7

1K 130 6
                                    

    Tapi kemudian ia memilih menyamankan jemarinya disela jari Soonyoung, menggenggam erat telapak besar nan hangat pria itu, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Soonyoung. Mengisyaratkan ia tidak ingin menjawab. Ia hanya berharap bahwa Soonyoung tidak perlu takut sendiri.

.

.

.

     "Jika suatu saat nanti aku lupa atau mulai melenceng dari perasaanku, tolong ingatkan aku. Aku tidak ingin ada yang tersakiti lagi. Terutama dirimu" diusapnya lembut pipi Jihoon. Suhu hangat itu dapat Jihoon rasakan dari tangan Soonyoung. Pria yang telah cukup lama berada dihatinya itu mengeratkan genggaman tangan mereka.

   "Apa kau mulai bermain menggunakan hatimu?"

   "Ani" didekapnya tubuh Jihoon erat-erat. Menyamankan diri dipelukan itu. "Aku hanya melakukan apa yang hatiku inginkan. Tidak untuk bermain"

.

.

.

   "Tidak ada yang harus kamu tuntut dari semua hal yang ayah berikan untukmu! Tidak untuk segala hak seperti yang adikmu miliki maupun reward yang ayah beri untuk kakakmu! Semua butuh kerja keras Kim Minjae!" suara pria paruh baya itu nampak mendesis tidak suka. Rautnya nampak tegang disertai menahan emosi yang tinggi. Tidak jauh berbeda dengan Minjae, laki-laki itu sudah mengepalkan telapak tangan begitu erat, rahangnya mengeras seiring kalimat-kalimat pedas yang terlalu lugas diucapkan sang ayah.

   "Bahkan dengan apa yang sudah aku raih hingga saat ini masih terasa kurang?" sudut bibirnya terangkat. Ia menggeram marah, segala hal yang ia lakukan terasa sia-sia.

  "Kau masih dalam proses untuk meraihnya. Jadi jangan pernah menyombongkan hal yang belum seutuhnya kau miliki, Minjae-ya" dada-dadanya naik turun begitu cepat, dikepalanya sudah begitu banyak sumpah serapah yang ia lontarkan pada pria yang bahkan tidak pantas ia sebut ayah. Sial! Dirinya sedang berada stase sulit ditengah masa koas nya, tapi apa yang ia dapat? Bukan sebuah dukungan, justru pria tua itu semakin rajin membanding-bandingkan dirinya sedang saudara-saudaranya yang lain.

   Ditendangnya kasar pintu yang sudah menelan tubuh sang ayah beberapa saat yang lalu. Sneli putihnya ia lepas dengan cepat, dan merematnya kuat-kuat. Ia bawa langkahnya menuju pintu samping IGD. Tapi kakinya berhenti saat maniknya justru menangkap sosok Jihoon berdiri disana dengan tanpa ekspresi seperti biasanya. Keningnya mengernyit sesaat, apakah Jihoon melihat dan mendengar semua pembicaraannya dengan sang ayah atau gadis itu hanya sekedar lewat?

  Jihoon yang pertama kali memutus garis lurus diantara mereka lalu pergi begitu saja tanpa bicara sedikitpun seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Minjae mendengus kasar kali ini. Sial!

.

.

.

  Wonwoo memijat pangkal hidungnya beberapa kali. Pagi ini ia bangun dengan kepala yang berat, terasa pusing bahkan hingga ke tengkuk. Fokusnya berkurang drastis hari ini, hingga ia memilih merebahkan kepalanya dimeja perpustakaan. Mingyu berjanji menjemputnya disana setelah melakukan konsultasi skripsinya.

  "Ayo kita pulang, harusnya dirumah saja jika demam" sebelah matanya terbuka hanya untuk sekedar mengintip Mingyu yang bahkan sudah menyampirkan ranselnya dipundak laki-laki tinggi itu. Membiarkan kekasihnya membantunya berjalan hingga keparkiran.

  "Kau membawa mobil? Untuk apa?" maniknya terus memperhatikan Mingyu yang masih sibuk menata beberapa box berisi buku-buku ke kursi belakang, lalu mengambil selimut hangat untuknya.

  "Tadi membawa titipan orang lab. Karena besar jadi sekalian bawa mobil saja" Jemari panjangnya lihai menempelkan plester penurun panas untuk sementara pada Wonwoo. Lalu menyalakan mesin dan melaju ke dorm Wonwoo. "Tadi pagi berangkat dengan apa?"

  "Menumpang Jihoon"

  "Jihoon membawa mobil sendiri? Soonyoung kemana?"

