11

944 142 16
                                    


         Eunbi mengerjapkan matanya beberapa kali, ia mengatur napasnya berusaha menjadi lebih tenang. Sang ayah baru saja menghubunginya dari Korea, mengatakan bahwa klinik cabang yang telah berkembang pesat hasil jerih payah Jihoon dan Soonyoung beberapa waktu lalu mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Salah seorang anak buahnya telah berhasil memanipulasi sebuah tender besar demi keuntungannya sendiri.

        Ingatannya kembali pada Jihoon yang jelas berkata tidak ingin peduli lagi pada kehidupannya keluarganya. Apalagi masalah klinik itu. Ia tidak ingin melihat bagaimana reaksi Jihoon untuk masalah ini. Ia tidak pernah tahu bagaimana cara sang appa mengelola itu semua, selama ini ia hanya menerima hasil saja. Lagipula ia tidak belajar pada jurusan itu.

     Ia tidak mungkin menemui Jihoon dalam keadaan seperti ini, ia harus melarang eomma dan appanya untuk menemui Jihoon maupun Soonyoung. Ia harus meminta sang appa untuk membenahi masalah ini secepatnya.

.

.

.

    Nyatanya Nyonya Jung kini tengah duduk diruang tamu apartemen Jihoon bersama sang pemilik rumah dan Soonyoung. Jihoon dan Soonyoung baru saja akan berangkat ketika wanita itu sudah berdiri di depan pintu apartemen mereka.

   "Jihoon, Soonyoung. Eomma-"

   "Kau bukan ibuku" Jihoon memotong cepat. Nyonya Jung menundukkan kepalanya mengerti.

    "Tidak apa eomma, lanjutkan" sebagai satu-satunya pria disana, Soonyoung berusaha menengahi. Bagaimanapun Nyonya Jung berkedudukan sebagai ibu di rumah Keluarga Lee.  Wanita paruh baya itu terasa berat untuk menyampaikan maksud dan tujuannya, ia takut Jihoon akan semakin membencinya. Tapi Jihoon harus mengetahui keadaan keluarganya.

    "Kau butuh uang lagi?" Jihoon melempar seamplop uang tunai dihadapan Nyonya Jung. "Kau sudah mendapatkannya, pergilah"

   "Jihoon! Jangan keterlaluan" Soonyoung menatap tidak suka pada Jihoon. Menurutnya itu sungguh perilaku yang tidak sopan.

    "Tidak tidak. Soonyoung, eomma tidak apa-apa. Eomma.... hanya ingin memberitahu bahwa klinik cabang milik appa sedang tidak baik. Anak buah appa melakukan penipuan hingga klinik itu terancam bangkrut"

     "Itu urusan kalian"

      "Jihoon!"

     "Apa lagi?" gadis itu berdiri dari duduknya dan menatap Soonyoung tajam. "Jangan pernah membela mereka dihadapanku lagi" desisnya tegas. Keduanya menoleh saat Nyonya tiba-tiba berlutut dihadapan mereka.

    "Eomma mohon pada kalian, tolong bantu appa menyelamatkan klinik itu. Eomma mohon Jihoon. Eomma hanya takut hal ini mempengaruhi kondisi kesehatan appamu. Eomma takut appa mu kembali drop dan.. dan.."

   "Kau takut pada kondisi pria tua itu, atau pada biaya kuliah anak sialanmu, huh?"

    "JIHOON!"

   Good. Pipinya terasa panas sekarang. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Rasanya sudah cukup lama peristiwa ini tidak terjadi.

   "Apa rasanya masih sama? huh?" telapak tangan Soonyoung memerah dan bergetar hebat.

   "Ji, aku tidak bermaksud menamparmu. Aku-"

   "Kau lihat?" Jihoon mencengkram kuat sisi wajah Nyonya Jung. "Semua ini karena kau dan anak sialanmu!"

   "JIHOON!" tubuhnya ditarik paksa oleh Soonyoung. Laki-laki itu mendorongnya kuat agar menjauh dari Nyonya Jung. Tidak. Jihoon tidak menangis. Soonyoung hampir tidak mengetahui betapa emosinya Jihoon jika tidak mendengar ucapan dan melihat rahang gadis itu yang mengeras.

    "Sebaiknya eomma pulang sekarang, biar kami bicarakan dulu masalah ini"

.

.

.

    Jihoon memilih berangkat menggunakan mobilnya sendiri. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Segala hal yang bersangkutan dengan Tuan Lee, Nyonya Jung, dan Eunbi tidak akan pernah bisa membuatnya tenang.

