoon mengingat jelas raut bahagia diwajah yang masih ayu diusia senja itu begitu mengetahui Soonyoung telah mengikat Jihoon kedalam hubungan yang lebih serius. Air mata kebahagiaan dan senyuman cerah itu tidak bisa membuat Jihoon untuk tidak ikut bahagia disana.

   Langkahnya ia bawa mendekati piano putih yang sudah sangat lama tidak ia sentuh. Jemarinya menekan tuts tuts itu dengan ragu. Dan saat manik itu kembali ditutup, jemarinya secara otomatis menari disana.

"Lalu bagaimana dengan perasaanmu? Aku kembalikan padamu. Bagaimana perasaanmu padanya? Cinta? Suka? Nyaman? atau sekedar ingin?"


amuil eobsteon geotcheoreom
i modeunge nan da kkumilgeorago
nuneul dasi kamgo ddeosseulttae
ansimhamyeo kkaen achimigil baraesseo

eogutnabeorin uri mirae e
siganeul geoseulleo kal suittdamyeon
geochil giboda ddadeuthage
neol bureumyeo bonaejul suisseulkka

urin ajik kkeutnaji anhatdeon
jageun silkkeuthana butjapgo
balbeodungchideon nal noa beorin neol
bogi sirheundedo bogosippo
miundedo geuriwo haneun
nado nan alsuga eobsteora

ogo ganeun maeumi hana dul
ssahimyeon haengbokhaesdeon uri
ijen hamkke issji anheun neol
bogi sirheundedo bogosippgo
miundedo geuriwo haneun
nado nan alsuga eobsteora

uriege
gwayeon eotteon miraega oldaneun geonji
haneuri dabeul juji anhaseo
hokkeun naega cham meongcheonghaeseo
dojeohi alsuga eobsdeora

      Matanya perlahan terbuka, maniknya sedikit gemetar.  Tangannya jatuh begitu saja disamping tubuhnya dengan kepala tertunduk dalam. Ia tidak tahu apa yang kini ia rasakan. Banyak rasa dan pikiran yang berebut untuk mendominasi dirinya. Cukup lama untuk menenangkan diri. Dan dirinya begitu terkejut mendapati Soonyoung tengah bersandar dinding belakangnya dan sedang memperhatikan dirinya.

     "Sejak kapan" beruntung suaranya tidak bergetar. Tapi yang dilakukan Soonyoung justru membuat maniknya kembali bergetar tidak tenang. Laki-laki merengkuhnya dalam pelukan hangat. Soonyoung tidka berkata apapun, hanya terus memeluk Jihoon dalam beberapa menit hingga dirasa cukup.

    "Kau tidak pelu mengkhawatirkan apapun Jihoon. Dan.. maaf aku belum bisa memahami perasaanku sendiri padamu saat itu"

     Ya. Soonyoung tidak memberikan jawaban apapun atas pertanyaan Jihoon. Dan jujur, Jihoon sedikit takut akan perasaan yang Soonyoung rasakan untuknya.

.

.

.

      "Kurasa, Soonyoung dan Jihoon terlalu lama terjebak dalam keraguan mereka sendiri" Wonwoo yang sedang membuat teh menoleh pada Mingyu. Laki-laki itu baru saja tiba, katanya sekalian dengan Jihoon.

    "Ada apa?" Mingyu menepuk sebelah tempatnya duduk, mengisyaratkan Wonwoo untuk duduk disebelahnya. Tidak keberatan sama sekali, Wonwoo justru langsung melingkarkan tangannya diperut Mingyu begitu ia duduk. Membiarkan Mingyu mengecupi pelipis dan rambutnya.

    "Soonyoung beberapa hari ini terlihat lebih sibuk dari biasanya. Ia sering minta tolong padaku dan Seowon untuk mengantar Jihoon pulang, padahal jika ia membiarkan Jihoon berangkat menggunakan mobilnya sendiri Jihoon tidak perlu menumpang pada kami"

   "Hm.. dan Jihoon merasa tidak nyaman dengan itu" Wonwoo mendongakkan kepalanya hingga manik kucingnya nampak lucu dan mengundang Mingyu untuk terus mengecupi wajah kekasihnya itu. "Jihoon semalam menelponku, dan ia juga menceritakan itu"

   "Dia cerita padamu?" poninya ikut bergerak saat Wonwoo mengangguk.

   "Memang, apa yang Soonyoung lakukan sampai harus membiarkan Jihoon pulang bersama kalian?"

   "Entah" Mingyu menghendikkan bahunya. "Aku juga tidak tahu. Dia hanya berkata ingin menitipkan Jihoon padaku dan Seowon. Sedang ada urusan begitu"

     "Apa tidak apa-apa?" kedua manik itu saling melempar tatapan bertanya. Dan Wonwoo yang biasanya lebih banyak ide dari Mingyu juga nampak sama stuck nya dengan sang kekasih. Kemudian keduanya menghela napas bersamaan.

    "Baiklah, tidak ada yang harus kita lakukan. Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri"

.

.

.

Drama (Squel of Mask) GSWhere stories live. Discover now