   "Dia sakit. Bed rest kata Jihoon" Mingyu terdiam beberapa saat lalu kemudian mengangguk. Ia ingat saat terakhir bertemu Soonyoung, teman kelompok baksos nya itu memang nampak lesu dan letih. Mungkin kelelahan karena jadwal yang padat.

   "Ingin kubuatkan bubur? Atau sup?"

   "Sup"

   "Call" Wonwoo merasakan kecupan di dahinya sebelum dirinya tidur dengan pulas. Membiarkan Mingyu yang mengurusnya nanti.

.

.

.

    "Jihoon sunbaenim" gadis berparas cantik dengan rambut panjangnya itu tersenyum malu pada Jihoon. Langkah ragu-ragu itu perlahan mendekat dan berhenti dihadapan Jihoon yang sedang memeriksa beberapa laporan praktikum adik tingkatnya. Jam menunjukkan pukul lima sore, tapi Jihoon masih berada didalam lab. Kelereng kelamnya teralih pada gadis didepannya, menaikkan sebelah alisnya memberi isyarat agar gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan sunbaenim, apakah bisa?"

  "Silahkan"

   "Uhm.. saya Jang Gyuri, tahun ini saya mendapat tempat bakti sosial yang sama dengan Jihoon sunbaenim tahun lalu. Jika boleh, saya ingin sedikit bertanya-tanya mengenai bakti sosial disana" Jihoon mengangguk kecil seraya melunakkan sedikit ekspresi kakunya. Sejujurnya ia lelah memeriksa tumpukan laporan ini.

  "Boleh, tapi saya sambil mengerjakan laporan ini ya" senyum sumringah terlihat jelas diwajah gadis itu. Tangannya cekatan mengeluarkan ipad miliknya untuk mencatat beberapa hal yang menurutnya penting. Dirinya sama sekali tidak menyia-nyiakan kesempatan bertanya pada seniornya ini. Kabar yang beredar mengatakan bahwa Jihoon bukanlah sosok yang ramah dan baik hati, apalagi untuk berbagi. Tapi fakta yang ia dapatkan justru berbanding terbalik.

   Lee Jihoon, seniornya ini benar-benar memberikan beberapa hal yang justru bisa menjadi tips and trick untuk kegiatannya esok. Dan senyumnya yang dengan durasi singkat itu mempu membuatnya meleleh.

  "Tapi tahun ini dibuat berbeda dengan tahun lalu. Katanya tahun ini kami mendapat pedamping seorang supervisor di setiap daerahnya"  kini ia mulai berbicara santai dengan Jihoon. Kadang gadis itu meringis saat Jihoon membubuhkan angka nol besar dan coretan coretan tinta biru pada laporan para mahasiswa didepannya. Meskipun Jihoon tetap berbicara dan tersenyum tipis padanya. Baiklah, kini ia mengetahui sisi mengerikan seniornya ini.

   "Siapa supervisor yang mendampingi kelompok kalian? Dari tingkat koas?" Gyuri mengangguk kecil. Tangannya kemudian bergerak lincah diatas layar ipadnya sebelum kembali menatap Jihoon.

   "Kim Minjae sunbaenim" gerakan tangan Jihoon terhenti pada beberapa hitungan sebelum kembali membubuhkan beberapa tulisan diatas kertas garapan para mahasiswa adik tingkatnya. Jihoon tidka memberikan komentar, lagipula ia tidak mengenal laki-laki itu. Oke, ia hanya mengetahui, tapi tidak mengenal. "Apa sunbaenim mengenal Kim Minjae sunbaenim?"

   Bahu Gyuri jatuh saat Jihoon menggeleng. Tapi tak apa toh, ia sudah menerima sangat banyak informasi dari senior manisnya ini. Sesi tanya jawab itu sudah selesai, tapi Gyuri masih betah duduk dihadapan Jihoon dengan menggigit bibir bawahnya. Maniknya terus menatap jemari Jihoon yang terlingkari cincin putih nan cantik disana.

  "Tanyakan saja" kepalanya langsung terangkat memperhatikan wajah Jihoon. Sejujurnya, ada yang ingin ia tanyakan pada Jihoon. Apalagi mengenai kabar yang beredar.

  "Apa saya boleh bertanya lagi?" anggukan kecil Gyru dapat. Ia menarik dan menghembuskan napasnya perlahan sebelum kembali menatap Jihoon.

   "Apa.. Jihoon sunbaenim dan Soonyoung sunbaenim sudah menikah?"

.

.

.

Drama (Squel of Mask) GSWhere stories live. Discover now