20

916 124 8
                                    

                                 !WARNING!
              INI AKAN MENYINGGUNG LGBT
                                       BXB

Pagi ini Dokter Nam menelfon mereka secara mendadak. Ada kasus baru yang bisa menambah pengetahuan katanya. Seorang mayat ditemukan dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Bibir mayat yang biasanya pucat teroles lipstik merah menyala dengan rapih dan cantik. Kulit yang biasanya dingin tak berwarna nampak merona dengan adanya blush on di pipi.  Terlihat begitu segar dimata yang melihat. Tapi luka tusukan di hampir seluruh sisi perutnya yang terbuka serta sayatan panjang di pahanya membuat siapa saja enggan mendekat.

     Seowon mengeluh ketika pertama kali melihat mayat. Ini masih pagi, bahkan kesadarannya belum seratus persen terkumpul. Tapi Dokter Nam menyuruh mereka mengikuti proses autopsi. Mingyu yang berdiri paling ujung begitu tenang memperhatikan proses autopsi, Jihoon dan Soonyoung yang mencatat beberapa hal penting. Sepertinya hanya dirinya yang tidak dapat konsentrasi disini.

     "Autopsi kali ini hanya agar kalian mengerti saja. Tidak untuk tugas, laporan atau lainnya. Setidaknya kalian pernah melihat sekali autopsi dengan mayat seperti ini" dokter yang berada di pertengahan kepala empat itu berbicara dengan fokus tetap pada autopsi. "Catat apapun yang kalian rasa penting, tanyakan apapun yang kalian ingin tanyakan"

    "Nde, saem" teman-temannya kompak menjawab. Seowon merengut ditempat, kenapa teman-temannya tampak begitu ambis di pagi buta seperti ini.
.

.

.

    "Hyung! Sudah kubilang kau tidak perlu melakukan ini semua! Berhenti hyung! Jangan seperti ini! Kau akan menikah hyung! Ingatlah!" suara Seowon yang meninggi di kursi taman menarik perhatian Jihoon. Temannya itu terlihat geram dan marah pada seseorang diseberang telepon sana. "Cukup hyung! Sekali aku bilang selesai, maka tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan" ucap Seowon final sebelum menutup panggilan teleponnya. Jihoon memperhatikan Seowon yang duduk dengan rahang mengeras dan sorot mata tajam. Perlahan ia mendekat dan duduk disebelahnya. Jas lab masih melekat ditubuh keduanya, aroma anyir darah, bau mayat, dan formalin menyelimuti mereka.

    Jihoon membiarkan temannya itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Jika dihitung menit, perkiraan Jihoon mengatakan bahwa sebentar lagi Seowon akan-

    "Ji" -bicara dengannya. Gadis itu menggigit pipi dalamnya menahan geli. Seowon tetaplah Seowon.

   "Hmm" pria itu memainkan jemarinya didalam saku jas lab. Tatapannya jatuh ke sandal departemen forensik yang bahkan lebih sering ia pakai daripada sandal dirumahnya.

     "Menurutmu.. apa itu cinta?" oke, Jihoon tidak siap dengan pertanyaan mendadak seperti ini. Sepertinya temannya ini benar dalam keadaan tidak baik, buktinya mengapa ia bertanya soal cinta pada Jihoon?

     Gadis itu menghela napasnya sebentar. "Definisi cinta setiap orang itu berbeda-beda, Seowon-ah"

    "Hmm.. Benar" Jihoon masih mendengar lirihan itu.

     "Kau pernah bilang cinta bisa membuatmu bahagia. Dan setiap orang berhak bahagia. Jadi, setiap orang berhak merasakan cinta dan kebahagiaan"

    Seowon terdiam. Benar. Dulu ia pernah mengatakan seperti itu pada Jihoon. Dulu sekali. Ketika temannya ini belum merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Maniknya kembali jatuh ke tanah, sebelum mengedar untuk mencari peralihan. Tapi tubuhnya menegang ketika melihat seseorang yang kini tengah menatapnya dengan penuh senyuman. Orang yang dulu ia kira akan berbagi kebahagiaan dengannya. "Tapi tidak semua cinta berakhir bahagia, Jihoon-ah"
.

.

.

    Seowon menatap pria didepannya dalam diam. Ia tidak pernah tahu pria ini begitu nekat hingga menemuinya di kampus. Pakaian kerja masih melekat ditubuhnya. Tentu saja ini jam makan siang bagi para pekerja.

    "Seowonie, maafkan aku hmm.. Jangan diam seperti ini. Katakan sesuatu" pria itu mencoba meraih tangannya yang langsung ditepisnya kuat-kuat.