   Buku tangannya memutih karena mecengkram roda kemudi terlalu erat. Sorot matanya tidak terbaca. Rahangnya sudah tidak sekeras tadi. Tapi sama sekali tidak mengeluarkan kata dari bilah bibir tipisnya.

   Rasa sakit itu masih terasa hingga saat ini. Masih ia ingat jelas bagaimana rasa kesepian, rasa berjuang sendiri, dan rasa iri itu tiba-tiba mengakar dihatinya. Sejujurnya ia merasa bersalah karena memiliki rasa iri. Hanya saja tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah dan  berjuang seorang diri sejak kecil membuatnya menjadi gadis yang terlalu keras dan sulit untuk dibaca.

   "Lee Jihoon" Jihoon memejamkan matanya sejenak. Choi Minki. Gadis itu menghadangnya saat ia barusaja menapakkan kakinya diparkiran kampus. Wajah yang nampak cantik itu menatapnya tajam dan benci. Bahkan aura feminim yang dikeluarkannya kalah oleh aura suramnya. "Kau harus membantuku. Profesor Kang meminta bantuanmu untuk mencatat beberapa hal mengenai kasus kematian yang tiba pagi ini"

   "Profesor Kang memintaku atau kau yang memintaku?" gadis berwajah tirus itu mendekat dengan senyum miringnya.

   "Aku, yang memerintahmu" Jihoon mendengus lalu mengangkat sebelah alisnya.

  "Aku bahkan tidak mengenalmu. Dan aku tidak akan menurutimu"

   "Choi Minki. SENIORMU" senyum miring Jihoon tercetak jelas disana. "Kau adalah juniorku. Jadi kau harus menuruti perintahku" dibenahinya kerah leher Minki, lalu menepuk bahunya. Jihoon berbisik tepat didepan wajah Minki dengan maniknya yang mengunci tatapan gadis itu.

   "Benarkah? Sunbaenim?"

.

.

.

     Minki benar-benar terus menempeli Jihoon kemanapun gadis itu pergi dengan berbagai perintah yang selalu ia keluarkan. Hal ini membuat Jihoon gerah. Ia butuh memberi pelajaran pada gadis yang mengaku seniornya itu. Setidaknya hingga membuat gadis itu terkejut adalah tujuannya untuk hari ini.

    "Besok kau harus datang lagi kemari" Jihoon berbalik saat Minki sudah berdiri tegak dengan kedua tangan menyilang didepan dadanya. Gadis kakak tingkatnya itu nampak puas hari ini mengerjai Jihoon. Oke. Turn the table.

    Jihoon melangkahkan kakinya semakin dekat dengan Minki, terus seperti itu hingga punggung Minki menabrak dinding. Diterlusurinya wajah tirus kakak tingkatnya itu dengan jari tengah yang terpasang cincin pertunangannya dengan Soonyoung. Hingga ia membentuk garis transversal pada leher jenjang Minki.

    "Kau harus tau, aku lebih suka to the point. Jadi katakan apa maumu, Sunbaneim" itu kalimat perintah yang penuh dengan tekanan namun halus. Bisa Jihoon lihat gadis didepannya itu meneguk ludahnya kasar dengan napas yang mulai panik.

   Manik Jihoon bergulir seiring dengan ingatannya yang berusaha mengingat bentuk Minki dari atas hingga bawah. Justru hal inilah yang membuat Minki serasa ditelanjangi oleh adik tingkatnya itu. Tidak ada ekspresi yang berarti pada wajah adik tingkatnya itu, hanya bola mata kelam itu terasa mengintimidasinya kuat-kuat.

    "Jadi apa yang kau inginkan, Sunbaenim" Jihoon berbisik tepat ditelinga Minki. Lirih, namun menekan.

.

.

.

     Seowon baru saja akan kembali keruangan istirahat untuk menjemput Jihoon saat ia melihat Choi Minki, kakak tingkatnya berlari dengan raut penuh ketakutan diwajahnya. Ada apa dengan seniornya itu?

    Tanda tanya dikepalanya langsung terjawab saat dirinya melihat Jihoon keluar dari ruangan yang sama dengan stoic face andalannya dengan senyum sangat tipis namun terlihat begitu culas menghampirinya dengan tenang. Temannya itu bahkan langsung mampu menatap tepat ke dalam matanya.

    Ia menggelengkan kepalanya pelan. Dirinya tahu, meskipun ia seorang laki-laki namun dirinya tidak akan mampu melawan Lee Jihoon. Satu-satunya gadis yang tidak pernah bisa dia hitung sebagai teman gadisnya. Terlalu kuat, dan gelap.

.

.

.

Drama (Squel of Mask) GSWhere stories live. Discover now