    "Sudah kukatakan berkali-kali, hyung. Kita ini salah. Dan kita sudah selesai, hyung. Kau akan menikah, hyung. Kau akan menikah" Seowon tidak tahu lagi apa harus dikatakannya pada pria ini.

    "Tapi aku bahkan tidak mencintainya! Bagaimana bisa aku menikah dengannya?! Kau tahu betul itu"

     "Hyung!" ia merasa frustasi. "Ini adalah yang terbaik untukmu. Mengertilah. Suatu saat kau akan bahagia dengannya"

    "Bukan dia yang membuatku bahagia, Seowonie. Tidak bisakah kau-"

     "TIDAK!" Seowon mengambil satu langkah mundur. Ia menutup kedua telinganya seakan tidak ingin mendengar apapun lagi dari pria didepannya ini. "Kau tidak boleh disini. Kau harus pergi. Lupakan semuanya, hyung! Kau harus bahagiakan dia dan orang tuamu! Kau haru-"

    "Lalu bagaimana dengan kebahagianmu?" pria itu menarik Seowon ke pelukannya. Membenamkan wajah yang lebih muda ke dadanya, dan mengecupi puncak kepala Seowon. Kedua tangan Seowon langsung terjatuh ke sisi tubuhnya. Perasaan dan logikanya kembali berperang begitu hebat. "Kau menginginkan aku bahagia dengannya. Apa kau bahagia dengan ini semua?"

     Air mata Seowon memaksa keluar dan jatuh begitu saja di pipi chubby nya. Jujur, ia sangat rindu dengan hangatnya pelukan ini. Ia tahu ini semua salah. Ia tahu seharusnya ini tidak pernah terjadi. Tapi perasaan dan logikanya yang terus berperang membuatnya kian lelah.

    "Hyung. Kumohon, jangan seperti ini. Kau harus bahagia dengannya. Setidaknya demi aku. Hmm" ia memberi jarak diantara keduanya demi dapat menyelami mata yang bahkan hingga ini masih terlihat bayangan dirinya disana. "Kita salah hyung. Bagaimanapun yang kita lakukan, ini tidak akan berhasil" dilepaskannya pelukan itu dan jemarinya menyusuri lengan kokoh yang dulu selalu siap melindungi dirinya. "Cukup. Oke. Kita selesai"

      Seowon membalikkan badannya dengan kepala tertunduk. Baru beberapa langkah ia melihat sebuah sepatu yang pernah ia lihat sebelumnya berhenti tepat didepannya. Perlahan ia mengangkat kepalanya. Tubuhnya membeku dan manik bergerak acak menatap orang didepannya.

      "Minjae sunbaenim"
.

.

.

     Jihoon melihatnya. Ia melihat dan mendengar semuanya. Jihoon memang tahu dan percaya bahwa setiap orang membawa kisah dan masalahnya masing-masing. Tapi ia tidak pernah tahu jika masalah yang dihadapi temannya termasuk masalah yang rumit. Apapun yang berkaitan dengan hati memang tidaklah mudah.

      Dibalik kacamatanya, Jihoon masih memperhatikan seniornya yang nampak berbicara pada Seowon dengan suara yang lirih tapi tatapannya menghunus tepat kepada pria yang berbicara dengan Seowon sebelumnya. Sedangkan sahabatnya itu kembali menundukkan kepalanya. Alisnya mengernyit tidak suka saat Seowon mulai merasa tidak nyaman didekat seniornya itu. Ia mengambil langkahnya mendekat, menarik Seowon dari hadapan seniornya tanpa suara.

     Jihoon membawa Seowon ke ruang istirahat dan berganti pakaian disana. Kemudian mengambil tasnya dan kunci mobil Seowon. "Aku yang menyetir". Tadi Soonyoung pulang lebih dulu karena perlu membantu Kwon Abeoji mengurus koleganya sejenak, dan Mingyu yang harus menjemput Wonwoo juga sudah pulang sejak tadi.

     Seowon masih diam selama perjalanan. Pandangan terus menatap jalanan yang dilalui. Jihoon mengetukkan jemari dikemudi sebelum memutuskan bertanya.
"Ada yang ingin kau ceritakan?" Seowon diam. Pria itu enggan menjawab. "Kau dekat dengan Minjae sunbaenim?"

      "Ani" jawanya cepat.

      "Apa kau lapar?"

      "Ani"

       "Spagetti atau ramen?"

        "Tidak ingin" Jihoon menggigit bibirnya sebentar, dan mencoba peruntungan terakhir.

        "Kopi atau Ice cream?"

         "Ice cream"

         "Call"

.

.

.

NB:
Jangan bingung ya hehehe

Setiap individu pasti membawa kisah dan masalahnya masing-masing

-Yanardhini, 2020-

Paham kan?
🌝🌚

Drama (Squel of Mask) GSWhere stories live. Discover now